Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Please, Stop Making Stupid People Famous!

8 Februari 2019   23:26 Diperbarui: 2 Juli 2021   09:15 4472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Please, Stop Making Stupid People Famous! | ilustasi. Sebuah mural bertuliskan

Setiap kali ada berita tentang tingkah konyol menjurus kebodohan dari seseorang yang lantas menjadi viral, beberapa netizen mengomentari dengan adagium "Stop Making Stupid People Famous". Pesannya sangat jelas, berhentilah memviralkan berita tingkah konyol bin bodoh itu karena akan membuat pelakunya jadi terkenal.

Seperti ketika netizen mengomentari berita viral Adi Saputra yang merusak sepeda motornya akibat ditilang polisi. Banyak netizen yang berkomentar seperti itu dengan maksud mempertanyakan apa gunanya membuat viral berita tentang kekonyolan seseorang.

Sepertinya ada nada iri dari ungkapan ini. Orang konyol dan bodoh kok dibikin terkenal. Buat apa? Mending bantu memviralkan dan memperkenalkan orang-orang yang pintar, yang ilmu dan pengetahuannya bisa bermanfaat, namun profil mereka luput dari perhatian media.

Baca juga: Prank Bagi-bagi Paket Sembako Isi Batu, Youtuber Ferdian Paleka Cari Sensasi

Ungkapan "Stop Making Stupid People Famous" ini pertama kali dipopulerkan oleh Plastic Jesus (PJ), seorang seniman jalanan Los Angeles. Pada tahun 2013, PJ membuat stensil bertuliskan "Stop Making Stupid People Famous dan menempelkannya di rambu-rambu lalu lintas, tembok, hingga jalanan kota Los Angeles. Tak hanya itu, PJ juga membuat desain kaos dengan ungkapan tersebut yang dipakainya setiap hari saat dia beraksi membuat karya seni di jalanan.


"Setiap kali saya memakai salah satu t-shirt saya, saya mendapat banyak komentar dari orang yang lewat," tulis PJ dalam emailnya ke sebuah media.

Seiring dengan popularitas ungkapan tersebut, pada tahun 2015 PJ lantas mendaftarkan hak cipta pemakaian ungkapan itu dalam desain kaos yang dibuat perusahaannya, Plastic Jesus Inc.

Sebelum menjadi seniman jalanan, PJ adalah seorang fotografer berita spesialis infotainment yang mengawali karirnya di tahun '90an. Menurut PJ dalam blognya, para penerbit media saat itu menyadari bahwa berita-berita tentang selebritis jauh lebih disukai daripada berita-berita nyata.

Seiring dengan meledaknya jumlah penonton dan pembaca infotainment, penerbit media lalu menelurkan ide "famous for being famous", terkenal karena menjadi/sengaja dijadikan terkenal. Ide ini lantas diwujudkan dalam bentuk tayangan realty show, yang menampilkan bagaimana media membuat seseorang bisa terkenal dalam sekejap hanya karena tingkah laku konyolnya yang dipertontonkan pada publik.

Melihat kondisi tersebut, nurani PJ seolah terusik. PJ lalu menulis opini di Huffington Post bahwa: 

"jika kita menginginkan media yang lebih berkualitas, kita harus berhenti membuat orang-orang bodoh menjadi terkenal. Itu dimaksudkan sebagai kritik terhadap kami, konsumen, (karena) kami membeli majalah, melihat situs web, membaca koran."

Opini PJ lantas menjadi viral, diposting ulang, ditandai dan diretweet dengan diikuti daftar "Selebriti" yang menjadi terkenal karena kekonyolan mereka. Padahal, bukan itu yang dimaksudkan PJ sebenarnya. PJ hanya melontarkan otokritik pada konsumen media bahwa mereka sendirilah yang membuat orang-orang konyol tersebut menjadi terkenal, bukan medianya.

Baca juga: TikTok antara Cari Sensasi dan Pelepas Stres

Saat media sosial mulai mewabah dan praktis menggantikan tayangan televisi atau media konvensional, "Making Stupid People Famous" juga berpindah platform. Kita bisa melihatnya lewat video-video "prank", YouTuber yang kontennya hanya berisi tingkah laku konyol nan tidak mendidik, atau berita viral seperti kasus Adi Saputra.

Mengapa konten-konten seperti ini bisa menjadi viral? Mengapa orang yang tidak berbakat ini menjadi terkenal? Apakah dia melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi masyarakat? Apakah dia melayani umat manusia dengan penemuan? Apakah mereka ilmuwan, aktivis sosial, pengusaha atau intelektual? Jawabannya tentu saja TIDAK!

Mereka hanyalah orang-orang yang tidak menawarkan konten apa pun dan sebagian besar bergantung pada mengatakan atau melakukan sesuatu yang bodoh dan bertentangan dengan norma masyarakat kita.

Anehnya, justru banyak orang "normal" yang menyukainya, menjadi followernya. Dan yang ironis adalah, justru "orang normal" lah yang membuat mereka menjadi selebriti dadakan.

Harus diakui, setiap orang memang membutuhkan hiburan. Banyak yang merasa terhibur dengan tingkah laku konyol yang dilakukan seseorang. Secara psikologis, dengan melihat kekonyolan orang lain, alam bawah sadar kita seolah secara otomatis membuat dopamin, senyawa kimia yang membuat kita senang mengalir lebih deras. Mentertawakan kekonyolan orang lain membuat diri kita menjadi lebih baik dan lebih percaya diri. 

"Sukurlah, ternyata ada yang lebih konyol dan lebih bodoh dari diriku." Mungkin seperti itu kata hati kecil kita.

Tapi bukan berarti kita harus membesarkan kekonyolan hanya karena kita merasa terhibur. Ada banyak hiburan produktif yang lucu dan pada saat yang sama mengirim pesan positif. 

Ada banyak pembuat konten di media sosial yang menawarkan konten yang bagus dan mereka pantas mendapatkan ketenaran karena mereka menawarkan sesuatu yang baru, informatif dan inovatif. Mereka adalah orang-orang yang saya gambarkan sebagai orang pintar yang memanfaatkan media sosial untuk memberikan contoh yang baik.

***

Apa yang dilakukan presiden Belarusia ini mungkin bisa ditiru, setidaknya oleh media, pembuat konten hingga penguasa di Indonesia. Alexander Lukashenko, presiden Belarusia yang dijuluki "Diktator Eropa Terakhir" (menjadi presiden sejak 1994 sampai sekarang) menciptakan konsep "Famous for being Famous" yang berbeda dengan apa yang dilakukan media saat ini.

Lukashenko membuat sebuah kompetisi nasional yang bisa diikuti oleh semua warganya. Kompetisi ini memberi penghargaan pada setiap warga Belarusia yang dinilai "terbaik, berprestasi dan bisa memberi manfaat atau inspirasi" dalam kehidupan sehari-hari mereka.

Maka, ada Elena yang dianugerahi penghargaan sebagai "Pemerah Susu Terbaik" di daerah Slutsk (selatan ibu kota Belarus). Lalu ada Sasha, "Tukang Las Terbaik di Republik" tahun 2013.

Elena,
Elena,
Sementara itu, pasangan muda didorong untuk menghormati contoh yang diberikan oleh Natalya dan Konan, yang mendapat gelar 'Pasangan cinta terbaik' Belarusia. Tak ketinggalan, calon orang tua diminta untuk melihat ke Olga, pemenang 'Bunda Terbaik dari keluarga besar di wilayah Smorgon'.

Para pemenang penghargaan nasional (yang hadiahnya diberikan langsung oleh presiden) dijadikan terkenal, setara dengan pembawa acara talk show televisi, supermodel, bintang film atau enterpreneur dan taipan di negeri lain. Mereka dipandang sebagai orang yang "mewujudkan cita-cita yang memang seharusnya dicita-citakan semua orang".

Mereka menjadi terkenal, tetapi bukan karena mereka seperti apa yang kita pikirkan tentang bagaimana orang-orang itu seharusnya terkenal; rupawan, seksi, apalagi bertingkah laku konyol. Di Belarusia, kriteria untuk menjadi terkenal itu sederhana saja; jadilah yang terbaik dalam melakukan sesuatu yang mendasar dan berguna -- seperti membesarkan keluarga dengan baik, menjadi pemerah susu terbaik, petani terbaik, tukang las terbaik dan lain-lain sesuai pekerjaan dan kehidupan nyata kita sehari-hari. Bukan kehidupan yang kita ciptakan dan dibuat-buat.

Baca juga: Tren "OOTD" di Media Sosial, Bagi-bagi Inspirasi atau Cari Sensasi?

Di era kapitalisme modern sekarang ini, apapun yang terlihat menguntungkan akan dimanfaatkan. Seperti yang dilakukan Grab, penyedia layanan ride sharing ini langsung menunggangi momen kasus Adi Saputra dengan memposting di cuitan di twitter yang isinya menawarkan jasa ojek untuk gadis yang dibonceng Adi Saputra.

Melihat betapa aksi konyol dan nyeleneh justru berhasil memikat perhatian publik, beberapa perusahaan malah mempromosikan orang-orang seperti itu. Mengambil keuntungan dari jumlah pengikut yang mereka miliki atau pengguna media sosial yang mengikuti beritanya. 

Secara tidak langsung, mereka mengirim pesan terutama kepada generasi muda kita, yang mudah dipengaruhi, bahwa apa yang orang-orang konyol lakukan itu adalah "rute cepat untuk menjadi terkenal dan tidak masalah jika kamu bertindak bodoh, kasar atau bahkan ofensif untuk mencapai ketenaran seperti itu '.

Sungguh tepat kiranya apa yang sudah dilakukan Plastic Jesus dengan mempopulerkan frasa "Stop Making Stupid People Famous". Jika tidak kita buat viral sendiri, konten-konten konyol dan bodoh itu tentunya akan hilang dengan sendirinya. Kita dapat membantu menghentikan popularitas kebodohan dengan tidak mengomentari atau menjadikannya konsumsi hiburan sehari-hari.  

Akan baik bagi generasi muda jika kita perkenalkan dan kita dukung mereka yang melakukan hal yang benar setiap hari, berkontribusi pada masyarakat dengan bakat mereka, dan menghasilkan konten berkualitas tinggi yang benar-benar menyenangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun