Mohon tunggu...
Praviravara Jayawardhana
Praviravara Jayawardhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang praktisi Dharma

Semoga seluruh alam semesta berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Siapakah Tara?

21 Desember 2015   18:08 Diperbarui: 21 Desember 2015   18:08 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Arya Tara digambarkan dalam wujud perempuan muda, cantik dan penuh damai, seperti berusia 16 tahun, karena pencerahan membawa kondisi batin dan kebahagiaan serta stamina fisik layaknya seorang remaja. Beliau berwarna hijau emerald karena hijau adalah simbol energi (Sanskrit: prana) yang merupakan sumber dari segala sesuatu. Tahta beliau ditopang oleh delapan singa yang melambangkan delapan kualitas pencerahan agung. Tangan kanan membentuk mudra ‘Kemurahhatian Terunggul’, melambangkan bahwa beliau selalu sigap memberikan pencapaian-pencapaian konvensional seperti kesehatan, kemakmuran dan sebagainya, serta juga pencapaian sejati berupa Kebuddhaan, kepada semua makhluk. Tangan kiri membentuk mudra ‘Menganugerahkan Perlindungan’ (ibu jari menyentuh jari manis, sedangkan ketiga jari lainnya terbuka ke atas), melambangkan bahwa beliau membawa perlindungan sejati dari Triratna. Kedua tangan juga memegang tangkai bunga Utpala, melambangkan bahwa praktik meditasi dan mantra beliau dapat memberikan kekuatan kepada sang praktisi untuk membawa kecantikan dan kesucian dari tradisi Tantrik ke dalam semua situasi dan kondisi kehidupan. Kaki kanan dalam postur ‘Pahlawan’ menunjukkan bahwa beliau tidak pernah takut dan selalu sigap serta aktif turun ke segala aktifitas duniawi untuk menolong para makhluk. Kaki kiri terlipat ke dalam membentuk postur ‘Meditasi’ menunjukkan bahwa meskipun seorang praktisi Tara aktif terlibat dalam segala kegiatan menolong di duniawi, batinnya harus selalu tenang di dalam kondisi meditatif.

Tara di Nusantara

Di beberapa wilayah Sunda, Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan bahkan Bali, sejak jaman dahulu yang tidak dapat ditelusuri asal mulanya hingga saat ini masih berlangsung pemujaan kepada Dewi Sri yang dikaitkan dengan tanaman padi. Berdasarkan studi para cendekiawan, dipercaya bahwa Dewi Sri atau Dewi Padi ini adalah perwujudan dari Arya Tara sebagai Vasundhari / Vasudharini, pemberi kemakmuran, dengan tubuh berwarna kuning dan memegang setangkai padi menguning.

Candi Kalasan di Yogyakarta diperkirakan dibangun pada tahun 778 Masehi. Berdasarkan prasasti yang ditemukan di lokasi, candi ini dibangun oleh Raja Rakai Panangkaran dari Wangsa Sanjaya berdasarkan anjuran dari Guru Raja Syailendra sebagai mandala bagi Arya Tara dan sekaligus sebagai objek ibadah dan perlindungan bagi kerajaan, khususnya dari ancaman bencana alam, makhluk-makhluk jahat, binatang-binatang buas maupun penyakit epidemis.

Candi Jajaghu, atau yang kini lebih popular dikenal dengan nama Candi Jago, terletak di Jawa Timur dan merupakan candi Buddhis yang dibangun oleh Raja Kertanegara dari Kerajaan Singhasari (abad ke-13) sebagai pelimpahan kebajikan atas meninggalnya ayah Beliau, Raja Jaya Wisnuwardhana. Raja Kertanegara adalah seorang praktisi Tantra yang sangat unggul dan pada masa kekuasaan Beliaulah, praktik Tantra di Indonesia mengalami puncak keemasan. Di Candi Jago, dapat dijumpai arca Ksamatara dan Brkutitara, hampir seukuran orang dewasa, yang merupakan salah satu dari perwujudan Arya Tara.

Lebih jauh lagi, Guru agung dari India, Atisha Dipamkara Srijnana (982-1055) adalah orang yang berjasa besar dalam memurnikan Buddhisme di Tibet yang pada abad ke-10 sudah sangat merosot. Beliau jugalah yang memulai suatu tradisi ajaran dan latihan spiritual Buddhis yang bertahap atau dalam bahasa Tibet disebut sebagai Lamrim (Jalan Bertahap Menuju Pencerahan), yang mana semua ajaran Buddha dipadukan dan disusun secara sistematis sehingga mudah bagi praktisi mana pun untuk mengetahui maksud ajaran Buddha dan mempraktikannya. Adalah berdasarkan nasihat dari Arya Tara, Guru Atisha belajar selama 12 tahun di bumi Sriwijaya, Indonesia, di bawah kaki Guru utamanya yang sangat Beliau kasihi yaitu Guru Suwarnadwipa Dharmakirti. Di bawah bimbingan Sang Guru, Atisha belajar dan memeditasikan cinta kasih (metta) dan welas kasih agung (maha karuna) dalam upaya membangkitkan batin pencerahan (bodhicitta).

********

Panitia Pembangunan Biara Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling mengajak segenap khalayak masyarakat Indonesia untuk kembali mengingat kepada Arya Tara, mengaktifkan kembali koneksi karma kita dengan beliau dan memohon kepada beliau untuk dapat selalu menjaga bumi Nusantara kita yang tercinta ini, melindungi kita dari marabahaya dan bencana serta membantu menjaga keberlangsungan dan kelestarian Buddhadharma di Indonesia melalui pembangunan Biara Indonesia Gaden Syeydrub Nampar Gyelwei Ling dan menganugerahkan umur yang panjang kepada Y.M. Guru Dagpo Rinpoche.

Untuk informasi lebih lanjut tentang cara berpartisipasi:

www.taradinusantara.org

www.facebook.com/kcimonastery

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun