"Iya!"
Mendengar jawaban Ibrahim a.s, langkah kaki Hajar langsung terhenti. Setelah terdiam sejenak, meluncurlah kata-kata dari bibirnya yang mengagetkan semua malaikat, bahkan seisi alam semesta.
"Jika ini perintah Tuhanmu, pergilah. Tinggalkan kami di sini. Tak usah mengkhawatirkan kami. Engkau pergi demi Tuhanmu, maka Tuhanmu juga yang akan menjaga kami."
Tanpa berpamitan, tanpa berkata-kata lagi, Ibrahim a.s pun beranjak pergi. Dilema hatinya punah sudah. Langkahnya kian pasti, menuju pengabdian pada Sang Ilahi.
***
Memaknai Ulang Arti Keikhlasan
Peristiwa Ibrahim a.s dan Hajar adalah kisah romantisme Keikhlasan. Nabi Ibrahim a.s dan Hajar mengajarkan pada kita apa sebenarnya arti "Ikhlas".
Selama ini, kita selalu menafsirkan "ikhlas" dengan tidak mengharapkan jerih-payah terhadap amal perbuatan. Kita juga biasa memaknai "kata ikhlas" dengan "lillahi rabbil a'lamin". Seluruh amal perbuatan hanya mengharap ridha Tuhan semata.
Kita juga kerap mengartikan kata "ikhlas" dengan mengetahui lawan katanya, yakni riya dan sum'ah. Ingin pamer dan berhasrat mendengar pujian orang. Dalam bahasa singkatnya, rekayasa perbuatan. Orang yang merekayasa perbuatannya, maka orang itu tidak ikhlas.
Seorang mahasiswa yang berceramah di hadapan jamaah masjid yang mayoritasnya tidak lulus SD, namun ia menyampaikan ceramah dalam bahasa serta istilah yang "rumit" agar jamaahnya  menganggap ia pintar, maka ia bisa jadi telah tidak ikhlas. Atau saya sering menulis soal agama agar memberi kesan kepada pembaca bahwa saya orang yang religius nan salih, maka saya bisa jadi telah terjerumus ke dalam tidak ikhlas.
Tapi kalau kita membaca kisah Ibrahim a.s dan Hajar di atas, kita sepertinya perlu memaknai ulang kata "ikhlas".
Ikhlas adalah kepasrahan, bukan mengalah apalagi menyerah kalah. Ikhlas adalah memilih jalan-Nya, bukan karena kita terpojok tak punya jalan lain.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!