Mohon tunggu...
Priesda Dhita Melinda
Priesda Dhita Melinda Mohon Tunggu... Guru - Ibu dari 2 orang anak perempuan dan juga seorang guru yang ingin terus belajar

Contact : 08992255429 / email : priesda@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lebih Baik Gagal Menikah daripada Gagal Berumah Tangga

21 Mei 2018   23:51 Diperbarui: 22 Mei 2018   01:43 1801
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: wolipop-detik.com

Menikah adalah mimpi kebanyakan orang, termasuk saya dulu saat masih single. Melihat sepasang suami istri yang rukun, berjalan bersama atau melakukan aktivitas lainnya membuat iri. Apalagi ketika melihat pasangan suami istri yang ada di film atau drama Korea, ahhhh... Membuat keinginan itu semakin tinggi. 

Beberapa hari yang lalu, suami saya bercerita tentang temannya yang ingin membatalkan pernikahannya. Saya pikir sayang sekali rencana pernikahan dibatalkan begitu saja. Tapi ketika saya tahu alasannya, maka saya mendukung dan justru menyarankan untuk membatalkan saja. Si calon suami teman saya ini ketakutan soal dana yang dibutuhkan untuk acara pernikahan, dia menyerahkan  segalanya ke calon istrinya. Si calon suami ini tidak ada usaha bagaimana cara memperjuangkan dana yang dibutuhkan. Padahal kalau diperjuangkan bersama-sama pasti akan ada jalan keluar, tapi sayang si calon suami sudah pesimis. Saya bisa berkata begini karena saya sudah mengalaminya.

Menurut saya laki-laki seperti itu tak pantas untuk dijadikan suami yang nantinya menjadi panutan istrinya. Suami yang pesimis dan tidak punya daya juang, sebaiknya ditinggalkan saja. Karena menikah itu bukan akhir dari suatu hubungan atau bukan tujuan akhir dari hubungan laki-laki dan perempuan setelah berpacaran. 

Menikah merupakan awal dari kehidupan yang baru dari seseorang, baik laki-laki ataupun perempuan. Bagi laki-laki, dia mempunyai tanggung jawab baru karena dia harus menghidupi istrinya dengan memberikan nafkah. Begitu juga dengan perempuan mempunyai tugas baru, yang awalnya hanya mengurusi diri sendiri tetapi sekarang harus melayani suaminya. Awalnya pasti kaget dengan perubahan-perubahan ini, pasti ada hal-hal yang baru diketahui meskipun sudah kenal lama sebelum menikah. Tapi semua ini akan berjalan dengan baik jika pasangan ini memang saling mencintai dan memahami.

Dulu, sebelum menikah saya benar-benar memilih calon suami yang bisa memahami saya dan saya juga bisa memahaminya. Saya harus tahu bagaimana sifatnya, bagaimana dia saat menghadapi masalah dan sebagainya. Intinya sih, saya sangat memperhatikan calon suami saya, saya tak ingin menyesal nantinya karena saya paham sekali pernikahan itu bukan akhir perjalanan, tetapi awal sebuah perjalanan. 

Sampai akhirnya saya memutuskan untuk menikah dengan laki-laki yang sekarang menjadi suami saya. Banyak pertimbangan saya akhirnya melabuhkan hati saya pada dia dan saya merasa yakin dengan dia. Cieee..

Dalam mempersiapkan pernikahan ada banyak tantangan yang kami hadapi, mulai dari yang paling penting sampai yang tidak terlalu penting. Kami juga dibuat bingung dengan dana pernikahan, acara yang kami rencanakan memang sederhana, tapi ternyata dana yang dibutuhkan tidak sedikit. Tapi kami berdua sama-sama berdoa dan berjuang sampai akhirnya pernikahan kami terlaksana.

Ternyata memang benar kata orang, menikah itu tak seindah yang dibayangkan. Justru masalah menjadi bertambah. Logikanya sih iya, masalah sendiri-sendiri sekarang menjadi masalah bersama, tapi untungnya diselesaikan secara bersama-sama juga. Tahun ini adalah tahun ketiga pernikahan saya, kami masih saling menyesuaikan diri dan saling memahami, sehingga pertengkaran itu sering terjadinya. Baik pertengkaran kecil maupun besar. Kami berdua hampir sama tipenya kalau benar-benar marah maka akan diam, apalagi suami saya, dia bisa diam tanpa bicara sepatah katapun.

Walaupun kami berdua pacaran 5 tahun, tapi ternyata belum cukup untuk saling mengenal satu sama lain. Banyak kejadian yang baru saya tahu setelah menikah, begitupun dengan suami saya. Suami saya memang bukan orang yang rapi dan terlalu cuek, sedangkan saya termasuk orang yang yang lumayan detail. 

Contoh sederhananya, suami saya selalu lupa menutup gelas minumnya dan tutupnya entah ada dimana, kalau menutup toples kerupuk pasti tidak rapat, menaruh sabun dan idol di lantai kamar mandi (padahal sudah ada tempatnya), menggantung baju kotor di balik pintu dan selalu lupa menaruh di keranjang baju kotor, dan masih banyak lainnya. Hal kecil memang, tapi bagi saya yang detail ini agak kesal juga melihatnya.

 Hampir stres saya dibuatnya, tapi seiring berjalannya waktu, saya mulai memahami kebiasaan suami saya ini dan saya sudah mulai menerimanya. Saya tidak mau ambil pusing dengan hal-hal kecil seperti ini. Kalau dia lupa menutup gelas, ya sudah saya saja yang menutupnya, kalau dia lupa menaruh pakaian kotor di keranjang ya sudah saya saja yang menaruhnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun