Mohon tunggu...
Pratiwi Cristin Harnita
Pratiwi Cristin Harnita Mohon Tunggu... dosen -

Seorang ibu rumah tangga yang kadang mengajar mahasiswa. Happy blogging anyway^^

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Haruskah Kita Kembali ke Pendidikan Gaya Lama?

4 Juli 2016   00:55 Diperbarui: 4 Juli 2016   17:42 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: getty images.

  • Consensus
    Hal ini merupakan pembuktian dari diri seorang guru. Guru bisa jadi figur teladan atau diidolakan oleh muridnya. Guru bisa bercerita tentang anak didiknya yang sekarang sudah sukses, dll.
  • Dalam pengalaman mengajar saya menemukan beberapa anak didik yang memang sulit secara karakter dan juga memang keras kepala. Tidak jarang secara kolektif. Saya selalu melakukan negosiasi. Ada dua model negosiasi, kooperatif dan kompetitif. Model persuasi dalam negosiasi kooperatif lebih kepada pendekatan menang-menang. Bagaimana membuat anak didik dan saya sebagai dosen tidak merasa dirugikan. Nilai positifnya dari perundingan antara pendidik dan anak didik adalah muncul saling kepercayaan. Misalnya rundingan cara penilaian, atau masa pengumpulan tugas.

    Namun terkadang pendidik harus tegas, Ia bisa menggunakan model kompetitif atau menang kalah. Dalam model menang kalah ini, pendidik secara tegas menyampaikan komitmennya, menunjukkan sebab-dan akibat jika tujuan kelas tidak tercapai, dll. Sebagai pendidik, tentu saja punya hak prerogatif dalam mengatur kelas. Kuncinya adalah bangun kepercayaan, dan pendidik disukai maka transfer ilmu akan berhasil.

    Saya merasa prihatin dengan kasus yang sedang ramai ini, siswa tersebut mau mendaftar SMA tapi tidak bisa karena berani melaporkan guru ke polisi. Apakah tidak ada sekolah yang rendah hati dengan guru-guru berhati besar di Indonesia ini yang mau membina anak malang tersebut? Anak ini berbuat salah, melanggar aturan, akankah dibiarkan saja soalnya mentalnya tempe karena dicubit saja sudah lapor polisi? Suruh orang tuanya aja yang bikin rapor? Bisa jadi si trouble maker ini di masa mendatang jadi orang berhasil jika sedari dini bertemu figur guru teladan. Guru itu harus sabar dan rendah hati, itu yang saya teladani dari ibu saya dan guru saya yang lain. Kita pun yang sedang aktif berkomentar di sosmed, turut andil dalam menentukan nasib anak ini, hati-hati kita mungkin sudah melakukan bullying pada anak tersebut. Andai dia anak, adik atau saudara kita.

    Demikian hasil perenungan saya malam ini. Boleh pro boleh kontra, namanya juga pendapat. Dalam filsafat tak ada yang salah dalam sebuah pendapat. Terima kasih Bung Ewin, yang membuat saya tergelitik untuk menulis lagi di Kompasiana. Ayo kita berpikir menanggapi kasus ini dengan kepala dingin, sambil nyeruput kopi kata Bung Deny Siregar yang terkenal itu, kalau saya saya lagi nyeruput susu panas. Sehat Bro!^^ 

    Monggo sruput2, awakke dipenakke dhewe lah (baca: silahkan sruput apapun, buatlah diri merasa nyaman). Annyway, pendidikan di Indonesia ini apakah masih perlu cara didik yang bersifat koersif atau persuasif?

    Selamat malam.

    HALAMAN :
    1. 1
    2. 2
    Mohon tunggu...

    Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
    Lihat Humaniora Selengkapnya
    Beri Komentar
    Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

    Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun