Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Politik featured

Serangan ke Suriah, Antara Gengsi dan Khawatir

8 September 2013   07:43 Diperbarui: 9 April 2017   02:30 1548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peluru Kendali Tangguh, Tomahawk AS (foto : fallingpixel.com)

Diskusi antara para pembantu Presiden Barack Obama dengan Kongres dan Senat di Amerika Serikat dalam rangka pelibatan militernya pada konflik di Suriah menjadi sebuah berita besar bagi masyarakat dunia. Presiden AS, Barack Obama setahun yang lalu saat konperensi pers di Gedung Putih tanggal 20 Agustus 2012 di Washington, DC, memperingatkan Presiden Bashar al-Assad agar tidak menggunakan senjata kimia dalam konflik yang terjadi di Suriah. (Baca :http://ramalanintelijen.net/?p=5580). Selama ini Amerika belum  resmi menyatakan melakukan sebuah operasi militer terhadap Suriah, walau beberapa peralatan eks operasi militernya di  Afghanistan telah dikirim ke palagan  tempur Suriah kepada kelompok oposisi. Obama dengan tegas menyatakan, apabila Assad melanggar peringatan tersebut, maka akan ada langkah yang berupa sebuah konsekwensi signifikan. Seruan Obama tersebut menanggapi apa yang dikatakan juru bicara Kemlu Suriah, Jihad Makdissi dalam konperensi persnya (27/7/2012), yang  menegaskan Suriah akan menyebarkan senjata kimia dalam setiap terjadinya intervensi asing. Ancaman tersebut nampaknya merupakan upaya detterent Suriah dalam menghadapi kemungkinan terburuk terhadap kemungkinan serangan dari Amerika dan sekutu. Makdissi  menyatakan bahwa Suriah  tidak akan pernah menggunakan senjata tersebut terhadap warga negaranya sendiri. Isu adanya penggunaan senjata kimia yang konon mengakibatkan jatuhnya sekitar 1400 korban diantaranya anak-anak di dekat kota Damaskus kini menjadi pemicu semangat pemerintahan sipil di AS untuk ikut langsung terlibat. Menarik yang disampaikan mantan Komandan US Army War College, Major General (Ret) Robert H. Scales,  menuliskan di Washington Post bahwa bahasa tubuh Jenderal Martin Dempsey, Chairman of the Joint Chiefs of Staff, tidak menginginkan perang tersebut. Menurutnya, sikap tenang dan lebih berdiam diri Dempsey berbeda dengan gemuruhnya suara dan gaya dari Menlu John Kerry saat rapat dengar pendapat dengan Komite Hubungan Luar Negeri Senat Selasa lalu. Scales menyatakan bahwa kini  tidak ada satupun staf Gedung Putih yang memahami dan memiliki pengalaman perang. Dikatakannya konflik di Suriah bukan ancaman sistemik bagi keamanan  bangsa Amerika. Menurutnya Suriah bukan Libya atau Serbia. Israel telah belajar dari Suriah pada tahun 1973, kesimpulannya, Suriah adalah pembunuh yang tangguh dan kejam dan tidak pernah merugi. Militer AS akan tetap setia  dan  tetap mematuhi kewenangan konstitusional sipil. Tetapi kalangan militer membenci kebijakan sipil yang menginginkan mereka pergi berperang. Menurutnya, Presiden AS yang berasal dari militer dan yang dihormati, Jenderal Dwight Eisenhower, memiliki keberanian mengatakan tidak AS terlibat perang paling tidak delapan kali selama masa kepresidenannya. Diantaranya, ia mengakhiri Perang Korea dan menolak untuk membantu Perancis di Indo China, dia  juga mengatakan tidak terlibat perang saat  Inggris dan Perancis menuntut partisipasi AS dalam konflik terusan Suez. Kita semua tahu apa yang terjadi setelah para penggantinya mengabaikan nasihat Eisenhower. “Generasi saya harus pergi berperang,” kata Scales. Kini dalam KTT G-20, Presiden Obama sedang berusaha menggalang dukungan dari negara-negara Uni Eropa. Mayoritas negara anggota G20 menyatakan tidak sepakat atas rencana aksi militer ke Suriah. Baru Prancis yang menyatakan