Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Foodie Artikel Utama

Menelusuri Jejak Penyebaran Varietas Kopi di Indonesia

6 Desember 2019   09:10 Diperbarui: 13 Desember 2019   13:15 840
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi jejak penyebaran kopi (sumber gambar diolah dari Canva.com)

Sejarah kopi di Indonesia tidak lepas dari sejarah perkebunan. Dalam sejarah Indonesia, tidak ada aktivitas yang sangat menyita lahan dan penduduk di negara ini selain perkebunan.

Perolehan devisa negara kolonial sangat mengandalkan produktivitas dari sektor perkebunan. Bersama dengan rempah-rempah dan tebu, kopi adalah komoditas utama hasil perkebunan pemerintah Hindia Belanda di tanah Indonesia. 

Dari ketiga komoditas inilah VOC dan Belanda memperoleh pundi-pundi kekayaan mereka semasa jaman kolonial. Tentu saja kekayaan tersebut tak lepas dari politik tanam paksa yang diiringi dengan kekejaman dan penindasan terhadap penduduk pribumi.

Khusus tentang kopi, sudah banyak literatur yang membahas sejarah perkebunan kopi di Indonesia. Masalahnya, hampir semuanya hanya menyebut diksi "KOPI", tanpa ada penjelasan lebih lanjut untuk menjawab sebuah pertanyaan "kopi yang mana?"

Hingga saaat ini, lebih dari 70% perkebunan kopi di Indonesia adalah perkebunan kopi varietas Robusta. Pada tahun 2017, luas lahan perkebunan kopi robusta di Indonesia adalah 898.145 ha (73%) dari total luas perkebunan kopi sebesar 1.227.787 ha.

Sementara luas lahan perkebunan kopi Arabika adalah 330.498 (26,9%) ha dan sisanya yang mencapai tidak lebih dari 1% adalah perkebunan kopi Liberika. Keseluruhan luas lahan tersebut sudah termasuk perkebunan rakyat (96%), perkebunan negara dan perkebunan milik swasta.

Kembali pada sejarah, ada sebuah anomali jika kita melihat perjalanan waktu dari perdagangan beberapa varietas kopi. Kopi Arabika adalah yang pertama ditemukan dan diperdagangkan (sejak tahun 1600), menyusul kemudian kopi Liberika (sejak tahun 1875) dan yang terakhir adalah kopi Robusta yang mulai dikenal dan diperdagangkan pada awal tahun 1900-an. 

Dengan melihat perjalanan waktu dari jenis kopi yang diperdagangkan, timbul sebuah pertanyaan, "Bagaimana proses masuknya ketiga jenis kopi tersebut ke dalam perkebunan Indonesia?"

Masuknya Bibit Kopi Arabika Pertama di Batavia
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita harus kembali ke tahun 1969. Ketika itu, Walikota Amsterdam, Nicolaas Witsen meminta komandan VOC di Malabar, kapten Adrian van Ommen untuk membawakan bibit kopi yang didapatnya dari kota Mocha, Yaman ke Batavia. Bibit kopi yang akhirnya ditanam di lahan pribadi Gubernur VOC di Batavia, Willem van Hoorn itu adalah bibit kopi Arabika. 

Setelah tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah, van Hoorn mengirim beberapa contoh biji kopi ke Belanda. Biji kopi yang dikirim tersebut akhirnya menjadi benih nenek moyang tanaman kopi Arabika di Hindia Barat dan Amerika. 

Pada tahun 1706, biji kopi dari Jawa diterima oleh para anggota direksi VOC. Setelah diteliti dan diujikembangkan dengan baik di laboratorium botani kerajaan, Hortus Medicus, De Heeren Zeventien (Tuan Tujuh Belas, sebutan untuk anggota direksi VOC) menulis surat yang berisi saran agar pembudidayaan produk ini menjadi perhatian serius dari Gubernur Jenderal van Hoorn.

Pada akhir tahun 1707, van Hoorn membalas saran atasannya tersebut dengan mengirim surat yang mengatakan bahwa dia sudah membagikan tanaman kopi itu kepada beberapa kepala daerah pribumi di sepanjang pantai Batavia sampai Cirebon. 

Sayangnya, benih tanaman kopi itu ternyata tidak cocok untuk daerah dataran rendah. Karena itu lokasi penanaman kemudian dipindahkan ke daerah yang lebih tinggi, yakni ke perbukitan Krawang dan beberapa tempat yang lebih tinggi lagi. 

Pemindahan lokasi penanaman ini membawa hasil yang lebih baik. Bibit kopi jenis Arabika ini ternyata harus ditanam di daerah dataran tinggi. Setelah itu, pembudidayaan kopi Arabika, yang oleh pemerintah Belanda disebut Javakoffie meluas dengan cepat terutama di dataran tinggi Priangan. 

Pada tahun 1711, kopi Jawa pertama kalinya dijual di pelelangan umum di Amsterdam. Dan pada tahun 1720, VOC untuk pertama kalinya mengekspor kopi dari Jawa senilai 116.587 poundsterling.

Empat tahun kemudian, pasar Amsterdam menjual 1,396,486 pound kopi dari Jawa. Pada tahun 1726, VOC sudah menguasai tiga perempat perdagangan kopi di dunia, dan dari jumlah itu setengahnya dihasilkan dari perkebunan kopi Priangan. 

Selama hampir 100 tahun sejak benih kopi Arabika pertama kali ditanam di pulau Jawa, VOC menangguk keuntungan yang sangat besar dari komoditas kopi jenis Arabika di Indonesia. Ini karena banyak pejabat VOC, pedagang perantara dan para bupati pribumi yang ikut mengambil untung dari perdagangan kopi di Hindia Belanda.

Karena itu, pemerintah Belanda kemudian mengangkat Herman Willem Daendels menjadi gubernur-jenderal dan mengambil alih monopoli kekayaan alam Indonesia pada tahun 1808.

Terbitnya Ordonansi Priangan dan Cultuurstelsel
Tugas utama Daendels saat itu adalah mencegah perebutan kekuasaan Inggris-yang saat itu sudah mengancam Jawa- dan yang tidak kalah penting adalah untuk menertibkan dan menggariskan pengelolaan kekayaan alam -- komoditas pertanian dan perkebunan - di wilayah Hindia Belanda.

Segera sesudah kedatangannya, Daendels menyatakan kebijakan terpentingnya, "Kewajiban Penanaman Kopi", atau yang dikenal sebagai Ordonansi Priangan. 

Peraturan Priangan tersebut berisi kewajiban penanaman kopi di daerah lain di Jawa dan dilakukan dengan cara yang sama seperti di Kabupatenan Priangan. Yakni dengan menetapkan skala gaji berjenjang dan menyamakan ukuran pikul yang mendasari satuan upah.

Para bupati tidak diperbolehkan menerima persembahan tahunan seperti sebelumnya. Selain itu, para petani di daerah yang terkena aturan wajib tanam kopi dibebaskan dari semua kewajiban lain selain penyetoran kopi. 

Sebelum ordonansi itu dibuat, para bupati atau keluarga kerajaan di wilayah Priangan membayar upeti tahunan berupa kopi kepada VOC untuk hak istimewa mempertahankan pendapatan tanah yang mereka punya. Ini merupakan buah dari perjanjian mereka dengan VOC yang dibuat pada pertengahan abad ke-18.

Peraturan monopoli dari Daendels kemudian dimodifikasi oleh gubernur-jenderal Van Den Bosch yang ketika menjabat mengeluarkan kebijakan Cultuurstelsel atau "Tanam Paksa".

Di bawah sistem Van den Bosch, setiap keluarga diminta untuk membesarkan dan merawat 650 pohon kopi dan untuk mengirimkan hasil panen kopi yang sudah dibersihkan dan disortir ke toko-toko pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan. Pemerintah kemudian menjual kopi pada pelelangan publik di Batavia, Padang, Amsterdam, atau Rotterdam.

Masa bulan madu Pemerintah Belanda dengan tanaman kopi di Indonesia perlahan mulai surut menjelang akhir abad ke-19 hingga awal tahun 1900-an.

Pada periode tahun 1850-1855 perkebunan kopi di pulau Jawa masih mampu menghasilkan panen kopi hingga 985.704 pikul atau sekitar 55,8 ton. Dan pada periode tahun 1906-1908 pulau Jawa hanya menghasilkan panen kopi sebesar 81.746 pikul, atau sepersepuluh dari jumlah panen di tahun 1855.

Wabah Penyakit Karat Daun
Penurunan angka produksi kopi di Jawa ini disebabkan oleh beberapa hal. Diantaranya adalah menurunnya luas perkebunan kopi dan jatuhnya harga kopi dari Jawa karena persaingan dengan komoditas kopi Arabika dari Brazil.

Namun penyebab utama dari penurunan produksi ini adalah mewabahnya fitopatologi atau beberapa penyakit dan parasit yang menyerang tanaman kopi Arabika.

Hama yang paling banyak menyerang adalah penyakit karat daun yang disebabkan oleh Hemileia vastatrix. Jenis jamur ini diperkirakan masuk ke pulau Jawa sekitar tahun 1878.

Sebelum masuk ke Indonesia, penyakit karat daun menyerang perkebunan kopi di Ceylon (Srilanka) dan kemudian menyebar ke India. Di Srilanka, bekas lahan perkebunan kopi yang terserang wabah penyakit diganti dengan tanaman teh.

Selain Hemileia vastarix, penyakit lain yang saat itu menyerang tanaman kopi adalah dua spesies nematoda, yaitu Tylenchus coffeae dan Tylenchus acutocaudatus yang mulai dikenal sejak tahun 1898. Kedua spesies nematoda ini menyerang akar tanaman kopi.

Dampak yang diakibatkan dari serangan nematoda ini bahkan lebih parah dari serangan penyakit karat daun. Pohon yang sudah terjangkiti Tylenchus tidak bisa menghasilkan buah kopi lagi, dan perlahan akan mati. 

Masuknya Varietas Kopi Liberika
Untuk mengantisipasi kepunahan kopi Arabika di perkebunan pulau Jawa, pemerintah Belanda memutuskan untuk mengimpor benih kopi Liberika (Coffea liberica). Kopi jenis ini awalnya dipandang lebih tahan terhadap serangan hama penyakit karat daun. 

Benih kopi yang didatangkan langsung dari Liberia ini sebagian besar ditanam di perkebunan dataran rendah, atau di lahan bekas tanaman kopi Arabika terserang hama.

Hingga tahun 1888, kopi Liberika sudah tersebar di perkebunan kopi di 6 Karesidenan pulau Jawa yakni Pasuruan, Probolinggo, Madiun, Besuki, Priangan, Tegal, dan sedikit di perkebunan kopi Lampung, Sumatera. 

Sayangnya, kopi Liberika ternyata juga tidak begitu kebal terhadap serangan hama penyakit tanaman kopi. Beberapa pohon kopi Liberika yang ditanam di bekas perkebunan kopi Arabika menunjukkan penurunan produksi. 

Hal ini diduga karena struktur tanah yang ditempati pohon kopi Liberika masih mengandung jamur yang kemudian beradaptasi dengan cepat dan menyerang tanaman kopi spesies baru ini.

Dalam beberapa tahun berikutnya, tanaman kopi Liberika akhirnya ikut terkena wabah penyakit sehingga di sebagian besar wilayah Jawa, di mana budaya kopi tersebut digerakkan, tidak ada perkebunan yang menguntungkan yang dapat dibuat dari kopi Liberika. 

Masuknya Varietas Kopi Robusta yang Lebih Tahan Lama
Pada tahun 1900 jenis kopi robusta (Coffea canephora) mulai diperkenalkan di Indonesia. Beberapa perkebunan kopi di Jawa mulai mengimpor spesies kopi baru, termasuk kopi Robusta di tahun 1901. Benih kopi Robusta diperoleh dari perusahaan pembibitan L'Horticole Coliniale di Brussels, Belgia.

Kopi Robusta dibudidayakan pertama kali di Belgia pada tahun 1898. Kopi ini disebut Robusta oleh pihak Belgia karena terbukti lebih kuat terhadap penyakit dan memiliki persyaratan ekologis minimal dalam hal kelembaban, suhu, dan ketinggian perkebunan. 

Meskipun berbeda dalam rasa, kopi Robusta segera menjadi alternatif yang berguna dari kopi Arabika yang rentan penyakit karena asal genetika mereka yang sempit. Setelah sukses dibudidayakan di Belgia, permintaan untuk benih kopi Robusta segera berdatangan, salah satunya dari pemerintah Belanda untuk perkebunan kopi di Indonesia.

Secara perlahan, jenis kopi Robusta akhirnya mulai banyak ditanam di perkebunan-perkebunan kopi di Jawa. Hingga tahun 1919, tanah yang ditanami untuk semua jenis kopi di Jawa dan pulau-pulau lain di Hindia Belanda seluas 142.272 are, di mana 112.138 are berada di Jawa.

Dari total luas area ini, 110.903 are ditanami kopi Robusta, 15.314 are ditanami kopi Arabika, 4,940 are ditanami kopi Liberika, dan 11,115 are ditanami varietas kopi lainnya.

Penyebaran Kopi di Luar Pulau Jawa
Meskipun mengandalkan perkebunan kopi di pulau Jawa, pemerintah Belanda juga membuka perkebunan kopi di pulau-pulau lainnya. Perkebunan kopi terbesar kedua saat itu berada di pulau Sumatera.

Secara praktis semua "distrik kopi" di Sumatra berada di pantai barat, di mana tanaman kopi pertama kali diperbanyak pada awal abad ke-18. Distrik Padang merupakan markas untuk kopi Sumatra.

Dengan iklim dan tanah yang mirip dengan Jawa, pulau Sumatra memiliki keuntungan tambahan bahwa tanahnya bukan termasuk jenis "coffee moe", atau tipe tanah yang sudah lelah ditanami kopi. Hingga kini, beberapa kopi terbaik dunia masih berasal dari Sumatra.

Pada tahun 1920, perkebunan kopi di Sumatra menghasilkan 287.179 pikul (35,897,375 pound) kopi pada tahun 1920. Distrik Ankola (saat ini kabupaten Angkola Sipirok, Tapanuli Selatan), Siboga (Sibolga), Ayer Bangies (Air Bangis), Mandheling (Mandailing), Palembang, Padang, dan Benkoelen (Bengkulu) di pantai barat, memiliki beberapa perkebunan terbesar di pulau Sumatera.

Produk kopi dari distrik tersebut sudah terkenal dalam perdagangan internasional. Sebagaimana di Jawa, selama satu abad lebih budidaya kopi di Sumatera berada di bawah monopoli pemerintah Belanda. Baru pada tahun 1908 monopoli tersebut dilepas. 

Selain di Jawa dan Sumatera, pemerintah Belanda juga menyebarkan benih kopi untuk ditanam di perkebunan pulau Sulawesi, Bali, Lombok, Maluku dan Timor. Namun, jumlah hasil panennya tidak signifikan.

Daftar Pustaka:

  1. Buku Statistik Kopi 2015-2017. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian Indonesia
  2. Ukers, William H. 1922. All About Coffee.The Tea and Coffee Trade Journal Company. New York
  3. Breman, Jan. 2014. Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa (1720-1870). Yayasan Pustaka Obor
  4. Cramer, P.J.S. 1957. A Review of Literature of Coffee Research in Indonesia. SIC Editorial, Inter-American Institute of Agriculture Science, Turialba, Costa Rica
  5. S. Oestreich-Janzen, Chemistry of Coffee, Reference Module in Chemistry, Molecular Sciences and Chemical Engineering, 2013
  6. De Gouvernements-Koffiecultuur van 1888-1903, Bijlagen van het Eerste Gedelte. Batavia. Landsdrukkerij. 1904

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun