Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Selama Ini Kita Salah Memahami Arti Sunnah

26 Mei 2018   14:19 Diperbarui: 26 Mei 2018   15:10 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (putsredine.com)

Setiap kali kita ditanya apa arti kata Sunnah, jawabannya adalah "Suatu amal perbuatan, yang jika dikerjakan akan mendapat pahala, bila ditinggalkan tidak apa-apa". Definisi kata Sunnah seperti ini kita dapatkan semenjak pelajaran agama tingkat sekolah dasar. Bersamaan dengan pelajaran tentang pengertian Wajib, Haram, Mubah dan Makruh.

Tidak ada yang salah dengan definisi tersebut. Hanya saja ketika bicara dalam praktek peribadatan, definisi semacam itu justru membuat kita menjadi malas untuk melakukan amalan-amalan sunnah.

Di zaman sekarang, banyak dari kita yang secara sengaja meninggalkan amalan-amalan Sunnah seperti Sholat Rawatib, menyegerakan sholat, tadarus, sedekah, menjaga wudhu, sholat berjamaah, dan berbagai amalan Sunnah lainnya. Kesengajaan ini muncul karena secara tidak sadar kita selalu memberlakukan sebuah pembenaran, "Ah, kan kalau tidak dikerjakan juga tidak apa-apa".

Akibat dari pembenaran dan indoktrinasi semacam itu, tanpa sadar kita justru meremehkan pahala yang diberikan sebagai konsekuensi dari pengerjaan amalan-amalan Sunnah tersebut. Jangankan amalan sunnah, ibadah yang  wajib saja kita juga sering meremehkan. Ada yang berani meninggalkannya padahal ancamannya adalah dosa. Sementara yang melakukan ibadah wajib seringkali motifnya hanya sebatas untuk menggugurkan kewajiban dan takut dosa. Bukan karena mengharap pahala dan keridhoan dari Allah SWT.

Memang sudah kodrat manusia seperti itu. Pahala dan dosa adalah hal yang ghaib, yang tak bisa dirasakan jasmani secara langsung saat ini juga. Dan secara naluriah, kita selalu menginginkan sesuatu yang bisa segera dirasakan oleh jasmani kita.

Kembali lagi pada pemahaman Sunnah, seandainya definisi yang kita dapatkan sejak kecil itu dibalik, niscaya kita tidak akan meremehkan lagi amalan-amalannya. Dibalik seperti apa? Apakah ditukar dengan definisi Wajib atau Makruh? Bukan. Yang dibalik adalah anggapan "tidak apa-apa" jika kita meninggalkan amalan Sunnah.

Pengertian Sunnah seharusnya dipahami menjadi "Jika dikerjakan mendapat pahala, jika ditinggalkan maka kita menjadi orang-orang yang merugi". Dengan pemahaman baru ini, sekarang coba kita bayangkan pahala berbagai amalan sunnah. Kita akan rugi jika tidak mengerjakan sholat Rawatib karena Allah menjanjikan istana di surga bagi yang melaksanakannya. Kita akan rugi jika tidak tadarus karena setiap huruf Al Qur'an yang kita baca bisa menjadi syafaat/penolong bagi kita kelak di akhirat.

Kita akan rugi jika tidak sholat berjamaah di masjid, khususnya bagi pria karena pahalanya diibaratkan Rasulullah, "seandainya tahu, itu akan membuat semua orang merangkak demi bisa berjamaah di masjid". Kita sungguh akan rugi karena sudah diberi kesempatan namun kita sengaja melewatkan banyak sekali keutamaan yang dijanjikan Allah.

Dengan pemahaman baru tentang arti Sunnah seperti diatas, kita terutama anak-anak kita kelak, akan menjadi orang yang tak ingin melepaskan kesempatan melakukan amalan Sunnah, walau urusan dunia sangat menggoda sekalipun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun