Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pengalaman Menyaksikan Langsung Anak Sendiri Dibedah di Meja Operasi

15 November 2019   22:33 Diperbarui: 14 April 2021   16:19 756
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Izan ketika mendapat perawatan di rumah sakit (dokpri)

Salah satu momen paling menyedihkan dan mengharukan yang tak akan pernah saya lupakan adalah ketika saya menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bagaimana tubuh putra saya dibedah di meja operasi.

Ketika itu, Izan berusia 4 tahun. Sudah beberapa minggu dia merasa sakit setiap kali kencing. Setelah saya periksakan ke dokter anak di RSI Aisyiah Malang, ada semacam kotoran menyumbat saluran kencingnya.

Kata dokter, Izan harus disunat agar kotoran yang menyumbat bisa hilang dan saluran kencingnya normal kembali. Tapi, bukan itu masalah utamanya. Sewaktu memeriksa, dokter akhirnya menemukan apa yang selama ini kami coba sembunyikan: Izan hanya punya satu testis! Saya pun "diomeli" mengapa tidak sejak awal saya mengonsultasikan kelainan ini pada dokter.

Mengenal Kelainan Satu Testis

Sewaktu Izan lahir, saya sudah menyadari kelainannya tersebut. Hanya saja saya selalu berharap ada "keajaiban" bahwa testis satunya belum tumbuh, dan seiring berjalannnya usia, testis itu akan muncul.

Namun, menginjak usia empat tahun, "keajaiban" yang saya harapkan itu tidak terjadi. Antara takut dan kemungkinan harus dilakukan operasi yang memakan biaya besar, saya pun tidak pernah mengkonsultasikannya ke dokter.

Dalam bahasa medis, pria yang terlahir dengan satu buah zakar atau testis dikenal dengan istilah monorchism. Kondisi ini biasanya terjadi karena adanya gangguan pada perkembangan embrio dan tidak memiliki gejala apapun. Ada tiga penyebab utama kelainan satu testis ini:

  • Satu testis tidak turun (kriptorkismus) atau undescended testicle. Yakni kondisi ketika hanya satu testis yang turun ke dalam skrotum (kantong testis).
  • Satu testis menghilang (vanishing testis). Yakni bayi memang terlahir dengan satu testis saja karena adanya penyakit torsi testis, cedera, atau ketidakseimbangan hormon pada saat kehamilan. Kondisi ini disebut juga sindrom regresi testis.
  • Pengangkatan satu testis (orchiectomy). Prosedur pembedahan ini dapat dilakukan karena adanya tumor testis, cedera serius, penyakit torsi testis yang tidak diobati, dan kanker prostat.

Bayi yang terlahir dengan satu testis seharusnya dilakukan operasi pembedahan untuk mengetahui apakah testinya tidak turun (kriptorkismus) atau memang hanya ada satu testis saja (vanishing testis). Pembedahan ini penting dilakukan di tahun pertama kelahiran bayi untuk menghindari hilangnya fungsi testis, menjauhkan dari risiko ketidaksuburan, dan mencegah kanker testis.

Kebingungan Ketika Anak Saya Harus Mendapat Operasi Besar

Setelah mendapat penjelasan panjang lebar tersebut, saya hanya bisa pasrah dan menyetujui dilakukannya operasi pembedahan pada anak saya. Yang saya pikirkan saat itu adalah masalah biaya operasinya yang lumayan besar. Sementara asuransi dari kantor saya tidak menanggung jenis operasi seperti ini. Kalaupun saya bisa mengurus reimbursment ke kantor, mungkin tidak sampai separuh biaya saja yang dikembalikan.

Akhirnya, setelah menyampaikan kondisi keuangan saya saat itu, pihak rumah sakit bersedia memberikan keringanan. Hal ini tak lepas dari saran dan "campur tangan" dr. Bambang, salah satu dokter bedah anak senior di kota Malang yang menangani operasi pembedahan anak saya.

Pada hari operasi, saya mendapat "kejutan" lagi. Oleh dr. Bambang, saya diminta menyaksikan langsung operasi pembedahan.

Menurut beliau, ini dimaksudkan agar nantinya saya sebagai orang tua tahu sendiri apakah testis Izan belum turun, atau memang tidak ada (hanya punya satu testis). Saya sendiri tidak tahu apakah ini prosedur resmi dari operasi pembedahan monorchism.

Pengalaman Menyaksikan Langsung Operasi Pembedahan

Waktu operasi pun tiba. Saya menggendong Izan ke ruang pembedahan. Sepanjang jalan dari kamar opname-nya, Izan terus menangis. Ketika hendak disuntik bius, dia meronta dengan sangat kuatnya hingga 3 jarum suntik bengkok dan tidak berhasil menyuntikkan obat bius. Akhirnya, dokter menyiapkan tabung bius.

Dalam hati, saya meratapi mengapa tidak dari awal dibius dengan gas saja? Mengapa harus "menyiksa" anak saya sampai 3 jarum suntik menjadi bengkok karena membentur tulang mungil tangannya?

Hati saya semakin tersayat sewaktu menyaksikan detik-detik anak saya terbius dengan gas. Sambil menangis, Izan terus memanggil "Bapak, bapak, bapak...", kemudian perlahan suaranya menghilang seiring tubuhnya yang tergeletak tidak sadarkan diri. Sampai sekarang, saya sering menitikkan air mata jika momen ini melintas di kepala.

Setelah itu, saya diminta berganti pakaian operasi yang serba hijau itu, lengkap dengan penutup kepala dan masker. Karena merasa tidak kuat, saya mengatakan pada tim dokter kalau saya tidak ingin menyaksikan pembedahan tersebut.

Dokter Bambang yang mengepalai operasi setuju. Saya diminta menunggu selama pembedahan, namun nanti harus siap (dan kuat) untuk melihat langsung kondisi tubuh anak saya yang dibedah itu.

Sambil menunggu, saya terus memanjatkan doa supaya operasinya berjalan lancar dan anak saya tidak kekurangan suatu apapun juga. Waktu rasanya berjalan lambat. Beberapa kali saya mencoba untuk menengok lewat jendela kaca bagaimana jalannya operasi tersebut, namun terhalang oleh tubuh-tubuh berpakaian hijau yang sedang membungkuk ke tubuh anak saya.

Satu setengah jam kemudian, saya dipanggil dan diminta mendekat ke meja operasi. Saya lihat di meja tersebut tubuh anak saya tergeletak. Wajahnya terlihat damai.

Dokter Bambang lalu membimbing saya untuk melihat dari dekat bagian selangkangan anak saya yang dibedah. Sambil "mengorek-korek", dr. Bambang menjelaskan bahwa tim dokter sudah berusaha mencari testis yang satu, tapi tidak terlihat. Kesimpulannya, testis anak saya menghilang! Izan ditakdirkan hanya punya satu testis.

"Apakah nanti Izan masih ada harapan punya keturunan dokter?" tanya saya khawatir.

"Bapak tidak usah khawatir. Pria yang hanya punya satu testis masih bisa punya keturunan. Selama satu testis yang dimiliki dalam keadaan baik, maka kualitas sperma yang dihasilkan tetaplah baik," jelas dr. Bambang.

Operasi hari itu pun berjalan lancar. Berkat bantuan keringanan biaya dari rumah sakit, saya bisa melunasi biaya operasi, sekalipun akhirnya benar asuransi dari kantor saya tidak menanggungnya.

Sehat Itu Aset yang Paling Berharga

Pengalaman tersebut pada akhirnya membuat saya sadar, betapa berharganya kesehatan. Sehat itu aset, dan bukan sembarang aset. Melainkan aset yang sangat berharga, yang demi apapun juga harus kita jaga.

Sebagai insan, kita diwajibkan untuk berikhtiar menjaga kesehatan. Salah satu bentuk ikhtiar tersebut adalah dengan mengikuti asuransi, selain tentunya dengan menjaga kesehatan kita sehari-hari.

Manfaat utama asuransi kesehatan adalah untuk membantu menyediakan biaya dan meminimalisasi pengeluaran terkait kebutuhan medis sewaktu-waktu. Dengan begitu, kondisi keuangan kita tidak akan terganggu.

Masalahnya, tidak semua asuransi bersedia menanggung semua jenis kebutuhan medis. Untuk itu, apabila kita hendak ikut asuransi, yang pertama kali harus diperhatikan dengan cermat adalah jenis tanggungan penyakit dan perawatannya.

Sun Medical Platinum, Asuransi Tambahan dengan Perlindungan Lengkap

Produk asuransi yang terhitung lengkap jenis tanggungan penyakit dan perawatannya adalah Sun Medical Platinum. Produk ini merupakan asuransi tambahan yang memberikan perlindungan kesehatan secara lengkap hingga usia 88 tahun. Di samping itu, produk asuransi ini merupakan asuransi kesehatan pertama di Indonesia yang menyediakan perawatan untuk efek samping kemoterapi dan terapi pendukung untuk pemulihan seperti terapi wicara serta terapi okupasi.

Bicara tentang efek samping kemoterapi, saya jadi ingat dengan ibu mertua saya. Di usianya yang sudah senja, beliau mengidap kanker payudara. Saat menjalani kemoterapi, rambut ibu mertua rontok sampai habis. Tak hanya itu, ada efek samping lain yang kata dokter mempengaruhi syaraf kepalanya.

Kami sekeluarga bersyukur, hingga hari ini Ibu Mertua masih diberi kesehatan pasca payudaranya diangkat. Meskipun setiap bulan beliau harus kontrol ke dokter syaraf dan penyakit dalam sebagai efek dari perawatan penyakit kankernya tersebut.

Saya tidak mau berandai-andai, tapi mengingat manfaat yang disediakan Sun Medical Platinum untuk efek samping kemoterapi, saya hanya bisa membayangkan seandainya dulu ibu mertua saya ikut asuransi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun