Boleh percaya boleh tidak, aku mulai bisa membaca tanpa pernah belajar mengeja. Saat itu minggu pertama aku masuk SD. Di depan kelas, guruku menulis beberapa kata sederhana untuk dieja: I-N-I, B-U-D-I.
Beberapa murid yang dipanggil bisa membaca dengan baik. Ketika giliiranku tiba, aku yang memang belum bisa membaca hanya bengong, kikuk sekaligus malu. Tiba-tiba guruku berkata,
Kalau besok kamu masih belum bisa membaca, nanti saya akan bicara sama bapakmu.
Entah kenapa, ucapan guruku itu begitu merasuk ke hati. Aku sangat takut apabila benar guruku akan mengadu ke bapak karena aku masih belum bisa membaca. Sampai malam aku terus memikirkan ucapan guruku itu.
Paginya, aku merasa malas karena takut dites membaca dan dimarahi guruku. Namun ibuku terus membujuk, dan seolah mengerti alasanku tidak mau sekolah, ibu berkata,
"Gak usah takut. Nanti insyaallah bisa membaca kok."
Dan benar, atas kehendak Allah hari itu juga aku bisa langsung membaca. Guruku sendiri heran dan takjub atas kemampuanku yang begitu mendadak. Ketika ditanya mengapa kemarin tidak bisa membaca dan sekarang bisa membaca, aku pun bercerita apa adanya.
Sejak saat itu aku melahap habis semua buku yang ada di rumah. Dari majalah Gadis milik kakak perempuanku, sampai buku-buku agama kelas berat kepunyaan bapak.
Tetap saja, naluri anak-anak membuatku ingin mencari buku bacaan yang sesuai usia. Untunglah, dua kakakku punya hobi yang sama: membaca.
Untuk memuaskan hobi membacanya, kakakku sering menyewa buku di kios persewaan buku yang ada di jalan pinggir jalan utama, agak jauh dari rumah. Ketika tahu aku sudah bisa membaca dan senang membaca, tanpa ragu kakak mengajakku ke persewaan buku, yang tentu saja kusambut dengan senang hati.