kesediaannya ikut serta dalam aksi militer AS di Suriah. Sedangkan Inggris yang merupakan sekutu dekat AS, menyatakan kemungkinan tidak akan ikut bergabung karena parlemen menolak aksi militer tersebut. Korban Jiwa Pasukan AS dalam Beberapa Perang Sebagai negara adidaya, dan tetap menginginkan perannya sebagai negara pengatur dunia, Amerika Serikat telah banyak terlibat dalam beberapa konflik di belahan dunia. Dari sejarah keterlibatan, jatuhnya korban mencapai puluhan ribu nyawa pasukannya. Dalam perang Kosovo (Serbia) yang berlangsung antara 28 Februari 1998 hingga 11 Juni 1999, pasukan AS yang bergabung dengan NATO melawan militer Republik Federal Yugoslavia, Kosovo Liberation Army dan Militer Republik Kosovo yang didukung Albania dan Kroasia. Memang tidak ada korban jatuh dari pihak AS, hanya Amerika kehilangan 12 pesawat tempur dan 47 pesawat intainya jatuh. Dalam perang di Afghanistan sejak tahun 2011 hingga kini, dimana AS didukung oleh sembilan negara dalam operasi dengan sandi Enduring Freedom, melawan lima kekuatan (insurgent group) diantaranya Taliban, Al-Qaeda dan Haqani. Korban meninggal di pihak koalisi mencapai 3.275 orang (AS 2.173 jiwa).  Rakyat sipil yang terbunuh berjumlah 16.725-19.725 (2001-2013). Dalam invasinya ke Irak, dimana perang berlangsung selama 8 tahun dan delapan bulan lebih (20 Maret 2003-15 Desember 2011), pasukan multi nasional dari sepuluh negara  dibawah pimpinan AS melawan militer Irak. AS melibatkan 112.000 orang dari total 176.000 pasukan gabungan. Dalam perang Irak, korban meninggal tercatat 4.805 jiwa (AS, 4.487 jiwa). Korban luka-luka pasukan koalisi berjumlah 32.753 plus, pasukan AS 32.226 orang. Pihak Irak meninggal 16.623 jiwa, luka-luka 40.000 lebih. Suriah Berbeda dengan  Libya Pendapat dari Major Jenderal (Ret) Robert H. Scales dapat dikatakan agak mewakili suara realistis  kelompok militer yang kini mulai enggan terlibat dengan perang yang tanpa alasan prinsip. Rakyat AS nampaknya mulai jenuh dengan keterlibatan pasukan AS dalam konflik di negara lain yang telah menelan korban jiwa ribuan anggota pasukan. Banyak keluarga Amerika yang masih meratapi kepergian anggota keluarganya. Mereka baru akan bersatu pendapat apabila ada ancaman sistemik langsung terhadap keamanan  bangsa Amerika Serikat. Sebagai contoh adalah peristiwa 911, dimana menera kembar WTC diruntuhkan oleh serangan teroris. Dilain sisi, nampak rasa khawatir rakyat dan militer AS dalam menghadapi Suriah yang memiliki senjata kimia dan biologi. Sebagian besar diketahui telah aktif sejak tahun 1980-an.  Sebuah laporan yang dipersiapkan untuk Kongres tahun 2013 oleh Director of National Intelligence, menyimpulkan bahwa Suriah memiliki sebuah “program senjata biologi yang sudah berlangsung lama." Termasuk koleksi bakteri dan virus yang mematikan serta peralatan modern penyerang yang diperlukan untuk melakukan serangan. Disebutkan juga,  "bahwa bagian-bagian itu  mungkin telah lebih maju melampaui tahap penelitian dan pengembangan, dan mungkin mampu diproduksi walau masih terbatas jumlahnya  menjadi senjata-senjata  pembunuh yang mematikan.” Amerika perlu menghitung kemampuan pertahanan udara Suriah yang terintegrasi. Dalam operasi di Libya, sekutu mampu memporak porandakan sistem hanud Libya, dan kemudian AU koalisi mampu menguasai dan mengontrol udara Libya, menyatakan zona larangan terbang. Militer Libya khususnya kekuatan darat dihancurkan oleh kekuatan udara Sekutu, sehingga pemberontak mampu menguasai Tripoli. Kondisi militer Libya sangat berbeda dengan Suriah, justru sebagian besar rudal Libya ditangani oleh tehnisi Suriah. Nampaknya Suriah akan mampu bertahan terutama dengan kepemilikan hanud aktif, rudal penyerang (Yankhots) serta pasukan darat elit yang setia kepada pemerintah. Suriah bahkan mampu mengancam alutsista militer AS dan negara sekutu lainnya yang terlibat. Selain itu Rakyat AS jelas menghitung,  konflik AS-Suriah berpotensi dapat meluas, melibatkan Iran dan  Rusia walau tidak secara langsung, belum lagi adanya pasukan Hizbullah Lebanon yang pro Suriah. Menteri Pertahanan Iran Hossein Dehqan menyampaikan,  Iran berjanji akan terus mendukung Suriah dalam menghadapi kemungkinan serangan militer Amerika Serikat dan sekutu, seperti yang diberitakan media setempat dan dilansir kantor beritaAFP, Kamis (5/9/2013). Bentuk dukungan belum secara ekplisit dinyatakan, hanya ditegaskan hingga akhir. Kesimpulan Telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan rakyat Amerika Serikat dalam memutuskan dilaksanakan atau tidaknya serangan militer AS ke Suriah. Walaupun Pemerintah dibawah Presiden Obama menyatakan serangan lebih bersifat terbatas, dalam wilayah terbatas, sebuah pemandulan senjata ofensif kimia bukanlah hal yang sederhana. Apabila pusat senjata kimia Suriah diserang, ada kemungkinan Suriah justru akan balik menyerang dengan senjata kimianya, termasuk mengancam Yordania. Dalam teori perang, menyerang adalah salah satu bagian dari upaya bertahan. Kini tidak jelas berapa jumlah Scud yang telah diisi dengan senjata kimia. Pertentangan pendapat hanya berkisar di dua sisi,  gengsi Amerika Serikat karena Presiden Obama pernah mengancam akan menyerang apabila senjata kimia digunakan rezim Assad. Ini yang akan dibuktikannya.  Dilain sisi, senjata kimia dan biologi menjadi momok dan akan merupakan ancaman serius yang sangat berbahaya bagi rakyat Suriah, sekutu AS dan negara tetangga Suriah. Militer Suriah sudah terlatih dalam konflik tiga tahun dalam perang saudara yang brutal. Mereka dapat disebut sebagai raja tega karena korban sudah diatas 100.000 jiwa. Perang selanjutnya apabila terjadi nampaknya hanya akan melibatkan serangan rudal Tomahawk, Patriot, pesawat UAV, dan pesawat tempur (AS dan sekutu), Rudal Yankhot dan Scud (Suriah). Teknologi perang AS jelas jauh lebih unggul, tetapi arsenal Suriah penuh dengan peluru kendali jarak menengah. Secara mental militer AS belum tentu lebih siap dari militer Suriah. Sedikit saja terdapat ketidak cermatan pasukan sekutu, akibatnya akan fatal. Korban bisa jatuh dikalangan rakyat sipil Suriah atau bahkan akan memakan korban alutsista AS. Rudal Yankhot yang juga dimiliki TNI AL, dalam uji cobanya diketahui hanya dengan satu peluncuran mampu menenggelamkan kapal sejenis LST hanya dalam waktu 8 menit pada jarak 182 km. Pemerintah Suriah termasuk keras dan nekat, militernya tega membunuh rakyatnya sendiri. Kemungkinan AS akan menyerang Suriah pada minggu kedua bulan ini, serangan modusnya sama dengan saat penyerangan Irak, dilakukan pada malam hari, mengandalkan unsur pendadakan. Penggempuran dengan rudal Tomahawk dengan sasaran kekuatan udara dan Hanud Libya. Setelah AU dan Hanud Aktifnya hancur, AS dan sekutu akan menyerang sasaran penting lainnya dengan pesawat tempur yang diterbangkan dari kapal induk. Apa yang terbaik? Yang terbaik, Amerika Serikat membatalkan rencana serangan. Penghancuran Suriah tidak akan langsung menyelesaikan konflik yang terjadi, hanya menambah penderitaan rakyat Suriah. Yang didapat hanyalah sebuah gengsi, dan nasib Obama pada saatnya nanti tidak akan jauh berbeda dengan Bush, dicerca masyarakat dunia dan tidak disukai rakyatnya. Oleh : Prayitno Ramelan, Air Vice Marshal (Ret).  www.ramalanintelijen.net

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun