Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menumpulkan Telinga, Menajamkan Mata Hati di Komunitas Akar Tuli Malang

6 Agustus 2018   12:07 Diperbarui: 6 Agustus 2018   17:55 799
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan Komunitas Akar Tuli di Car Free Day (akartuli.blogspot.com)

Ketika MC dari Radio Kalimaya Bhaskara dan Kompasiana menyebut pemenang Best Inspiring Community adalah komunitas Akar Tuli Malang, tepuk tangan langsung bergemuruh dari para pengunjung acara Indonesia Community Day di Taman Krida Budaya, Minggu 5 Agustus 2018. Dua orang perwakilan komunitas kemudian naik ke atas panggung. Keduanya sempat terlihat kebingungan, dan kemudian bercakaplah dua orang pemuda dan pemudi itu dengan bahasa isyarat. Sang pemuda pun akhirnya menunjuk rekannya sebagai isyarat untuk mewakili komunitas menerima hadiah.

Komunitas Akar Tuli memang pantas memenangkan penghargaan tersebut. Aktivitas mereka selama ini memang menginspirasi banyak orang untuk lebih peduli terhadap penyandang disabilitas, khususnya mereka yang tuli. Mereka memang tidak bisa mendengar, tapi mata hati mereka lebih tajam daripada kita yang memiliki kesempurnaan fisik dan panca indera.

Komunitas Akar Tuli Malang menerima penghargaan Best Inspiring Community di acara Indonesia Community Day 2018 (dok.pribadi)
Komunitas Akar Tuli Malang menerima penghargaan Best Inspiring Community di acara Indonesia Community Day 2018 (dok.pribadi)
Semestinya, dengan kesempurnaan fisik yang kita miliki, kita bisa lebih peduli memahami para penyandang disabilitas. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Banyak diantara kita yang meremehkan, dan tak jarang sering menghina orang-orang yang memiliki keterbatasan fisik, termasuk mereka yang Tuli.

Lebih nyaman disebut Tuli

Ya, anggota komunitas ini lebih senang disebut Tuli daripada istilah Tunarungu. Mungkin terdengar sedikit kasar, tapi menurut humas Akar Tuli Hufani Septaviasari Irnanto, istilah Tunarungu dianggap berlebihan. Mereka lebih senang dipanggil sebagai Tuli. Alasannya, Tunarungu mengindikasikan orang sakit."Kami tidak sakit, kami senang dibilang Tuli," ungkap Fani, panggilan akrabnya seperti dikutip saat wawancara dengan Malangvoice.

 Nama Akar Tuli merupakan kepanjangan dari Aksi Arek Tuli. Komunitas ini dibentuk pada tahun 2013 oleh lima orang penggagas, yakni Nur Syamsan Fajrina, Dina Amalia Fahima, Fikri Muhandis, Muria Najhiul Ulum, dan Safitri Safira. Pengalaman sehari-hari yang menimpa kelima orang penyandang tuli ini menjadi inspirasi bagi mereka untuk membentuk komunitas khusus bagi orang-orang tuli, terutama para remaja.

Penyandang tuli memang kerap mengalami diskriminasi dan dianggap sebelah mata. Masyarakat umum bahkan tak jarang enggan berkomunikasi dengan para penyandang tuli. Penyebab utamanya adalah kendala komunikasi. Tak banyak masyarakat yang bisa dan memahami bahasa isyarat. Begitu pula dengan para penyandang tuli, juga tak sedikit yang tidak mengerti bagaimana menggunakan bahasa isyarat.

Adanya perlakuan diskriminasi inilah yang membuat penyandang tuli kerap merasa minder dan seolah tersingkirkan saat berkumpul dengan orang-orang lain. Mereka dianggap langka dan tidak bisa apa-apa. Padahal tak sedikit yang memiliki potensi dan bakat yang hebat.

Sosialisasi Bahasa Isyarat Indonesia

Karena itulah, salah satu visi dan misi utama dari komunitas Akar Tuli adalah menyosialisasikan penggunaan bahasa isyarat kepada masyarakat umum dan khususnya bagi penyandang tuli yang masih buta bahasa isyarat. Tujuannya supaya penyandang Tuli bisa berkomunikasi dengan masyarakat umum dan begitu pula sebaliknya. Semakin banyak masyarakat yang fasih menggunakan bahasa isyarat, semakin baik pula dampaknya terhadap penyandang Tuli. Dengan demikian, perlakuan diskriminatif yang kerap menimpa penyandang tuli bisa semakin berkurang.

Di Indonesia sendiri, ada dua jenis bahasa isyarat. Yakni Sistem Isyarat Bahasa Indonesia (SIBI) dan Bahasa Isyarat Indonesia (BISINDO). Perbedaan mendasar antara SIBI dan BISINDO adalah SIBI menggunakan bjad sebagai panduan bahasa isyarat tangan satu. Seperti yang bisa kita lihat di beberapa stasiun televisi untuk menterjemahkan acara berita atau acara resmi negara. Sementara BISINDO menggunakan gerakan tangan (dua tangan) sebagai upaya komunikasi antar pengguna bahasa isyarat.

Para penyandang tuli sendiri lebih suka dan nyaman menggunakan sistem Bahasa Isyarat Indonesia. Selain lebih mudah, juga praktis dan cepat dipahami. BISINDO merupakan bahasa isyarat alami budaya asli Indonesia yang dengan mudah dapat digunakan dalam pergaulan isyarat kaum tunarungu sehari-hari. "Bahasa isyarat lebih pada intinya, menyampaikan apa yang diinginkan langsung pada intinya. Tidak suka bertele-tele, seperti sms gaul gitu," kata Fani.

Pada awalnya, kegiatan sosialisasi bahasa isyarat yang dilakukan komunitas Akar Tuli mendapat respon yang tidak baik dari masyarakat. Saat anggota komunitas berkumpul di acara publik seperti di Car Free Day misalnya, banyak pandangan aneh yang tertuju pada pemuda dan pemudi penyandang tuli tersebut. Namun semakin lama aksi sosial yang dilakukan Akar Tuli mendapat sambutan hangat oleh masyarakat. Semakin banyak relawan yang bergabung dan masyarakat umum yang ingin belajar bahasa isyarat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun