Mohon tunggu...
Prasetyo Adi
Prasetyo Adi Mohon Tunggu... Dosen - Learner

Orang nomaden. Tinggal di malang dan selebihnya tinggal di tempat lain.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tak Terdidik Alih-alih Merasa Mendidik

6 Juni 2021   00:19 Diperbarui: 27 Juni 2021   08:15 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Setelah perjalanan dari Malang menuju Tulungagung, saya ingin rehat sejenak. Asli pengennya rehat. Tapi ada yang sedikit menggangu, notifikasi Whatsapp beberapa kali berbunyi, dibiarkan malah seolah temponya makin cepat. Akhirnya dengan malas saya buka, ternyata dari grup. Ada beberapa grup yang tak begitu jelas gunanya buat saya, ada pula beberapa grup yang jika saya abaikan akan menimbulkan notifikasi Whatsapp bereaksi lebih keras -alias ditelfon. 

Sahabat saya menulis pesan panjang di grup, setelah membaca pesan panjang itu saya merasa info yang disampaikan sedikit lucu, aneh, lama kelamaan jadinya malah miris. 

Sahabat saya ini bercerita soal kejadian yang barusan ia alami. Katanya ada siswa yang curhat sambil menangis. Sahabat saya kaget, pasalnya siswa ini tak pernah kelihatan sedih biasanya. Benar-benar tak pernah kelihatan sedih. Tiba-tiba malam ini, siswa yang saya maksud barusan bercerita panjang lebar sambil menangis sejadi-jadinya. Sahabat saya sampai kaget, hatinya terkoyak mendengar cerita barusan. Pun juga saya setelah membaca pesan di grup.

Siswa ini berasal dari salah satu negara di Timur Tengah. Yah jadinya ketika dia disekolahkan di Indonesia ada kendala besar dan krusial. Jika saja tak segera diatas ya bakal jadi batu sandungan. Bukan cuma batu sandungan, lebih tepatnya tembok besar, great wall lah istilahnya. Apa kendala itu? Yap benar sekali, dua kali malah. Kendala bahasa. 

Awal tahun ajaran lalu, siswa ini mendapatkan treatment khusus untuk menuntaskan kendala bahasanya selama kurang lebih dua bulan. Sebelumnya dia sudah bisa ngomong pakai bahasa Indonesia, sebatas omongan sederhana. Namun siswa ini tak begitu lancar membaca dan menulis.

Setelah selesai treatment pun, sebenarnya tidak begitu banyak perubahan yang dialami. Malah kelihatan agak stress lantaran ada desakan bahwa pada pertemuan yang akan datang dia harus sudah bisa bahasa Indonesia. Kalau tidak, gak bakal naik kelas. Wah ini sih udah jatoh ketiban durian kopong. 

Kalau betulan kejadian, maka siswa ini dihitung-hitung sudah tinggal kelas selama 2 tahun. Kok bisa? satu tahun pertama dia gunakan untuk sekolah dan hasilnya dia bisa ngomong pakai bahasa Indonesia, tapi tak bisa mengikuti pembelajaran karena tak paham. Satu tahun berikutnya dia belum bisa menulis dan membaca secara lancar, tinggal kelas lah jadinya. Tapi Alhamdulillah tak sampai kejadian, siswa yang satu ini benar-benar memiliki efort yang luar biasa. Ketika belajar, dia menggunakan energi lebih banyak dari pada teman-temannya. Dia harus men-translate di google kemudian berusaha memahaminya, lalu berusaha merangkai kalimat yang ia tulis menggunakan bahasa arab lalu diterjemahkan lagi kebahasa Indonesia.  Luar biasa. 

Guru-guru banyak yang menganggap siswa ini bandel, ndableg, suka membantah dan apa lagi saya tak ingat. Tapi saya tak melihat apa yang dikatakan guru lainnya. Saya hanya melihat, dia bekerja lebih keras dari sebelumnya, dua kali lebih keras dari teman-temannya. Dan bagi saya, usahanya itu membuahkan hasil, walaupun tak bisa kita bandingkan dengan siswa yang bahasa Ibunya adalah bahasa Indonesia.

Tapi kali ini berbeda. Kali ini dia mengaku menyerah didepan muka sahabat saya, tepat setelah teman-temannya sudah tertidur. 

Siswa kami menyerah, mengaku kalah. Sambil mengungkapkan kalau dia merasa bersalah karena jika kesulitan belajar lebih sering mengambil jalan pintas. Dia juga mengaku tak mendapat ilmu apa-apa karena jalan pintas yang diambil. Sambil terisak, dia ingin pindah sekolah ke Jakarta, sekolah yang berbahasa arab. Saya sedih membaca cerita siswa ini, yang ditulis sahabat saya panjang lebar. 

Mungkin kita sebagai guru, telah terang-terangan mengaku sudah mendidik anak dengan baik. Lalu ada kalanya ketika anak itu tak begitu kelihatan perubahannya, kita justru membuat label ke anak didik kita itu. Label yang sering disematkan adalah bodoh dan malas. Tapi untungnya rekan-rekan kami tidak mengatakan itu. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun