Mohon tunggu...
Praviravara Jayawardhana
Praviravara Jayawardhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang praktisi Dharma

Semoga seluruh alam semesta berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Memahami Chattra Borobudur dan Melerai Sebuah Polemik

26 Maret 2021   18:00 Diperbarui: 26 Maret 2021   23:53 2835
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dibangun pada kisaran abad 8-9 Masehi oleh Wangsa Syailendra, dengan waktu penyelesaian diperkirakan memakan waktu 75 tahun, kemudian mulai ditinggalkan pada sekitar abad 14-15 Masehi karena satu dan lain hal, Candi Borobudur terkubur oleh waktu selama lebih kurang 4 abad sebelum akhirnya ditemukan kembali pada 1814 oleh Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles dan Hermann Cornelius. Kemudian, pada periode 1907-1911, seorang insinyur Belanda bernama Theodore Van Erp memimpin proses pemugaran Candi Borobudur. Ketika itu, Van Erp menemukan kepingan-kepingan batu yang kemudian direkonstruksi Beliau menjadi sebuah chattra atau payung bertingkat tiga yang diduga oleh Beliau dahulunya pernah terpasang megah di puncak stupa utama Borobudur. Beliau sempat memberanikan diri untuk memasang chattra tersebut. Namun, kemudian Beliau didesak untuk melepasnya kembali karena dianggap tidak memenuhi kriteria-kriteria rekonstruksi arkeologi berupa persentase kombinasi antara batu asli dengan batu yang baru. 

Sejak itu, dimulailah polemik pemasangan chattra di Candi Borobudur. Sebagai akibatnya, chattra hasil rekonstruksi Van Erp pun harus bersabar untuk digeletakkan di dalam museum menunggu ketegasan hati para manusia.

Namun, pusaran polemik tersebut selalu berputar di perihal disiplin arkeologi saja tanpa mempertimbangkan sebuah aspek yang sebenarnya tidak kalah pentingnya dalam memugar sebuah situs peninggalan keagamaan. Apakah itu? Yakni, disiplin ilmu dari keagamaan itu sendiri, yang mana filosofi agama tersebutlah yang sebenarnya justru menjadi pondasi dibangunnya situs tersebut pada awalnya.

Mari kita coba menelaah polemik chattra ini dari kacamata yang berbeda kali ini, yakni dari kacamata Buddhisme, yang selama ini hampir tidak pernah dilakukan. Chattra atau payung memiliki catatan sejarah dan dasar filosofi yang sangat mendalam di dalam Buddhisme. Pertama, kita bisa membuka Mucalindasuttam dari Udana II.1 yang menceritakan bahwa pada ketika Buddha baru saja mencapai Pencerahan Sempurna dan belum bergeming dari tempat duduknya di bawah pohon Bodhi, Raja Naga Mucalinda pernah datang dan melingkari tubuh Sang Buddha sebanyak tujuh kali menggunakan ekornya, lalu menegakkan badannya sembari mengembangkan kepalanya di atas Buddha dan memayungi Buddha dari cuaca panas maupun dingin, dari serangga, dari teriknya matahari, dan dari binatang-binatang buas lainnya. Kisah ini bisa dilihat sebagai salah satu cerita paling awal dalam kanon Buddha tentang peran payung sebagai sebuah pelindung.

Buddha Dipayungi Mucalinda
Buddha Dipayungi Mucalinda
Lalitawistara Sutra adalah sebuah Sutra Mahayana yang sangat populer yang bahkan diukir ke dalam 120 keping relief di badan Candi Borobudur. Sutra ini diajarkan oleh Buddha di Sravasti, Jetavana, Anathapindada, di hadapan sejumlah 12 ribu biksu, berikut 32 ribu Bodhisatwa dan para dewa tingkat tinggi. Di dalam Sutra ini, Buddha menceritakan kembali riwayat hayat Beliau mulai dari sebelum Beliau masuk ke dalam rahim sang Ibunda, Ratu Mahamaya, hingga Beliau mencapai Pencerahan Sempurna dan memutar Roda Dharma untuk pertama kalinya. Di dalam Sutra ini, dapat ditemukan puluhan kali penggunaan kata payung (bahasa inggris: parasol) oleh Buddha. Berikut adalah beberapa di antaranya:
  1. Sebelum turun ke dunia untuk lahir sebagai Pangeran Siddharta, Sang Bodhisatwa berdiam di sebuah istana surgawi yang dihiasi penuh oleh payung-payung indah, panji-panji dan perhiasan lainnya;
  2. Sesaat sebelum Pangeran Siddharta lahir, sang Ayahanda, Raja Suddhodhana memerintah pasukannya untuk membuat persiapan menyambut kelahiran sang Pangeran dengan menghiasi istananya menggunakan payung-payung surgawi, panji-panji dan deretan pohon palem;
  3. Ketika Pangeran Siddharta lahir, 10 ribu dewi-dewi surgawi memegang payung dan panji-panji pun hadir menyambutnya; Kemudian sebuah payung besar yang terbuat dari permata berharga dan kipas ekor yak muncul di tengah-tengah angkasa dan 10 ribu dewa-dewa lain juga melayang di angkasa memegang payung-payung putih besar untuk menyambut kelahiran beliau;
  4. Dalam sebuah kesempatan, Pangeran Siddharta juga pernah memproklamirkan sebagai berikut, “Lihatlah diriku sebagai seorang pemegang payung di tiga dunia,” dan benar-benar kemudian sebuah payung besar muncul dari dalam bumi dan memayungi tiga dunia, menghilangkan penderitaan semua makhluk;
  5. Ketika Pangeran Siddharta hendak meninggalkan istana pun, Sakra, pemimpin para dewa, hadir bersama dengan pasukan dewanya yang memegang berbagai payung indah, bunga-bunga, panji kemenangan, dan perhiasan lainnya, untuk menyaksikan peristiwa penting tersebut;
  6. Di penghujung Sutra, Sang Buddha bahkan merangkumkan kualitas-kualitas seorang Buddha kepada Bodhisatwa Maitreya dan salah satu analogi yang digunakan Beliau adalah bahwa, “Buddha memiliki kualitas layaknya seorang anggota keluarga kerajaan karena Buddha adalah sang pembawa payung permata.”

Chattra dalam Lalitawistara
Chattra dalam Lalitawistara

Mari kemudian kita beralih ke Gandawyuha Sutra yang diukir ke dalam 332 keping relief di badan Candi Borobudur. Secara garis besar, Sutra ini menceritakan kisah seorang pemuda bernama Sudhana yang berkelana demi belajar kepada lebih dari 50 orang guru untuk mengejar pencapaian Pencerahan Sempurna. Uniknya adalah, sang Sudhana sering atau bahkan hampir selalu digambarkan sebagai seorang pemuda yang selalu memiliki sebuah payung yang melindunginya. Oleh karena itu, bisa dibayangkan seberapa sering kata payung muncul dalam Sutra ini dan seberapa sering pula payung muncul dalam relief-relief Gandawyuha di Candi Borobudur.

Chattra dan Sudhana
Chattra dan Sudhana

Bagaimana pula dengan kisah-kisah Jataka dan Awadana yang menempati 720 keping relief di Candi Borobudur? Penggunaan simbol payung dapat ditemukan bertebaran di relief-relief ini. Seringkali di sini dapat kita temukan relief yang menggambarkan para brahmin yang dilindungi oleh payung di atas kepalanya. Kemudian, Kalpawriksha atau pohon pengabul harapan juga adalah salah satu simbol yang paling populer yang bisa ditemukan di sini dan di dalam salah satu relief Sang pohon juga digambarkan dilindungi oleh sebuah payung.

Chattra dan Kalpawriksha
Chattra dan Kalpawriksha

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun