Mohon tunggu...
Prasetya Bhagasnara
Prasetya Bhagasnara Mohon Tunggu... Konsultan - Auditor | Konsultan

Profesional muda yang kebetulan senang beruneg-uneg dan berkelakar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Penerapan New Normal Policy Bukan Ide yang (Terlalu) Buruk

1 Juni 2020   09:14 Diperbarui: 1 Juni 2020   09:45 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Source: kompas.com/covid-19

Judul di atas mungkin terdengar terlalu bombastis dan juga kontroversial. Banyak yang akan mengerenyitkan dahi dan berpikir bahwa ini adalah artikel sampah yang salah kaprah. Mungkin kebanyakan orang tidak akan mau meluangkan 5 menit waktu nya untuk repot-repot membaca ini.

Tapi hei, Apa salahnya membaca satu artikel nyeleneh yang, mungkin saja, bisa menambah satu perspektif baru tentang bagaimana kita memahami kondisi yang ada saat ini? 

Kita semua sudah paham bahwa pandemi Covid-19 sangat berbahaya bagi manusia dan kemanusiaan, baik secara fisik maupun non-fisik. Kita juga mengerti bahwa virus Covid-19 belum ada obat nya dan belum ada vaksinnya. Beberapa dari kita juga tahu bahwa (sampai dengan artikel ini ditulis) tingkat penularan Covid-19 di Indonesia masih menyentuh level R0 = 2.5, yang artinya 1 orang positif Covid-19 berpotensi menularkan ke 2-3 orang lainnya.

Lalu orang bodoh mana yang mau mendukung ide pemerintah untuk melonggarkan PSBB secara terstruktur?

Well, saya yakin permasalahannya bukan pada "orang bodoh mana", tapi lebih kepada "orang kepepet mana" yang mau mendukung ini.

Ya, pemerintah tentu sekarang dalam posisi terjepit. Angan dan rencana mereka untuk segera menjadikan Indonesia makin mantap take-off menuju negara ekonomi maju jadi memudar karena ulah makhluk tak kasat mata ini. 

Alih-alih menggunakan sumber dayanya untuk sesuatu yang konstruktif, mereka justru harus mundur beberapa langkah, lalu mengatur strategi kembali dan mengalihkan sumber daya yang ada untuk mempercepat pemulihan pandemi dan menguatkan jaring-jaring pengaman sosial. Sungguh langkah mundur yang cukup jauh.

Lalu ada juga masyarakatnya. Ya, hampir sebagian besar masyarakat Indonesia pasti merasakan dampak pandemi ini. Kebanyakan dari mereka bagaikan berdiri di antara dua pilihan: mati sakit atau mati lapar. Tentu bagi mereka mati lapar bukan pilihan yang ideal. 

Pola pikirnya kira-kira seperti ini: "Untuk apa kita memilih mati kelaparan kalau badan masih sehat?" Atau bisa juga begini: "Kalau berdiam diri di rumah selama 24 jam maka kita pasti lapar. Tapi kalau kita pergi keluar sebentar untuk menyambung hidup, belum tentu kita akan sakit. Lalu buat apa kita memilih mati lapar?"

Pola pikir dan pandangan-pandangan seperti itu bukanlah hal yang perlu dinilai dengan miring. Pandangan mereka, entah bagaimana, terasa valid dan humanis sekali. 

Memang siapa kita untuk berhak menilai buruk orang-orang itu dan menolak pandangannya? Terlebih bagi kita yang masih dapat duduk dan tetap bekerja dengan nyaman di rumah masing-masing tanpa perlu khawatir tidak mendapatkan penghasilan. Paling-paling dampak yang dirasakan hanya pemotongan gaji atau pengurangan THR. But, you're still make a living, right?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun