Mohon tunggu...
Pranan Saputra
Pranan Saputra Mohon Tunggu... Freelance Graphic Designer -

Passionate with Graphic Design, Photography, and Videography. Wanna be VFX Specialist, then.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Batik Impor dari China?

4 November 2015   06:26 Diperbarui: 4 November 2015   07:28 1246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan kekayaan warisan budaya terbesar di dunia. Salah satu warisan budaya Indonesia yang popular di dunia adalah batik. Kata “Batik” berasal dari gabungan dua kata bahasa Jawa: “amba”, yang bermakna “menulis” dan “titik” yang bermakna “titik”. Alat untuk membatik ialah canting. Menurut Soedjoko pada sarasehan Seni Lukis Batik, bahwa istilah batik disebut sebagai seni tulis atau seni lukis yang ada dalam etimologi bahasa Sunda, maksudnya menyungging pada kain dengan proses pencelupan. Pendapat ini sejalan dengan tulisan dalam Babad Sengkala (1633) dan Pandji Djaja Lengkara (1770), batik disebut sebagai karya tulis, karena aktifitas dilakukan dengan penuh ketelitian sebagaimana layaknya orang menulis.

Sejak 02 Oktober 2009, batik telah ditetapkan sebagai salah satu warisan budaya Indonesia oleh UNESCO. Ini menjadikan pandangan terhadap batik yang awalnya identic sebagai 'baju kondangan' mulai beralih menjadi kain yang bisa disulap menjadi produk fashion yang bernilai tinggi sehingga permintaan batik di pasar pun mulai meningkat. Sekalipun permintaan terhadap batik sudah tinggi, tapi apresiasi terhadap nilai yang terkandung di dalamnya masih kecil. Ini ditunjukkan dengan upah para pembatik yang berkisar Rp 7.000 s.d. Rp 25.000 per hari tergantung pada kemampuan membatik yang dimiliki. Ini tidak setara dengan harga jual batik yang bisa mencapai puluhan juta rupiah bahkan ratusan juta rupiah.

Tahun 2012, Indonesia mengimpor kain batik dan produk batik jadi dari China dengan nilai 30 juta dollar AS atau senilai dengan Rp 285 M. Ironis, padahal batik identic dengan karya Indonesia. Bahkan menurut Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, serbuan barang tekstil, khususnya batik dari China, sudah terjadi sejak 4 tahun yang lalu. "Oh sudah lama itu. Itu sudah 4 tahun lalu, dan sampai ke daerah-daerah pasarannya," tutur Ade. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat sebanyak 1.037 ton produk batik yang masuk dari China ke Indonesia dengan nilai 30 juta dolar AS.

Ade mengatakan, serbuan batik impor dari China ini adalah batik-batik yang tergolong murah. Tak heran, batik-batik ini sangat digandrungi oleh masyarakat, khususnya kelas menengah ke bawah. "Harganya per meter paling Rp 20.000, untuk jadi kemeja lengan panjang paling dibutuhkan sekitar 1,2-1,5 meter. Jadi paling harganya sekitar Rp 28.000, murah," tutur Ade.

Menurut Ade Sudrajat, selain jenis kain batik, ada juga beberapa bentuk,barang jadi seperti jaket, blazer, celana, baju untuk perempuan dan laki-laki, serta sapu tangan, syal, scarf, dan dasi dari proses batik. Ade menambahkan, industri tekstil dan produk tekstil di dalam negeri semakin terpuruk karena pasar Indonesia semakin digempur oleh barang impor. Hal ini semakin memberatkan para pengusaha di sektor ini selain masalah upah buruh serta kenaikan harga bahan bakar dan listrik yang harus ditanggung. "Sampai saat ini ya kita makin terpuruk. Pangsa pasarnya diambil alih oleh mereka (impor) karena barang mereka lebih murah, walaupun kualitas kita lebih baik," ucapnya.

Canting dari Indonesia (sumber: narendra-blogs.blogspot.com)


Menurut Ade, untuk meningkatkan daya saing industri tekstil, bukan hanya peran dari pelaku usaha yang dibutuhkan, tetapi pemerintah pun memiliki andil besar dalam hal ini. "Kita sudah free trade (perdagangan bebas), jadi kita harus berjuang, dan pemerintah juga harus berjuang memberi pelayanan, logistik, dan sebagainya karena ini bukan hanya antar pengusaha, tetapi juga G to G (government to government)," tuturnya.

Canting dari China (sumber: gbtimes.com)


Proses membatik 'batik China' atau yang disebut la ran hamper sama dengan yang dapat ditemui di Indonesia, yaitu dengan menitikkan malam ke kain dengan menggunakan alat yang disebut canthing. Hal yang membedakan proses membatik 'batik China' dengan batik adalah pada alat dan pewarna yang digunakan. Motif 'batik China' dibuat dengan menggunakan sejenis pisau dari baja yang memiliki wadah untuk menempatkan cairan malam. Bentuk pisau ini pipih, triangular, semi sirkular, dan bentuk lain mengikuti pola yang ada.

Daerah yang memproduksi batik tulis di China adalah Provinsi Guizhou yang terletak di wilayah barat China. Di Provinsi ini terdapat suku minoritas Miao, Yao, dan Bouyei. Mereka ada suku yang melestarikan budaya batik tulis yang kataya sudah ada sejak jaman Dinasti Han 206 sebelum Masehi. Proses pembuatan batik tulis Guizhou identik dengan pembuatan batik di Indonesia. Mereka juga menggunakan bahan lilin untuk membentuk  pola ornamen batik. Hanya saja bahan lilin di Guizhou diperoleh dari sejenis tanaman yang berbunga pada bulan Juli-Agustus. Bahan ini bersifat eco-friendly dari pada lilin/malam pada pembuatan batik di Indonesia.

Kalau pemerintah tak segera tanggap dan mengambil tindakan, bisa jadi China menggempur Indonesia dengan batik-batik produksi negeri tirai bamboo itu dan industry batik Indonesia perlahan tapi pasti mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun