Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Di Balik Kesuksesan Kita, Ada Tetesan Keringat Guru

25 November 2020   07:21 Diperbarui: 25 November 2020   07:23 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Setiap tetes keringat guru keluar hanya agar muridnya bisa menjadi berlian yang berkilau (foto: Republika/Agung Supriyanto)

Dalam sebuah diskusi, seorang murid bertanya kepada gurunya:

"Jika memang benar para guru adalah orang-orang yang pintar, mengapa bukan para guru yang menjadi pemimpin dunia, pengusaha sukses, dan orang-orang kaya raya itu?"

Mendengar pertanyaan muridnya tersebut, sang guru tersenyum. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, sang guru lalu masuk ke ruangannya, dan keluar kembali dengan membawa sebuah timbangan.

Ia meletakkan timbangan tersebut diatas meja dan berkata pada muridnya, " Muridku, ini adalah sebuah timbangan yang biasa digunakan untuk mengukur berat emas dengan kapasitas hingga 5000 gram. Menurutmu, berapa harga emas seberat itu?"

Murid tersebut mengernyitkan keningnya, menghitung sebentar.

"Jika harga satu gram emas adalah 800 ribu rupiah, maka 5000 gram akan setara dengan 4 milyar rupiah," kata sang murid.

"Kalau jawabanmu begitu, sekarang coba bayangkan seandainya ada seseorang yang datang kepadamu membawa timbangan ini dan ingin menjualnya seharga emas 5000 gram.  Adakah yang bersedia membelinya?"

"Tentu saja tidak, Guru," jawab sang murid. "Timbangan emas tidak lebih berharga dari emasnya. Di pasar, saya bisa mendapatkan timbangan tersebut dengan harga di bawah lima ratus ribu rupiah. Mengapa ada orang yang harus membayar sampai 4 milyar rupiah?"

"Muridku, seperti itulah perumpamaan untuk menjawab pertanyaanmu tadi. Kalian para murid, adalah emas, dan kami para guru adalah timbangan dari bobot prestasimu. Kalianlah yang seharusnya menjadi perhiasan dunia ini, dan biarkan kami tetap menjadi timbangan yang akurat dan presisi untuk mengukur kadar kemajuanmu," jawab sang guru sambil tersenyum.

Melihat muridnya terdiam, sang guru melanjutkan petuahnya.

"Jika ada seseorang datang kepadamu membawa sebongkah berlian di tangan kanannya dan seember keringat di tangan kirinya, kemudian ia berkata: '"Di tangan kiriku ada keringat yang telah aku keluarkan untuk menemukan sebongkah berlian yang ada di tangan kananku ini, tanpa keringat ini tidak akan ada berlian. Maka belilah keringat ini dengan harga yang sama dengan harga berlian."' Apakah kamu mau membeli keringat itu?"

"Mana ada yang mau, Guru. Buat apa membeli keringat orang," jawab sang murid.

"Nah begitulah. Orang hanya akan membeli berliannya dan mengabaikan keringatnya. Biarlah kami, para guru, menjadi keringat itu dan kalianlah yang menjadi berliannya." 

Sang guru lalu melanjutkan, "Ketahuilah muridku, setiap tetes keringat guru keluar hanya agar muridnya bisa menjadi berlian yang berkilau. Guru mengajar di depan kelas dan murid diminta memperhatikan, itu bukan karena guru tak tahu metode mengajar yang baik. Melainkan agar murid dapat belajar menghargai proses kerja orang lain.

Guru memukul murid yang bandel, bukan sekedar lantaran ia marah. Melainkan agar murid bandel tersebut sadar akan kesalahannya dan bisa mengerti nilai-nilai kebaikan.

Guru melarang murid melakukan hal-hal lain di tengah pembelajaran, bukan karena ia tak mengerti kesenangan muridnya. Melainkan ia sedang memberi pelajaran pada murid untuk menatap masa depan yang lebih baik.

Bersabarlah atas 'pahitnya' menghadapi kemarahan guru. Karena mengendapnya ilmu di hati itu kamu raih berkat didikan kerasnya."

Mendengar petuah gurunya, sang murid menangis. Kemudian ia memeluk gurunya dan berkata, "Wahai Guru, betapa mulia hati kalian, dan betapa ikhlasnya kalian, terima kasih Guru. Kami tidak akan bisa melupakan kalian, karena dalam setiap kesuksesan kami, setiap kilau berlian kami, ada tetesan keringatmu."

Dengan tersenyum, sang guru memandang wajah muridnya yang sembab. Lalu, ditatapnya langit-langit dengan wajah penuh harap, "Biarlah keringat itu menguap, mengangkasa menuju alam hakiki di sisi Ilahi Rabbi. Karena hakikat akhirat lebih mulia dari segala pernak-pernik di dunia ini."

Hormatilah gurumu, sekecil apapun pelajaran yang pernah kamu terima darinya. Kesuksesanmu saat ini tak lepas dari tetesan keringat gurumu.

Jangan lupakan guru yang pertama kali mengajarimu Alif Ba Ta dan A B C D, karena dari mereka kamu bisa mengaji dan bisa membaca. Setiap satu huruf yang kita baca mengalir pahalanya kepada mereka.

Selamat Hari Guru Nasional, 25 November 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun