Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Mengulang Sejarah Kota Malang Kala Menyusuri Kampung Kayutangan

2 April 2018   12:45 Diperbarui: 2 April 2018   12:53 2342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pertokoan Kayutangan (dok.pribadi)

Bulan April ini Kota Malang sedang semarak dengan berbagai kegiatan. Banyak festival seni, budaya dan perlombaan yang digelar pemerintah Kota Malang yang berkolaborasi dengan berbagai komunitas dan masyarakat. Ini karena di bulan April, tepatnya tanggal 1 April kemarin Kota Malang memperingati hari jadinya yang ke-104. Sebuah perjalanan yang panjang dan penuh sejarah bagi kota kecil yang indah ini.

Bicara mengenai sejarah kota Malang, tentunya tak bisa dilepaskan dari keberadaan Kampung Kayutangan. Pada era kolonial Belanda, kawasan ini menjadi pusat bisnis, yang hingga sekarang masih bertahan. Banyak bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang tetap dipertahankan bentuk aslinya. Meski tak sedikit pula yang sudah berubah, baik fungsi maupun arsitektur bangunannya.

Tentang asal usul nama Kayutangan, ada dua versi yang berkembang di masyarakat kampung Kayutangan. Pertama, sebelum Malang menjadi kotapraja, di kawasan terdapat papan penunjuk arah berukuran besar yang berbentuk tangan yang dibuat oleh Belanda. Versi kedua adalah disaat mulai berkembangnya kawasan Alun-alun, di ujung jalan arah alun-alun terdapat pohon yang menyerupai tangan. Karena itu kawasan tersebut lantas disebut Kayutangan. Yang mana versi yang benar dan bisa menjadi dasar penyebutan Kampung Kayutangan? Entahlah, yang jelas nama Kajoetangan (Kayutangan) banyak disebut dalam laporan-laporan Belanda sejak tahun 1890, sebagaimana beberapa nama kampung asli Malang lainnya seperti Jodipan, Tongan, Taloon (Talun) dan Sukun.

Kawasan Kayutangan terletak disepanjang jalan Basuki Rahmad. Memanjang mulai dari Pertokoan Kayutangan di seberang Gereja Hati Kudus Yesus, atau seberang Toko Oen, hingga ke pertigaan bundar depan kantor PLN. Disepanjang jalan ini, banyak bangunan bergaya kolonial yang masih bertahan bentuk aslinya.

Jika ingin berwisata menelusuri Kampung Kayutangan, lebih baik anda berjalan kaki saja. Kendaraan bisa diparkir di Pertokoan Kayutangan atau di tempat parkir Plasa Sarinah. Dari sini, anda bisa berjalan kaki ke arah utara.

Plasa Sarinah sendiri dulunya adalah Gedung Societeit Concordia. Boleh dibilang gedung ini adalah pusat dari sejarah kota Malang. Hal ini karena gedung Sarinah dulunya menjadi tempat tinggal pertama bupati, yakni Raden Panji Wielasmorokoesoemo yang setelah diangkat menjadi Bupati Malang dan Ngantang kemudian berganti nama menjadi  Raden Toemenggoeng Notodiningrat.

Ketika para imigran Belanda mulai masuk ke Malang, tempat ini diambil alih dan kemudian dijadikan Gedung Societiet Concordia. Setelah Malang menjadi kotapraja, gedung tersebut dirobohkan dan digantikan dengan model bangunan kolonial modern untuk mengakomodasi kebutuhan tempat rekreasi warga Belanda. Di sana disediakan seperti meja tempat main kartu, meja biliar, perpustakaan, gedung pertemuan dan ice skating di atap yang datar, dan pada saat tertentu dilapisi es. Pada tahun 1947, gedung yang pernah dipakai rapat KNIP itu dibumihanguskan dalam rangka strategi perang gerilya dan pada tahun 1948 gedung tersebut diratakan dengan tanah. Di lahan bekasnya kemudian dibangun gedung baru untuk pusat pertokoan pertama di Malang yang sekarang bernama Sarinah. Nama Sarinah diciptakan oleh Presiden Soekarno yang berarti abdi masyarakat.

Di seberang Plasa Sarinah ada sebuah hotel yang juga mempunyai nilai sejarah. Hotel Richie namanya. Bersama Hotel Pelangi, dan hotel Splendid Inn, hotel Richie menjadi tempat menginap favorit para warga Belanda dari luar kota Malang pada masa kolonial.

Setelah berjalan ke utara sedikit, anda akan menjumpai Toko Oen. Toko ini mulai dibuka sejak tahun 1930, dengan nama Toko Oen Ice Cream Palace Patissier. Toko Oen menjadi satu-satunya restoran dari keluarga China, 'Oen' yang menyediakan menu khas Belanda saat itu. Karena lokasinya berada tepat di depan Gedung Concordia (sekarang Sarinah) tempat berkumpulnya semua warga Belanda di Malang, restoran ini sampai sekarang dikenang sebagai tempat nostalgia warga Belanda yang wajib dikunjungi.

Toko Oen tahun 1980-an (repro dari buku Malang Beeld van Een Stad)
Toko Oen tahun 1980-an (repro dari buku Malang Beeld van Een Stad)
Pada saat Kongres KNIP pada 25 Februari 1947, restoran ini menjadi tempat mangkal para peserta Kongres se-Indonesia untuk beristirahat makan siang. Ketika Belanda masuk kembali pada Juli 1947 dalam aksi Agresi Militer I, tempat ini adalah salah satu dari sedikit bangunan yang selamat dari aksi bumihangus yang dilakukan para pejuang.

Setelah itu anda akan menemui Plasa Telkom. Sayang sekali, bangunan yang dibangun pada tanggal 8 Juli 1909 dan dulunya berfungsi sebagai kantor pos, telegram dan telepon ini  sudah mengalami banyak perubahan bentuk. Hal ini karena saat terjadi peristiwa Agresi Militer Belanda pada tahun 1947, kantor ini tak luput dari amuk pejuang Malang yang saat itu menerapkan strategi Malang Lautan Api hingga tinggal tembok depannya saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun