Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Poligami, antara Logika Cinta dan Logika Matematika

14 Februari 2020   23:31 Diperbarui: 14 Februari 2020   23:45 815
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi poligami (Getty Images melalui time.com)

Dalam Islam, poligami itu diperbolehkan, titik. Ada dasar hukum agamanya, ada dalilnya, titik. Bagi yang tidak berkepentingan, tak perlu kiranya ikut serta memperdebatkannya.

Lalu mengapa hingga sekarang masih banyak yang mempermasalahkan poligami?

Poligami Dianggap Memicu Ketidakadilan

Saya melihat ada semacam pembelokan opini, bahwa praktik poligami itu dianggap tidak adil. Setidaknya ada dua ketidakadilan menurut mereka yang kontra poligami.

Pertama, letak ketidakadilan itu menurut beberapa pria karena akan mengurangi kesempatan mereka untuk mendapatkan cinta seorang wanita. Setiap pria harusnya diberi kesempatan yang adil untuk menemukan seorang istri. Inilah yang dinamakan ketidakadilan distributif.

Argumen keadilan distributif didasarkan pada gagasan bahwa banyak wanita akan memilih untuk menjadi istri pria kaya kedua, ketiga, dan keempat. Dengan begitu, kesempatan bagi pria yang berpenghasilan menengah ke bawah akan semakin kecil, bahkan bisa jadi mereka akan dibiarkan tanpa akses menuju jenjang pernikahan.

Alasan kedua datangnya dari para wanita. Menurut para wanita yang tidak mau dimadu, praktik poligami mengurangi hak mereka untuk mendapatkan cinta suami seutuhnya. Inilah yang dinamakan ketidakadilan cinta.

Padahal, Islam justru menjunjung tinggi keadilan dalam praktik poligami. Islam mensyaratkan dengan ketat, bahwa hanya pria "yang mampu berlaku adil" saja yang diperbolehkan, atau dipersilahkan untuk poligami.

Logika Matematika dalam Praktik Poligami

Masalahnya,  "keadilan" dalam poligami itu seringkali dilihat berdasarkan logika matematika. Baik bagi yang pro maupun kontra.

Misalnya, wanita menganggap poligami itu tidak adil karena mengurangi "hak cinta" mereka. Menurut logika matematika mereka yang kontra poligami, seorang pria yang memiliki dua istri atau lebih, maka  cinta, perhatian dan kasih sayangnya tentu akan terbagi pula.

Kadar cinta suami itu 100 persen. Bila ia punya dua istri, tentu cintanya akan terbelah, masing-masing istri hanya kebagian cinta 50:50. 

Karena itulah muncul istilah penolakan, "tidak mau diduakan cintanya". Pinginnya, seorang istri itu memiliki cinta suami sepenuhnya, murni 100% kadar cintanya.

Bagaimana dengan yang pro poligami?

Sama saja, mereka juga melihat "keadilan" itu berdasarkan logika matematika. Bagi pria yang poligami, jika istri pertama diberi uang belanja 5 juta, istri kedua juga harus diberi uang belanja yang sama besarnya.

Jika istri pertama memperoleh jatah nafkah batin dua hari, maka istri kedua juga harus dikunjungi dua hari pula. Inilah makna "adil" versi logika matematika yang dianut banyak pria pro poligami.

"Adil" Dalam Poligami itu Berdasarkan Logika Cinta

Yang dimaksud "adil" dalam berpoligami itu tidak menganut logika matematika. Syarat berlaku adil bagi pria yang ingin berpoligami ini menganut logika cinta.

Seorang pria bisa saja berlaku adil secara fisik. Memberi nafkah lahir atau nafkah batin sama besarnya. Tapi bagaimana dengan cintanya? Bagaimana dengan perhatian dan kasih sayangnya?

Nah, sekarang waktunya "keadilan" versi logika cinta yang berbicara.

Kadar sebuah cinta itu memang harus 100 persen, tapi ia tidak dapat dibagi habis. Misalnya satu keluarga terdiri dari suami, istri dan satu anak. 

Jika menuruti logika matematika, cinta suami yang kadarnya 100 persen tentu akan habis dibagi dua: istri 50%, anak juga 50%. Sama seperti logika wanita yang "tidak mau dibagi dua cintanya" tadi.

Logika cinta tidak seperti itu. Sang suami mencintai istrinya 100 persen, demikian pula rasa cintanya pada sang anak, sama 100 persen. Seandainya ada orang tuanya yang tinggal bersama, kadar cinta suami pada ayah atau ibunya juga harus 100 persen.

Jadi, kalau dalam satu keluarga ada suami, istri, satu anak dan dua orang tua, masing-masing memperoleh kadar cinta yang sama besarnya 100 persen. Bukan 100 habis dibagi 4. Untuk istri, anak dan kedua orang tua masing-masing kebagian seperempat rasa cintanya suami.

Logika cinta inilah yang harus dipraktekkan dalam poligami. Bagi pria yang ingin menikah lagi, baik istri pertama maupun kedua harus tetap memperoleh rasa cinta yang sama besarnya, 100 persen.

Pertanyaannya, mampukah seorang pria berbuat adil seperti itu? Mampukah ia membagi cinta, kasih sayang dan perhatian sama besarnya kepada setiap istrinya?

Rasanya kok hampir mustahil bagi pria kebanyakan. Yang sering terjadi, seorang pria tentu memiliki rasa cinta yang lebih besar kepada istri barunya. Seorang pria tentu akan lebih memperhatikan istrinya yang lebih muda dan lebih cantik. Benar kan?

Seandainya para pria menyadari syarat yang berat ini, tentu mereka akan berpikir dua kali bila ingin poligami. Masalahnya, para pria sering meremehkan syarat poligami ini. Mereka menerapkan asas "keadilan" yang disyaratkan Islam dalam poligami dengan logika matematika, bukan berdasarkan logika cinta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun