Mohon tunggu...
Pratiwi Cristin Harnita
Pratiwi Cristin Harnita Mohon Tunggu... dosen -

Seorang ibu rumah tangga yang kadang mengajar mahasiswa. Happy blogging anyway^^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Haruskah Kita Kembali ke Pendidikan Gaya Lama?

4 Juli 2016   00:55 Diperbarui: 4 Juli 2016   17:42 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: getty images.

Terus terang saya awalnya tidak terlalu mengikuti berita tentang anak yang melaporkan gurunya ke polisi akibat dicubit. Ketertarikan saya ketika suami terus ikut dalam urun pendapat di sosial media mengenai kasus tersebut. Suami saya tampak agak emosi karena dia termasuk yang tidak setuju dengan hukuman fisik. Dia memposisikan dirinya sebagai orang tua. "Anak itu pasti ada nakalnya, masa gitu aja gurunya sudah nyerah main cubit pukul. Memang gak ada cara lain?" ujarnya emosi.

Lalu saya mencari berita terkait. Saya kaget juga dengan foto-foto si anak yang tangannya biru lebam dan terlihat beberapa bekas cubitan, tak hanya itu, foto tersebut disandingkan pula dengan gambar si anak sedang jongkok bersama temannya sambil merokok. Tampaknya anak tersebut memang salah satu trouble maker di sekolahnya atau memang sedang masanya ingin mencoba-coba. Kita tahulah anak itu dalam masa remaja, dalam benak saya "mungkin anak abege labil". Usut punya usut diperlakukan demikian oleh gurunya karena tidak mengikuti sholat. Saya melihat banyak pro dan kontra dengan kasus ini. Kalau ditanya secara pribadi saya tidak setuju adanya kontak fisik sebagai hukuman. Mengapa? Saya sejak kecil tak punya pengalaman demikian. Apakah mental saya memble? Tentu tidak. Kunci utama adalah komunikasi persuasif guru dan orang tua yang baik.

Apakah kita harus kembali ke cara didik masa lalu yang sedemikian keras? Apakah itu benar? Lihatlah kawan, bangsa kita sangat terlambat majunya dibandingkan negara lain yang menerapkan pendidikan yang baru-baru ini kita adopsi. Coba kita telisik lagi mana yang kira-kira membuat anak-anak sekarang tidak tahan banting, tidak mudah diatur? Kalau yang saya lihat, kini relasi antara orang tua dan anak sudah hampir sedikit. Hal ini pun mempengaruhi sifat dan karakter anak. Perilaku anak sebenarnya cerminan orang tuanya. Saking kurangnya perhatian maka anak bisa saja berbuat semaunya, ingin coba ini itu, mereka jadi anak remaja yang bingung yang pada akhirnya terbawa ke sekolah.

Celakanya, para pendidik yang ada di sekolah rata-rata hasil didikan masa lalu, bagi yang mau berkembang dengan cara baru mereka akan lebih persuasif sehingga menjadi kawan bagi para anak didik. Namun bagi mereka yang hanya berpatokan dengan cara lama "menyebar takut" akan mudah melakukan hal demikian. Kita memang akan senang jika anak didik menjadi penurut, mudah diatur, namun kita patut berhati-hati jangan sampai maksud dan tujuan didikan tersebut tidak dapat diproses dengan baik dalam kognisi anak didik. Anak didik yang dihasilkan dari rasa takut akan membuat generasi "yes man" atau bisa jadi "pemberontak/semaunya." Kalau saya sih mendukung komunikasi persuasif dalam pendidikan. Apakah itu?

Menurut Warrant, komunikasi persuasif adalah perintah yang dibungkus dengan ajakan atau rayuan sehingga tidak terkesan memaksa. Model komunikasi persuasif kini diterapkan dalam berbagai sendi kehidupan termasuk pendidikan. Tujuan dari komunikasi persuasif ada 3 yaitu mempengaruhi pikiran, sikap dan perilaku. Prinsip sederhananya adalah mengubah lawan menjadi kawan.

Saya sangat menyukai pemikiran Carnegie, ia mengatakan orang akan mengatakan iya pada orang yang mereka sukai. Demikian pula degan anak didik, pengajar harus berupaya mengambil hati setiap anak didiknya. Zaman itu berubah, pendidik juga harus menyesuaikan diri, cara lama belum tentu berhasil untuk masa sekarang. Apakah Anda pernah memiliki figur guru atau dosen kesukaan? Apa yang membuat mereka jadi favorit? Pastilah kelasnya selalu penuh, waktu lama tapi terasa singkat, penjelasannya cerdas dan sederhana, ahli di bidangnya, tutur katanya baik, lugas dan jelas. Untuk menggerakkan orang tidak perlu cara kasar, tapi dengan pedekatan persuasif. lalu bagaimana caranya agar disukai? Menurut Dale Carnegie (1995:93-178):

  1. Jadilahsungguh-sungguh berminat kepada orang lain
  2. Tersenyumlah
  3. Mengingat nama seseorang adalah hal yang paling mengesankan dan paling penting bagi orang
  4. Jadilah pendengar yang baik. Dorong orang berbicara tentang dirinya.
  5. Bicarakan minat-minat orang lain
  6. Buatlah orang lain merasa penting dan lakukan dengan tulus

Setidaknya jika seorang pendidik telah dapat merebut hati anak didiknya maka satu tahap menuju komunikasi persuasif dipenuhi. Seorang pendidik bisa juga mengadopsi enam cara di bawah ini yang dirumuskan oleh Robert Cialdini dalam bukunya yang berjudul "INFLUENCE: The Phsycology of Perssuasion." Dalam tulisan ini konteksnya adalah pendidikan maka saya mencoba menyederhanakan intinya, berdasarkan pengalaman-saya sebagai murid dan sebagai pendidik. Saya bersyukur sebelum menjadi pendidik sudah dibekali softskill mengenai persuasi.

  1. Authority
    Seorang guru harus membangun otoritas pada saat pertemuan pertama di kelas. Cara membangun otoritas adalah dengan menjadi ahli di bidangnya, memiliki tutur kata yang lugas dan bijaksana. Anak didik akan merasa segan sekaligus merasa aman. Mainkan tone suara, dan yang paling baik adalah berupaya mengingat dengan cepat nama-nama anak didik karena nama memiliki nilai tersendiri bagi seseorang.

  2. Reciprocity
    Hal ini merupakan prinsip timbal balik. Biasanya kita akan suka jika mengikuti sesuatu akan memperoleh sesuatu. Seorang pendidik bisa merancang tawaran semenarik mungkin jika anak didik mampu dengan baik mengikuti pelajaran. Dulu guru saya memberikan cokelat (hanya cokelat murahan), namun kami sangat bersemangat mengikuti kelas. Terkadang guru memberikan hadiah-hadiah yang tidak diduga.

  3. Scarcity
    Dalam kelas, seorang guru harus mampu menjelaskan "apa ruginya" tidak mengikuti kelas dengan baik. Di sini harus bisa meyakinkan anak didik bahwa pembelajaran itu sangat penting, tentunya dengan cara-cara kreeatif. kalau cara-cara pengumuman kadang tidak akan diingat.

  4. Liking
    Guru, sebagai persuader harus bisa disukai murid-muridnya. Guru sebaiknya segera mungkin menemukan apa saja yang bisa dikaitkan dengan anak didiknya karena seseorang paling menyukai hal-hal yang memiliki hubungan dengan mereka. Pada dasarnya orang pun akan mudah sependapat atau mengatakan "iya" dengan orang yang mereka sukai. Demikian pula dengan anak didik. Ayo rebut hati mereka!

  5. Consistency
    Semakin konsisten dengan apa yang dilakukan maka akan semakin menimbulkan rasa kepercayaan anak didik terhadap guru. Sebisa mungkin tidak plin-plan dan menjawab pertanyaan dengan bijaksana. Guru itu juga bukan kamus berjalan dan tahu segalanya, kadang juga bisa lupa atau menemukan hal baru, maka tunjukkanlah harus rendah hati. Jangan lupa, anak sekarang itu lebih pintar dan kritis. Kalau gurunya jawab salah saja, bisa jadi segera di koreksi muridnya. Kalau gurunya berlaku kasar mereka sudah tahu bahwa ada yang namanya HAM. Masih mau pakai cara lama? Takutnya akan ditertawakan dunia internasional.

  6. Consensus
    Hal ini merupakan pembuktian dari diri seorang guru. Guru bisa jadi figur teladan atau diidolakan oleh muridnya. Guru bisa bercerita tentang anak didiknya yang sekarang sudah sukses, dll.

Dalam pengalaman mengajar saya menemukan beberapa anak didik yang memang sulit secara karakter dan juga memang keras kepala. Tidak jarang secara kolektif. Saya selalu melakukan negosiasi. Ada dua model negosiasi, kooperatif dan kompetitif. Model persuasi dalam negosiasi kooperatif lebih kepada pendekatan menang-menang. Bagaimana membuat anak didik dan saya sebagai dosen tidak merasa dirugikan. Nilai positifnya dari perundingan antara pendidik dan anak didik adalah muncul saling kepercayaan. Misalnya rundingan cara penilaian, atau masa pengumpulan tugas.

Namun terkadang pendidik harus tegas, Ia bisa menggunakan model kompetitif atau menang kalah. Dalam model menang kalah ini, pendidik secara tegas menyampaikan komitmennya, menunjukkan sebab-dan akibat jika tujuan kelas tidak tercapai, dll. Sebagai pendidik, tentu saja punya hak prerogatif dalam mengatur kelas. Kuncinya adalah bangun kepercayaan, dan pendidik disukai maka transfer ilmu akan berhasil.

Saya merasa prihatin dengan kasus yang sedang ramai ini, siswa tersebut mau mendaftar SMA tapi tidak bisa karena berani melaporkan guru ke polisi. Apakah tidak ada sekolah yang rendah hati dengan guru-guru berhati besar di Indonesia ini yang mau membina anak malang tersebut? Anak ini berbuat salah, melanggar aturan, akankah dibiarkan saja soalnya mentalnya tempe karena dicubit saja sudah lapor polisi? Suruh orang tuanya aja yang bikin rapor? Bisa jadi si trouble maker ini di masa mendatang jadi orang berhasil jika sedari dini bertemu figur guru teladan. Guru itu harus sabar dan rendah hati, itu yang saya teladani dari ibu saya dan guru saya yang lain. Kita pun yang sedang aktif berkomentar di sosmed, turut andil dalam menentukan nasib anak ini, hati-hati kita mungkin sudah melakukan bullying pada anak tersebut. Andai dia anak, adik atau saudara kita.

Demikian hasil perenungan saya malam ini. Boleh pro boleh kontra, namanya juga pendapat. Dalam filsafat tak ada yang salah dalam sebuah pendapat. Terima kasih Bung Ewin, yang membuat saya tergelitik untuk menulis lagi di Kompasiana. Ayo kita berpikir menanggapi kasus ini dengan kepala dingin, sambil nyeruput kopi kata Bung Deny Siregar yang terkenal itu, kalau saya saya lagi nyeruput susu panas. Sehat Bro!^^ 

Monggo sruput2, awakke dipenakke dhewe lah (baca: silahkan sruput apapun, buatlah diri merasa nyaman). Annyway, pendidikan di Indonesia ini apakah masih perlu cara didik yang bersifat koersif atau persuasif?

Selamat malam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun