Mohon tunggu...
Pretty Luci Lumbanraja
Pretty Luci Lumbanraja Mohon Tunggu... Dosen - Your young lecturer and an amateur writing

Do, Calm, and Pray

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Sepuluh Juta Kakek

25 Juni 2019   12:30 Diperbarui: 25 Juni 2019   12:42 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Belakangan ini manusia jadi lebih cinta uang. Dibandingkan keluarganya sendiri. Tidak terbayangkan jika hidup ini orientasi manusia hanya uang terus. Sampai-sampai berbuat jahat kepada orang lain hanya untuk uang. Misalkan saja pejabat-pejabat petinggi negara. Banyak dari mereka yang melakukan korupsi. Padahal tahu bahwa itu bukan milik mereka. Terus menerus makan uang rakyat. Dan mereka pun juga tahu bahwa apa yang dilakukannya adalah merebut hak orang lain. Beda ceritanya dengan memperjuangkan hak orang lain. Jangan dulu mempermainkan hak orang lain. Jangan...

***
Sudah delapan tahun aku tinggal bersama kakek. Semenjak kematian nenek empat tahun lalu. Paman hijrah membawa keluarganya tinggal bersama kakek. Hubungan antar keduanya kurang akur. Begitu juga mereka kepada aku. Namun, tidak antara aku dengan kakek. Hubungan kami sangatlah harmonis. Melebihi antara orangtua dan anaknya. Itu juga yang membuat paman cemburu dan semakin membenciku. Harapan kakek, bahwa aku selalu bersamanya.  Meskipun jarang bertegur sapa karena aktivitas kesibukanku, paling tidak perasaan kakek aman. Jika aku tidak bersama menemaninya, ia takut sewaktu-waktu hal yang buruk bisa terjadi padanya.

"Aku takut orang lain menemukan mayatku setelah tiga hari di kamar ini", kata kakek yang membuatku tidak berani meninggalkannya.
Terpaksa dengan berat hati, aku menahan tekanan di rumah ini. Disindir, dianggap miskin, walaupun memang aku sadar bahwa aku miskin. Dianggap menguntung, dan macam-macam. Setiap saat aku mendengar semua itu. Meskipun kakek tahu, kakek tidak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa mengatakanku untuk sabar dan tabah.

Aku tidak ingin memunculkan perdebatan. Bagiku berdebat dengan orang-orang seperti itu tiada guna. Menghabiskan banyak waktu, pikiran dan menghabiskan tenaga. Toh juga tidak ada gunanya. Terkadang aku berpikir, jika kita memaksakan diri yang tidak kuat menahan, kita bertingkah seolah-olah kita mampu untuk menanggapi semua itu. Kita siap untuk menghadang apapun yang terjadi. Kita siap menghadapi perang setiap hari dengan orang yang berada di sekitar kita. Kita siap adu mulut dengan siapa saja yang memancing perselisihan. Maka  sebenarnya disaat itu juga mengartikan bahwa kita sangat takut dan sama karakternya seperti mereka. Namun, ketika kita tetap tenang mengatasi permasalahan yang terjadi, berhadapan orang yang sangat tegang sekalipun, kitalah pemenang itu. Seperti di salah satu kitab mengatakan, jika kita melakukan hal yang baik kepada orang yang berbuat jahat pada kita, itu sama saja memberikan bara api di atas kepalanya. Itu yang memedomaniku untuk lebih memilih diam dan damai-damai saja.

Kakek datang menemuiku. Di tengah malam penuh kalbu. Dengan langkah satu-satu ia mengetuk pintu.

"Cu, cu, cu, ssttt, kemarilah!", katanya setelah aku membuka pintu kamarku yang terletak jauh dari kamarnya. Kakek mengajakku mengikutinya sampai ke kamarnya. Kamar kakek dan kamarku berjarak sebelas meter saja. Kamarnya terletak di bangunan rumah baru. Bangunan itu adalah wasiat nenekku. Entah apa alasannya untuk membangun kembali rumah baru itu. Ruangan yang tidak beruang tamu itu menyambung dengan bagian belakang rumah utama. Tidak dibatasi, tidak disekat dengan dinding atau apapun. Jika orang-orang masuk dari rumah utama, sepanjang dua puluh lima meter mata memandang sampai ujung rumah. Mengingat besar dan luasnya rumah ini, hal itu juga yang membuat rumah ini menjadi incaran anak laki-laki kakek, satu-satunya. Mereka berharap orangtua yang masih sehat ini lekas pikun akut.

Dalam adat batak, lazimnya, orang-orang masih percaya dengan pelimpahan warisan kepada anak-anak laki-lakinya. Apalagi jika anak laki-laki itu adalah anak satu-satunya dan paling kecil, sudah pasti seutuhnya dimiliki oleh anak laki-laki itu. Istilahnya adalah siapudan. Ia mendapatkan warisan khusus. Baik itu sawah, ladang, rumah, emas, kebun kopi, kebun jeruk, pot bunga, pohon pisang samping rumah, pohon pepaya depan rumah, dan lain sebagainya.

Meskipun orang-orang zaman sekarang sebagian sudah tidak percaya lagi akan hal itu. Namun, ternyata masih lebih banyak juga yang percaya.

"Uang kakek hilang lagi", kata kakek dengan histeris. Pupil matanya melebar. Aku bergidik. Kulihat sekelilingku. Apa mungkin ada tuyul berkeliaran disini pikirku.

Aku tersadar dan menepok jidatku. Kejadian ini tidak sekali dua kali.

"Dua hari yang lalu, kakek meletakkannya disini", katanya sambil merogoh-rogohi kotak-kotak kecil bekas tempat jam pemberian anak perempuannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun