Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Politik

Martir KPK Bisa Berbahaya Bagi Pemerintah, Sebuah Ulasan

2 November 2009   04:08 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:28 2161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Berita apa yang kini paling menggelegar dan kemudian mengisi acara prime time media elektronik, hanya satu, yaitu  penahanan Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah. Kasus perang campuh antara Polri dengan KPK, khususnya dua mantan wakil ketua KPK itu  menjadi semakin serius dan mirip bola salju yang bergulir dan terus membesar. Pada kali ini penulis mencoba melihat  dan mengulas secara indie kasus tersebut dari kacamata intelijen pengamanan.

 

Pengamanan adalah salah satu fungsi intelijen disamping penyelidikan dan penggalangan.  Pengamanan terdiri dari pengamanan personil, materiil, informasi dan kegiatan. Pengamanan yang dimaksud adalah berbeda dengan keamanan. Pengamanan intelijen adalah sebuah kegiatan yang ,melihat , menilai sebuah kejadian dengan pola "the past"yaitu  kejadian masa lalu yang disebut sebagai basic descriptive intelligence, kemudian melihat kejadian  pada waktu masa kini yang disebut "the present," langkah terakhir,  intelijen akan memberikan saran yang disebut intelligence estimate atau "the future."

 

Dalam kasus Polri dan KPK, masyarakat semua rata-rata faham bahwa Polri adalah intitusi penegak hukum yang kedudukannya berada dibawah Presiden. Sementara masyarakat juga faham bahwa KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)  adalah institusi independen yang bertugas khusus menangani pemberantasan korupsi. Ini berarti keduanya merupakan institusi sangat penting di Negara ini dan keduanya bekerja berdasarkan Undang-undang. Nah, kemelut yang terjadi kini, tanpa mengulas masalah hukumnya, perseteruan antara Polri dan KPK, yang berlanjut dengan dijadikannya tersangka dua wakil KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah, semula berada dijalur hukum, ternyata sudah memasuki wilayah politik.

 

Hukum sulit memobilisir massa, sementara wilayah politik sangatlah mampu, itulah bagian hidupnya. Di wilayah politik masalah ini menjadi membesar,  karena politik mampu melibatkan emosi masyarakat banyak. Pada umumnya sesuai dengan hukum alam, masyarakat akan berada pada sisi mereka yang dizhalimi, sejarah mencatat demikian. Saat ini masyarakat  banyak umumnya berada dan mendukung Bibit dan Hamzah  yang ditahan oleh Polri karena dianggap sudah mengganggu penyidikan.

Emosi masyarakat menjadi semakin panas dan terangsang setelah  banyak tokoh nasional yang mendukung  kedua wakil ketua  KPK non aktif tadi agar dibebaskan.  Kalau keduanya salah, kenapa demikian banyak tokoh yang mendukung, kira-kira demikian cara berfikir mereka. Tercatat Gus Dur sempat mendatangi  kantor KPK. Selain itu sejumlah tokoh juga menolak kriminalisasi KPK, seperti Adnan Buyung Nasution, Todung Mulia Lubis, Hasyim Muzadi, Hidayat Nur Wahid, Mar'ie Muhammad, Jimly Assidiqie, Asmara Nababan, Teten Masduki. Dan lain-lainnya. Terlebih lagi setelah  Mahkamah Konstitusi dilibatkan. 

 

Apa bahaya yang terjadi? Setelah Bibit dan Chandra ditahan, mulai bergulirlah semacam dukungan  semacam "people power." Sebagai contoh, walau hanya sebatas kumpulan Facebookers yang menyatakan dukungan, hingga pagi ini tanggal 1 november 2009 pukul  09.20 tercatat 315.196 member yang memberi dukungan. Mereka tergabung dalam gerakan yang diberi nama "Gerakan 1.000.000 Facebookers dukung  Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto." Selain itu para para mahasiswa nampaknya mulai berkomunikasi dan mengisyaratkan akan turun kejalan.

Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrat Hadi Utomo di sela Musyawarah Daerah Luar Biasa Partai Demokrat di Surabaya mengatakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak akan masuk dalam ranah substansi hukum terkait penahanan Bibit dan Chandra oleh Kepolisian.Menurut Hadi, Presiden tak akan pernah ikut campur tangan berkaitan dengan masalah substansi hukum. Ditegaskan kemudian oleh Presiden dalam konperensi pers, beliau tidak akan melibatkan diri dalam substansi hukum, dan meminta Polri memberikan penjelasan transparan ke publik kenapa keduanya harus ditahan. Kapolri sudah memberikan penjelasan bahwa kedua tersangka telah mengganggu proses penyidikan, hingga Polri menggunakan wewenangnya menahan mereka sesuai aturan..

Pertanyaannya kemudian, bisakah kemelut ini membahayakan pemerintah?  Kita lihat sejarah kejatuhan Bung Karno dan Pak Harto. Setelah kasus kudeta G30S-PKI, terjadi aksi demo besar-besaran.  Puncak aksi terjadi pada tanggal 24 Pebruari 1966, demo mahasiswa di depan istana berakhir bentrok dengan pasukan Cakrabirawa. Pasukan Cakra kemudian melepaskan tembakan kearah kerumunan, mengakibatkan mahasiswa kedokteran Arif Rahman tewas tertembak. Bung Karno walaupun kemudian membubarkan gerakan mahasiswa, KAMI, melarang mahasiswa berkumpul, rangkaian sejarah selanjutnya adalah kisah kejatuhan Bung Karno, rakyat bersatu padu mendukung mahasiswa. Hingga keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966.

 

Kisah kejatuhan Pak Harto, di dahului dengan bergulirnya resesi ekonomi Asia yang kemudian menyentuh Indonesia. Puncaknya ketika terjadi insiden penembakan mahasiswa Universitas Trisakti pada tahun 12 Mei 1998. Peristiwa ini tidak dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Terjadilah kerusuhan masal di Jakarta dan kota-kota lainnya di Jawa (terutama Solo dan Yogya). Rakyat marah. Entah siapa yang mengomando, ribuan massa menjarah dan membakar toko-toko, mal, pasar, gedung perkantoran, dan membakar mobil-mobil yang parkir. Rumah-rumah di kompleks elit menjadi sasaran pembakaran dan penjarahan.

 

Benar-benar chaos Jakarta saat itu. Orang-orang asing lari menyelamatkan diri ke bandara, orang non pribumi menjadi sasaran kemarahan warga. Aksi demo dan orasi menentang Pemerintah dan ABRI merebak dimana-mana. Truk-truk pengangkut pasukan yang melintas dilempari batu. Kampus menjadi posko aksi penentangan Soeharto.  Mahasiswa turun ke jalan. Aksi mahasiswa mendapat dukungan para rektor dan dosen, rakyat, dan para politisi. Tekanan  people power itulah kemudian yang menyebabkan Pak Harto mengundurkan diri.  Rakyat hilang kepercayaan kepada beliau.

 

Dari kedua kasus, yang menjadi detonator pemicu percepatan kejatuhan pemerintah adalah adanya "martir." Dalam sebuah gejolak yang sudah berbentuk gerakan massa, jatuhnya martir akan menjadi sangat berbahaya. Solidaritas akan membesar dengan sendirinya. Nah, kini dalam kasus Polri versus KPK yang  terkenal dengan kasus  cicak lawan buaya,  apabila ditinjau dari kacamata intelijen pengamanan sudah memasuki tahapan "sangat rawan." Kondisi hanya menungu satu tahapan, yaitu eksploitasi lapangan, dan kalau ini terjadi akan dapat melumpuhkan segalanya. Semua rangkaian kasus  nampaknya terlihat sebagai sebuah kejadian  biasa, adu gengsi, atau ada apa-apa dibelakangnya. Ada tuduhan, kemelut dikaitkan dengan kasus Bank Century, nampaknya sederhana.

 

Tetapi apakah kita pernah berfikir, bahwa ada sebuah konspirasi global yang jauh lebih besar dan berbahaya dibelakang ini semua? Sasaran awalnya adalah runtuhnya kredibilitas institusi penting pemerintah, sasaran akhirnya adalah meruntuhkan kredibilitas pemerintah, dan sasaran akhirnya menjatuhkan pemerintah. Inilah "the future." Menurut tahapan intelijen penggalangan (conditioning intelligence), kondisi sudah cukup matang menjadi people power, dan itu nampaknya yang akan terjadi. Baik itu by design, atau terjadi dengan sendirinya.  Pembuat scenario demikian canggih , semuanya yang dilibatkan tidak sadar bahwa mereka memang diarahkan kesana. Demokrasi kita selalu identik dengan demonstrasi. Demikian wajar, dalam ilmu conditioning tingkat tinggi kewajaran kegiatan adalah justru yang menjadi kekuatannya.

 

Ada dari kita yang juga sulit dikatakan bersih, dan justru bahkan mengharap terjadinya kemelut. Pada umumnya pejabat selalu berada di bagian gengsi tertinggi. Ini kartu yang dimainkannya. Kita tidak sadar telah dijadikan obyek yang diadu satu sama lainnya.  Opini sudah terbentuk, Polri sebagai bagian pemerintah disatu sisi, KPK dengan Bibit dan Chandra yang didukung rakyat dilain sisi, kenyataannya demikian. Kini mereka hanya menunggu detonator yang akan meledakkan dan meretakkan sebuah nilai persatuan dan kesatuan diantara kita.

 

Pertanyaan terakhir, siapa perancang ini semua? Dan apa akibatnya bagi pemerintah? Apabila ditanya siapa perancangnya, maka akan mudah dijawab, KPK itu menangani apa? Polri menangani apa? Disinilah sumber ancaman itu berada. Jelas masalahnya tidak akan jauh dari masalah korupsi juga, bukankah masalah BLBI dan beberapa kasus korupsi yang tidak terbongkar merupakan aib bangsa Indonesia?Berapa trilyun uang yang dibawa lari? Dan kalau seseorang atau sekelompok orang memiliki uang demikian banyak merasa terancam, untuk menyelamatkan diri dari kejaran system, bukankah jalan terbaiknya adalah menghancurkan system, mengganti dengan system lainnya, termasuk personilnya.  

 

Kekuatan ini bisa saja membangun link dengan musuh negara lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri, disamping mereka mampu menyewa tenaga ahli "conditioning" yang banyak bertebaran itu..

Akibat bagi pemerintah adalah turunnya kredibilitas, lebih jauh lagi pemerintah akan dilibatkan dengan martir yang bernama Bibit dan Chandra. Apakah Polri dan pemerintah siap bila kedua wakil ketua KPK non akif itu kemudian menjadi martir? Apakah siap menghadapi gelombang kemarahan rakyat?Ada  bahaya disitu, "Do not underestimate online social media movement," ungkap salah satu facebooker. Tidak bisa dibayangkan bagaimana akibatnya kalau sampai kedua-duanya, atau salah satu diantara keduanya  menjadi martir.

 

Bung Karno yang presiden seumur hidup saja tidak mampu menghadapi kemarahan rakyat. Demikian juga, Pak Harto yang Bapak Pembangunan, Jenderal besar TNI berbintang lima, juga akhirnya ditaklukkan rakyat dengan inti mahasiswa. Negara ini pada dasarnya adalah milik rakyat  juga bukan?

Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati  penulis mengingatkan, tolong hati-hati pak. Yang dibutuhkan kini adalah ketegasan yang disertai dengan kearifan, apabila masalah ini dilepas begitu saja, maka bola liar yang membara itu akan membakar semua yang dilewatinya. Kalau nanti sampai ada apa-apa di negara ini, maka yang akan bertepuk tangan adalah sang koruptor, some where, dan sambil tersenyum dia akan mengatakan, "Kalau belum jago jangan deh ganggu-ganggu  kita".

Prayitno Ramelan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun