Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Thank You Fred...

1 November 2018   00:54 Diperbarui: 1 November 2018   01:12 608
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (unsplash.com/@serjosoza)

"Priiit"

Suara peluit itu melengking membelah kesunyian hutan. Hampir serentak, enam kepala menoleh ke arah datangnya suara dan menggumamkan satu nama,

"Fred......"

Tanpa keraguan, aku mengangguk membenarkan ketika semua orang menoleh kepadaku. Siapa lagi yang membunyikan peluit itu kalau bukan Fred? Orang tua asing itu bukan turis sembarangan. Sebagai ahli biologi dan terbiasa bekerja di hutan, aku bisa menebak  Fred selalu membawa benda-benda yang bagi turis biasa terlihat aneh, tapi sebenarnya memang dibutuhkan saat menjelajahi hutan. Seperti peluit itu.

Kulihat semua orang masih menatap kepadaku, seolah menunggu tindakan apa yang hendak kulakukan. Kami semua saat itu sedang menunggu kedatangan Pak Wirya, penjaga pondok, dan temanku Rahman yang menjanjikan mobil bantuan. Dengan waktu yang semakin pendek dimana matahari sudah hampir tenggelam, aku harus bisa mengambil tindakan yang tepat.

Pertama, kuhampiri Anggi dan aku tanya bagaimana keadaan kakinya.

"Masih sakit mas, kayaknya mulai membengkak," jawab Anggi sambil meringis kesakitan dan menunjukkan bagian pergelangan kakinya yang terkilir.

"Ok, aku tadi sudah menelpon pak Wirya, penjaga di pondok hutan yang diatas. Dia bisa menjemput kita dengan sepeda motornya. Aku minta Anggi nanti ikut Pak Wirya kembali ke pondok untuk sementara," kataku pada Anggi.

"Iya mas, maaf sudah merepotkan semua," kata Anggi sambil menundukkan kepalanya.

Dari Anggi, aku lalu menghampiri Kanaya yang duduk di sebelah Anggi. Dengan suasana hutan yang semakin gelap, tak mungkin aku membiarkan Kanaya yang takut kegelapan itu ikut menunggu mobil jemputan dari Rahman, temanku dari kota yang baru akan tiba kurang lebih 2 jam lagi. Kepanikan pada dirinya bisa jadi akan menular pada anggota rombongan yang lain.

Aku memutuskan Kanaya akan kembali ke Pondok, usai pak Wirya membawa Anggi. Setidaknya disana dia akan lebih tenang. Kukatakan pada Kanaya supaya dia ikut balik ke Pondok bersama pak Wirya.

 " Iya kak," kata Kanaya. Ketegangan yang tadi terlihat di wajahnya sedikit mengendur.

Setelah itu, aku menghampiri Pak Lukman dan Bu Prita. Keduanya tengah menenangkan putra mereka Kevin. Selain Fred, Pak Lukman lah orang dewasa dalam rombongan ini yang kupercaya bisa mengendalikan keadaan. Karena itu, kepadanya aku utarakan apa rencana dan tindakanku.

"Pak Lukman, saya tadi sudah menelpon pak Wirya, penjaga pondok yang diatas. Beliau akan tiba disini sekitar 15 menit lagi, naik motor. Selain itu, saya juga sudah menelpon teman saya Rahman. Dia sudah berangkat dan akan tiba disini sekitar 2 jam lagi. Nah, rencana saya, nanti pak Wirya akan membawa Anggi dulu ke pondok, supaya kakinya yang terkilir bisa lekas membaik. Setelah Anggi, pak Wirya akan membawa Kanaya. Pak Lukman tahu, gadis itu mengidap ketakutan pada gelap dan binatang liar. Jika dia panik, itu akan merepotkan kita semua disini. Sementara itu, saya minta pak Lukman, bu Prita, Kevin dan pak Her, sopir saya itu menunggu disini. Usahakan pak Lukman dan pak Her bisa menyalakan api unggun supaya nanti terlihat oleh Rahman. Saya akan segera mencari Fred dan membawanya kembali kesini."

"Baik mas, jangan khawatir. Lekaslah cari Fred, kasihan orang tua itu, kalau ada apa-apa.....," pak Lukman tidak meneruskan kata-katanya.

"Terima kasih pak Lukman. Jangan khawatir, saya yakin Fred akan baik-baik saja. Dia sudah berpengalaman menjelajahi hutan, meski sudah malam sekalipun," kataku menenangkan pak Lukman.

Kemudian aku mendatangi pak Her yang sedang bersandar di samping minibus kami yang mogok.

"Bagaimana pak Her, apa ada kemungkinan mobilnya bisa diperbaiki?"

"Agak sulit mas. Air radiatornya habis sama sekali. Mesinnya benar-benar kepanasan. Saya menyesal mengapa tadi tidak membawa air cadangan," jawab pak Her sambil menunjukkan 2 jerigen ukuran tanggung yang kosong yang ia temukan di bagasi belakang minibus.

"Kalau saya bisa mencari air dan membawanya kesini, apakah Pak Her bisa menyalakan mesin mobilnya?" tanyaku pada pak Her.

"Kemungkinan bisa mas. Saya tadi sudah memeriksa mesinnya. Sepertinya memang gara-gara kehabisan air radiator saja. Tidak ada bagian lain yang rewel," kata pak Her menjelaskan.

"Ok pak Her. Saya akan mencoba mencari air sekalian mencari Fred. Sementara itu, pak Her tunggu disini bersama yang lain...." aku pun menjelaskan rencanaku seperti yang sudah aku katakan pada pak Lukman tadi.

***

Aku lalu melangkahkan kaki menuju bagian hutan yang agak rimbun, dimana tadi Fred menuju kesana. Kubawa serta dua jerigen kecil yang kosong.

Untunglah sinar bulan yang lembut masih mampu menerobos masuk diantara rimbunnya daun-daun pepohonan sehingga aku masih bisa melihat jalan setapak. Sesudah lima menit aku berjalan, masih belum ada tanda-tanda dimana Fred berada.

Dimana orang tua itu buang hajat? Tak mungkin dia BAB terlalu jauh dari rombongan. Aku hanya bisa berharap Fred membunyikan peluitnya lagi, sehingga aku bisa menelusuri arah datangnya suara.

"Priiit...."

Alhamdulillah, harapanku terkabul. Suara itu datang dari arah kananku. Aku pun membelok ke arah kanan. Samar-samar, aku mendengar suara gemericik air. Dari sela-sela tanaman perdu dan pepohonan hutan, kulihat siluet seseorang.

"Fred......" aku berteriak memanggil namanya.

"Ahoy....! Saya disini...." (demi kenyamanan pembaca, saya langsung saja terjemahkan bahasa asing saat berbicara dengan Fred).

Ketika aku tiba, Fred tengah membasuh muka dengan air yang mengalir dari sebuah sungai kecil, tak lebih dari setengah meter lebarnya.

"Air, mungkin bisa digunakan untuk mengisi radiator mobil," kata Fred singkat sambil menyeringai senang.

"Bagus Fred, dan terima kasih sudah menemukan sumber air ini," kataku kepada Fred. Dalam hati, aku bersyukur sekaligus mengumpati Fred. Enak saja dia menyeringai begitu, tak tahu betapa khawatirnya kami tadi ketika dia membunyikan peluit.

Kami berdua lantas mengisi penuh 2 jerigen yang kubawa. Dengan langkah yang sedikit dipercepat, aku dan Fred kembali ke lokasi rombongan yang tadi kutinggalkan.

Sampai di lokasi, kulihat api unggun kecil sudah berhasil dinyalakan. Anggi juga sudah dibawa pak Wirya ke pondok. Melihat kami berdua datang menenteng jerigen berisi air, Pak Her bergegas bangkit dan menyambutnya.

Aku menemani pak Her memperbaiki mesin minibus. Setelah mengisi radiator, pak Her mencoba menyalakan mesin. Suara mesin mobil terdengar menggeram, batuk-batu, kemudian mati. Setelah mencoba tiga kali, barulah mesin mobil tak lagi batuk, menggeram pelan dan akhirnya stabil menyala.

Senyum kecil merekah di wajah pak Her. "Alhamdulillah mas, sudah bisa menyala. Tapi ini tak bisa bertahan lama. Air radiator bisa habis agak cepat karena ada kebocoran kecil. Kita harus mengurangi beban supaya tarikan mesin tidak terlalu berat Mas," kata pak Her menjelaskan padaku.

Aku mengangguk dan berkata, "Tak apa pak Her. Kita menunggu Rahman disini dulu. Nanti pak Lukman dan keluarganya bisa ikut mobilnya Rahman, sisanya naik minibus ini. Jadi bebannya sedikit berkurang."

"Iya, Mas. Kalau bisa minta tolong jerigennya diisi lagi buat cadangan," kata Pak Her sambil tersenyum lega.

"Baik pak Her. Sebentar saya akan ke sungai kecil yang tadi buat mengambil air. Nanti, kalau pak Wirya sudah datang, minta tolong suruh jemput Anggi di pondok dan bawa lagi kesini. Biar dia ikut turun ke kampung sekalian".

Aku kemudian mengabarkan berita gembira tersebut pada yang lain dan meminta mereka tetap tenang dan sabar menunggu mobil Rahman datang. Tak lupa kuucapkan terima kasih pada Fred yang sudah menemukan sumber air sehingga bisa digunakan untuk mengisi radiator minibus. Pak Lukman, Bu Prita serta Kanaya ikut mengucapkan terima kasih pada Fred.

Sementara Fred menyambut ucapan terima kasih itu dengan lambaian tangan dan tersenyum kecil. "Tak usah berlebihan. Kita seharusnya berterima kasih pada Himam. Dia benar-benar bisa memimpin rombongan ini dengan baik."

Ucapan Fred tersebut membuat kepalaku serasa membesar. Untung saja suasana gelap, sehingga mereka tidak bisa melihat wajahku yang mungkin sudah memerah tersanjung. Kulirik Kanaya, dan kulihat senyum kekaguman memancar di wajahnya. Diiringi sinar api unggun, senyum itu membuat wajah Kanaya terlihat semakin cantik......

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun