Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Blogger Tak Wajib Menggunakan Bahasa Indonesia yang Baku

9 Oktober 2020   07:00 Diperbarui: 9 Oktober 2020   07:21 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dalam hal bahasa ngeblog, tidak ada kewajiban bagi blogger untuk menggunakan Bahasa Indonesia yang baku (ilustrasi: unsplash.com/Jason Leung)

Apa pedulinya blogger dengan Bahasa Indonesia yang baku? Kalau kamu blogger, tak usah terlalu ambil pusing apakah kamu sudah menggunakan Bahasa Indonesia yang baku, baik dan benar.

Memangnya bahasa ngeblog itu bahasa jurnal atau karya ilmiah yang serba baku hingga terasa kaku?

Enggak kan?

Coba deh kamu blog walking alias berselancar di berbagai situs milik blogger ternama. Kamu perhatikan diksi dan frasa yang mereka gunakan. Seratus persen aku yakin mereka banyak menggunakan kata atau istilah populer yang sering kita dengar.

Pilihan Kata Tergantung Target Pembaca

Memang sudah sewajarnya, karena target pembaca blogger-blogger itu adalah orang awam yang tidak begitu peduli dengan kaidah berbahasa yang baik dan benar. Berbeda jika blog itu ditujukan untuk kalangan akademisi, yang kontennya mengulas pengetahuan di bidang-bidang ilmu tertentu.

Berbeda pula jika kamu punya preferensi atau minat ketatabahasaan. Seperti yang bisa kamu baca di artikel-artikelnya Mas Khrisna Pabhicara atau Bang Ivan Lanin. Atau jika kamu suka menulis puisi yang nada suaranya mendayu-dayu, tentunya kamu harus menggunakan diksi dan frasa yang tepat, baik dan benar pula.

Intinya, dalam hal penulisan artikel populer tidak ada salahnya jika kita menggunakan istilah-istilah yang populer dan familiar, alih-alih menggantinya dengan kata serapan yang baku, tapi membingungkan pembacanya.

Misalnya, pernahkah kamu menggunakan diksi 'jenama'? Mendengarnya saja mungkin baru kali ini. Asal kamu tahu, jenama adalah bentuk baku alih bahasa dari istilah 'brand'. Kata ini lebih baku dibandingkan kata 'merek' untuk arti yang sama.

Atau mungkin kamu pernah mendengar diksi 'anggit'. Pertama kali mendengar, tentunya telingamu merasa asing dengan kata 'anggit' atau 'menganggit'. Kata ini sering dipakai penulis atau blogger yang concern dengan tata bahasa sebagai ganti dari kata 'menggubah' atau 'mengarang'.

Paradoks Pemakaian Kata Baku Bahasa Indonesia

Harus diakui, banyak istilah atau perbendaharaan kata dalam Bahasa Indonesia yang belum dikenal, didengar dan digunakan rakyatnya sendiri. Seolah ada paradoks tersendiri menyangkut penggunaan kata-kata baku, pemakaian istilah asing dan kata serapannya dalam Bahasa Indonesia.

Dulu, masyarakat belum terbiasa atau belum banyak yang mengerti dengan kata-kata yang asing. Tapi sekarang terbalik keadaannya. Masyarakat lebih familiar dengan istilah asing daripada istilah serapan yang telah disesuaikan ejaannya.

Mengapa?

Sedap atau tidaknya sebuah kata itu didengar tentu saja disebabkan karena kata tersebut frekuensi penggunaannya tinggi sehingga telinga kita jadi terbiasa mendengarnya. Dan, ketika kata itu sudah begitu sering digunakan masyarakat, penyerapannya dilakukan secara adopsi, artinya tidak mengubah susunan huruf-hurufnya.

Seperti kata 'netizen'. Kata ini sudah resmi masuk dalam perbendaharaan KBBI dan tidak lagi dianggap sebagai istilah asing yang harus ditulis miring. Untuk bisa masuk dalam KBBI, sebuah kata selain frekuensinya tinggi, juga harus baru, unik, sedap didengar, dan berkonotasi positif. 

Meski begitu, tidak semua istilah atau kata asing dapat diadopsi begitu saja. Ambil contoh kata 'online' atau 'offline'. Sekalipun sering digunakan, ternyata dua kata ini harus rela diubah menjadi 'daring' (akronim dari 'dalam jaringan') dan 'luring' (akronim dari 'luar jaringan').

Begitu pula dengan 'brand' yang meskipun sudah akrab di telinga kita, ternyata tidak mampu menembus tembok belas kasih KBBI. Alih-alih mengadopsinya, KBBI memilih kata 'jenama' yang banyak digunakan dalam Bahasa Malaysia!

Bahkan kata 'blogger' sendiri juga semestinya ditulis miring karena belum dianggap bagian dari keluarga besar Bahasa Indonesia. Sebagai penggantinya, banyak penulis menggunakan kata 'narablog'.  Istilah ini pertama kali diperkenalkan Enda Nasution, penulis yang dijuluki Bapak Blogger Indonesia pada 2009. Kamu pernah menggunakannya? Jawabannya sudah bisa kutebak.

Gunakan Saja Kata yang Populer, Asal Ditulis dengan Benar

Sebagai warga negara yang baik, semestinya kita harus menggunakan Bahasa Indonesia yang baik dan benar pula. Namun dalam hal penulisan artikel populer alias ngeblog, tidak ada kewajiban kita harus menggunakan kata-kata dalam Bahasa Indonesia yang baku, yang sudah tercantum secara resmi di KBBI.

Silahkan saja menggunakan istilah atau kata-kata asing yang sudah populer, dengan syarat kamu harus menggunakannya secara konsisten. Misalnya kamu sudah terlanjur menggunakan kata 'brand', ya sudah gunakan kata ini terus sampai titik terakhir artikelmu. Jangan kamu campur adukkan 'brand' dengan 'jenama' secara bergantian.

Selain itu, penulisannya juga harus mengikuti kaidah penulisan yang berlaku. Dalam buku Pedoman Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (2003) dijelaskan bahwa huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama ilmiah atau ungkapan asing kecuali yang telah disesuaikan ejaannya. Ini untuk membedakan kata tersebut berasal dari luar, bukan kata baku atau serapan yang telah disesuaikan ejaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun