Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Sejarah Harus Dipelajari agar Kita Dapat Merevisinya

23 September 2020   06:32 Diperbarui: 25 September 2020   03:00 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sejarah harus dipelajari agar tidak ada lagi keraguan pada satu peristiwa di masa lalu (ilustrasi:colourbox.com)

Menurut Hart, penjelasan yang paling mungkin adalah Shakspere merupakan hoaks yang diciptakan keluarga Edward de Vere ketika mereka memutuskan menerbitkan kumpulan karyanya dan memilih terus mempertahankan kerahasiaan identitasnya.

Tindakan Hart yang merevisi bukunya yang paling terkenal merupakan sebuah keberanian tersendiri bagi seorang penulis karena ada pengakuan kesalahan yang ia buat sebelumnya. Apalagi buku itu menyangkut sejarah, bidang ilmu yang mungkin tidak banyak orang berani mengutak-atik kebenarannya.

Selain menghargai keberanian Hart, satu pelajaran yang bisa kita ambil dari buku 100 Tokoh Paling Berpengaruh di Dunia Edisi Revisi ini adalah: sejarah bisa diperbaiki.

Siapa yang Berani Memperbaiki Sejarah Pemberontakan G30S/PKI?

Dalam perjalanan waktu, ada begitu banyak peristiwa di masa lalu yang mengundang keraguan, memantik kecurigaan dan memicu pertanyaan-pertanyaan skeptis. Satu contoh yang paling nyata dari sejarah bangsa kita sendiri adalah peristiwa pemberontakan PKI, atau yang kita kenal dengan pemberontakan G30S/PKI.

  • Benarkah Soeharto dalang dari pemberontakan tersebut?
  • Apakah Soekarno terlibat atau hanya jadi kambing hitam?

Itu hanya dua contoh dari sekian banyak pertanyaan yang meragukan kebenaran sejarah pemberontakan PKI. Tak dapat diragukan lagi, peristiwa pemberontakan PKI tahun 1965 merupakan episode paling gelap dari sejarah bangsa kita sekaligus paling kontroversial kebenarannya.

Ada banyak tulisan, dokumen hingga pengakuan pelaku sejarah itu sendiri yang mencoba mencari kebenaran sejati dari peristiwa pemberontakan G30S/PKI. Misalnya dokumen-dokumen yang diklaim berasal dari CIA, yang menyebutkan keterlibatan Soeharto dalam pemberontakan tersebut.

Walaupun begitu, belum ada satu pun sejarawan yang sampai pada satu kesimpulan dan berani tanpa keraguan sedikitpun mengatakan bahwa "Inilah fakta yang paling benar" dari peristiwa pemberontakan paling berdarah di negeri ini.

Setiap kali ada yang mengemukakan argumentasi, hampir pasti diiringi dengan keraguan atau terselip tanda tanya. Satu data atau informasi bisa dibantah dengan data dan informasi lain yang bertolak belakang.

Dalam hal sejarah pemberontakan PKI, banyak tulisan-tulisan tentang pemberontakan tersebut yang masih terbentur pada konflik kepentingan. Artinya, sumber-sumber tertulis itu belum bisa menempatkan posisi di tengah, tidak terpengaruh dengan situasi sosial politik apapun yang sekiranya dapat mempengaruhi obyektivitasnya.

Padahal menurut sejarawan Jerman, Leopold van Ranke, sejarah harusnya ditulis "wie es eigentlich gewesen" (sebagaimana sebenarnya terjadi). Tak boleh ada persepsi apalagi opini pribadi.

Sejarawan harus tunduk kepada fakta, harus punya integritas, dan harus obyektif (imparsial atau tidak memihak). Maksud Ranke dengan diktumnya itu ialah agar ilmu sejarah sama obyektifnya dengan ilmu-ilmu alam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun