UU CAATSA lahir sebagai upaya counter berupa upaya kompartmentasi atas ulah Rusia dalam apa yang dikenal sebagai hybrid war, yaitu operasi clandestine Rusia yang dilanjutkan dengan invasi ke Krimea dan Ukraina. UU CAATSA ini merupakan bentuk tekanan politik melalui skema CAATSA.
Sebelum pengesahan UU CAATSA itu diberlakukan, pada tanggal 29 September 2017, Presiden AS, Donald Trump mendelegasikan wewenang untuk melaksanakan bagian 231 itu kepada kementerian luar negeri AS.Â
Bagian 231 intinya mensyaratkan pengenaan sangsi tertentu terhadap orang-orang yang terlibat secara sengaja dalam transaksi signifikan, pada atau setelah tanggal UU CAATSA itu diundangkan, dengan atau atas nama seseorang yang merupakan bagian atau operasi untuk atau atas nama sektor pertahanan atau intelijen pemerintah Rusia, AS akan memberikan sangsi
Penjatuhan sanksi CAATSA akan berlaku untuk waktu yang tak terbatas dan apabila sanksi tersebut telah dikenakan, jelas akan sulit untuk ditarik kembali
Pada tanggal 15 Februari 2018, pimpinan delegasi Kementerian Luar Negeri AS, Undersecretary International Security for Weapon Non Proliferation, Ms Ann Ganzer, telah menyampaikan kepada delegasi Kementerian Pertahanan RI di Jakarta, bahwa Kongres AS telah mengeluarkan UU CAATSA untuk menjatuhkan sanksi terhadap Rusia dan negara-negara yang melakukan kerjasama pengadaan alutsista Rusia yang terkait dengan bidang pertahanan dan intelijen.
Apabila dikaitkan dengan UU CAATSA tersebut, Indonesia yang telah melakukan transaksi kontrak pengadaan/akuisisi Su-35 senilai US$16 miliar itu, sudah termasuk dalam kriteria negara yang bisa dikenakan sanksi CAATSA.
Analisis
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas, dari persepsi intelijen, Presiden Jokowi sebaiknya lebih waspada terkait dengan persepsi ancaman yang mungkin muncul.
Posisi Indonesia sebagai aktor global justru menempatkan Indonesia pada posisi rawan. Dalam teori intelijen, kerawanan bia diekspliitir lawan akan menyebabkan kelumpuhan, bahkan permanen.
Keliru sedikit saja Presiden Jokowi memutuskan kebijakan politik dan diplomasi Luar Negeri, maka upayanya dalam mempertahankan kekuasaannya akan makin kecil. Posisi politik di dalam negeri masih dapat dipertahankan dengan dukungan publik dan konstitusi.
Para aktor politik yang walaupun mulai bermimpi dan merancang kekuasaan pada 2024, tetap berpikir hati-hati walau mulai terlihat adanya kolaborasi yang jelas tapi semu (tidak terpercaya dengan habit pragmatis).