Ketika masih tinggal di Bali beberapa tahun lalu, saya menemukan pelajaran berharga tentang puasa Ramadan. Waktu itu saya sedang berbelanja sembako di toko kelontong komplek perumahan tentara.
Tak sengaja, telinga saya menangkap percakapan seorang ibu yang sedang berbelanja dengan si pemilik toko:
"Tumben bu, belanjaannya banyak?" kata pemilik toko
"Iya nih, lagi kena jatah tuan rumah buka bersama ibu-ibu Persit Kartika," kata si ibu.
"Mana permintaan mereka banyak sekali. Harus ada kolak pisang dan kolang-kaling, kurmanya harus yang palem (entah palem apa), terus minta puding juga. Capek jadinya, ini saya masih harus keliling nyari kurma palem" lanjut si ibu dengan muka dibikin memelas, tapi nada suaranya terdengar bangga.Â
***
Puasa Manja dan Pura-pura Miskin
Ya, tanpa disadari, selama bulan Ramadhan ini, kita sering terjebak pada pola konsumerisme yang kelewat batas mengarah pada hedonisme. Apa yang tidak pernah ada di bulan Ramadan, tiba-tiba ingin kita rasakan. Ada kesan kita ingin bermanja diri, untuk merasakan apa yang selama ini belum atau jarang kita dapatkan di bulan Ramadan.
Saya sendiri sering merasa tidak nyaman saat diundang buka bersama (bukber). Baik acara bukber itu diadakan kantor atau bersama teman. Nurani saya selalu memberontak sewaktu melihat begitu banyak makanan yang tersisa.
Saya juga sering merasa malu sendiri saat melihat orang lain yang ikut buka bersama itu makan begitu lahapnya. Rasa malu itu terbentuk karena saat buka bersama, seketika saya sadar bahwa di bulan Ramadan ini ternyata kita sedang berPURA-PURA menjadi orang miskin, tanpa sedikit pun bisa menjadi seperti mereka.
Kita berbuka dengan kemewahan, sedang mereka tetap seperti apa adanya. Kita punya hari kemenangan, sedangkan mereka setiap hari merasakan kalah.
Kita hanya menjalankan perintah puasa, sedangkan mereka menjalani hidupnya dengan berpuasa. Kita hanya MENUNDA LAPAR dan memindahkan jadwal makan, sedangkan lapar ada dalam setiap tarikan nafas mereka.
Bahkan kita lebih senang menjalankan ritual puasa tanpa perduli maknanya. Kita lebih senang menyimpan uang untuk belanja makanan berbuka puasa, tanpa memikirkan BERBAGI REZEKI pada mereka yang sedang tidak berpunya.Â
Pandemi Covid-19 Mengajarkan Kita untuk Tidak Manja Saat Berpuasa Ramadan
Bulan Ramadan, di mana umat Islam yang beriman diwajibkan berpuasa, seakan hanya menjadi sebuah bulan di mana orang-orang hanya mengubah jadwal dan pola makan mereka. Lain daripada itu tidak. Nafsu untuk tetap konsumtif masih tetap membara, bahkan lebih menyala dibanding bulan-bulan sebelumnya.
Ramadan saat pandemi yang kita alami sejak tahun kemarin mengajarkan kita perspektif baru bahwa dengan kehendak-Nya, ibadah puasa bisa kita maknai dengan sebenarnya.
Kita bisa merasakan sendiri pada Ramadan saat pandemi kemarin, tak ada lagi buka puasa bersama. Tak ada lagi hangout ke mal-mal atau kafe-kafe mewah. Tak ada lagi pasar takjil yang menyediakan aneka menu khas Ramadan, meski setidaknya masih bisa kita lihat beberapa penjualnya di pinggir jalan.
Ramadan saat pandemi juga membuat kita harus berpikir dua kali jika ingin menumpuk bahan makanan. Kita mulai belajar mengurutkan ulang daftar belanja yang harus segera dipenuhi. Kita mulai belajar memangkas piramida kebutuhan, dari yang semula bisa sampai tersier sekarang mungkin cuma jadi dua: kebutuhan primer dan sekunder saja.
Steven Covey dalam bukunya "7 Habits of Highly Effective People" menasehatkan bahwa kita harus memprioritaskan hal-hal yang sangat penting terlebih dulu ketimbang hal lainnya. First thing first. Alih-alih menumpuk barang, lebih baik memenuhi sekedar yang dibutuhkan.
Pada Ramadan saat pandemi kemarin hingga sekarang, Allah seolah ingin menyadarkan umat Islam. Melalui virus corona, Allah langsung turun tangan mengekang hawa nafsu kita, mengajarkan pada kita agar kalau puasa jangan manja. Melalui pandemi Covid-19 Allah mengingatkan kita untuk tidak kalap berbelanja dan bentuk-bentuk pola konsumtif dan hedonis lainnya.