Mohon tunggu...
Prayogi R Saputra
Prayogi R Saputra Mohon Tunggu... Dosen - I am Nothing

I am nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Cak Nun, Maiyah, dan Keseimbangan Wacana Politik Kekuasaan di Indonesia

27 Desember 2018   21:04 Diperbarui: 27 Desember 2018   21:22 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Makalah untuk Simposium Regional "Decoding The Labyrinth of Conflict", Unair, 29 November 2018 (bagian 3)

Dalam pergulatan pemikiran keIndonesiaan, Maiyah memperkenalkan perspektif baru yang radikal dalam hubungan antara warga negara, negara dan pemerintah. Pada dekade 80-an, Cak Nun telah membangun narasi tentang "Indonesia Bagian dari Desa Saya".

Kemudian belakangan disusul juga dengan statemen "Sedekah kepada Indonesia". Betapa dengan dua kalimat tersebut, Cak Nun berupaya membalik konsep dan cara berpikir umum yang menganggap Indonesia adalah puncak tujuan "karir".

Jika pandangannya adalah bahwa Indonesia merupakan puncak karir, maka motivasinya menjadi berbeda. Potensi untuk berperilaku mengambil apa pun yang bisa diambil, bahkan dikeruk dari Indonesia menjadi besar.

Namun dalam Maiyah, Cak Nun menyampaikan doktrin yang justru mengajak Jamaah Maiyah untuk berpikir: melihat "Indonesia hanya bagian dari imagined village Maiyah". Ibaratnya Indonesia hanya sebuah Rukun Tetangga dari imagined village Maiyah.

Apa keuntungan materi dan sosial yang bisa diambil atau diharapkan dari sebuah Rukun Tetangga? Oleh karena itu, yang mungkin dilakukan bukanlah mengambil apa-apa dari Indonesia. Melainkan justru "Bersedekah kepada Indonesia".

Pemikiran ke-Indonesiaan sebagai bangsa yang bermuatan kemanusiaan dan sebagai negara adalah isu yang--nyaris--sudah final dalam Maiyah. Kecuali ada kejadian-kejadian luar biasa yang memaksa peta geopolitik dunia berubah.

Sedangkan dalam sistem politik dan pemerintahan, apalagi praktik pemerintahan di Indonesia, Cak Nun dan Maiyah mengambil sikap kritis demi menjaga keseimbangan wacana, mengelola narasi perjalanan bangsa dan mencegah kekuatan kekuasaan menjadi mutlak.

Dalam sejarahnya, sejak pemerintahan Orde Baru hingga reformasi, Cak Nun senantiasa mengambil sikap kritis dan menjaga keseimbangan kekuatan-kekuatan politik. Kritis kepada pemerintah bukan berarti menempatkan diri sebagai lawan, namun demi menjaga keseimbangan, keutuhan dan kemaslahatan masyarakat.

Sebagai salah satu contoh dari upaya menjaga keseimbangan wacana, mengelola narasi perjalanan bangsa dan mencegah kekuasaan menjadi absolut demi kemaslahatan masyarakat itu bisa dilihat dari lahirnya pengajian Padhangmbulan di Menturo, pedalaman Jombang.

Kampung halaman Cak Nun. Pengajian Padhangmbulan yang diselenggarakan di pedalaman kota kecil nun jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta, ternyata memiliki resonansi hingga mempengaruhi cuaca politik nasional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun