Kalau kamu sering terjebak dalam skenario "bagaimana jika..." saat memikirkan pilihan, kemungkinan besar kamu terkena gejala overthinking.
Ya, orang yang terlalu banyak berpikir seringkali mendapat ide-ide aneh yang bahkan saling bertolak belakang dengan permasalahan utamanya. Bagaimana jika nanti seperti ini? Bagaimana bila rencananya tidak berhasil, bagaimana jika bla bla bla?
Gejala overthinking sepertinya sudah menjadi semacam epidemi. Menurut studi dari University of Michigan, 73% orang dewasa berusia 25-35 tahun terlalu banyak berpikir, dan 52% orang dewasa berusia 45-55 tahun juga terkena overthinking.
Kecenderungan yang terjadi pada para overthinker ini adalah mereka sering mengira apa yang otak mereka lakukan itu sebenarnya membantu diri mereka sendiri. Faktanya, overthinking lebih banyak memberi dampak negatif bagi diri kita.
"Ada kalanya kekhawatiran tentang masalah jauh lebih buruk daripada masalah itu sendiri," kata David Spiegel, direktur Center on Stress and Health di Stanford Health Care, dikutip dari Huffington Post.
Apa saja dampak negatif overthinking?
Obesitas
Suatu ketika, istriku bertanya mengapa aku tetap kurus meskipun pola makanku normal.
"Rahasianya tidak banyak berpikir," jawabku.
Terlalu banyak berpikir bisa berdampak besar pada selera makan orang. Bagi beberapa orang, itu dapat menekan nafsu makan, dan bagi yang lain, overthinking dapat meningkatkan nafsu makan. Yang terakhir ini yang lebih sering terjadi.
David Spiegel menyebutnya "makan karena khawatir", dan mengatakan overthinker melakukannya karena dapat mengalihkan atau bahkan menenangkan pikirannya yang bercabang-cabang.
Sayangnya, banyak orang cenderung memilih makanan yang paling lezat dan tidak sehat ketika mereka stres. Itu sebabnya kata Spiegel, ada alasan mengapa makanan tinggi lemak dan bergula disebut "makanan yang menenangkan."