Mohon tunggu...
Pramuja Yudha Pratama
Pramuja Yudha Pratama Mohon Tunggu... Penulis - Cogito Ego Sum

Education Develops Abilities, but doesn't Create them | Didik Keras Diri Sendiri atau Keras Dunia Menampar Nasib Diri | Find me at Instagram @pramujayudhaa_

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pimpinan (Mudir) Baru sebagai Jawaban atas Persoalan atau Justru Memperpanjang Permasalahan?

4 Oktober 2019   15:12 Diperbarui: 4 Oktober 2019   15:27 653
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Penulis mengawali dengan himbauan agar tuntas membaca seluruhnya dan berpikir objektif supaya tidak salah mengambil konklusi

Pergantian kepemimpinan mengisyaratkan akan adanya perubahan ide ataupun gagasan yang pada periode sebelumnya tidak dapat menjawab persoalan atau bahkan cenderung mewariskan evaluasian. Walaupun tidak menutup kemungkinan prestasi yang telah diraih perlu diapresiasi oleh segenap pihak yang merasakan dan diuntungkan. Tapi penulis tidak dilahirkan untuk mengapresiasi prestasi yang dicapai, karena kemampuan mengapresiasi prestasi, penulis kira telah dimiliki oleh setiap pihak yang mengusahakan tercapainya prestasi itu, tapi lain halnya dengan masukan dan evaluasi, penulis memandang, tidak semua pihak memikirkan apa yang sebenarnya lebih perlu di fokuskan atas pencapaian, selain dengan harapan atas banjir nya apresiasi yang di berikan. 

Maka, pergantian kepemimpinan berbicara soal ide dan gagasan apa yang di tawarkan, bukan hanya sekedar kepuasan dan euforia kita tiap santri, bahwa kita dapat terbebaskan dari sosok pimpinan dengan kebijakan yang cenderung memperkeruh keadaan dan meyakinkan diri bahwa pimpinan yang baru pasti dapat menjernihkan kekeruhan itu, padahal kita tidak pernah tau narasi ide dan gagasan apa yang akan dibangun, bersamaan dengan ketidaktahuan kita akan seberapa tajam analisisnya dan seberapa kuat komitmennya dalam mensolusikan persoalan yang terus terulang dan mengakar, bahkan hanya dalam persoalan  treck recordnya dalam memimpin pun kita awam.

Seorang pimpinan seharusnya memiliki imajinasi moral dan sensitivitas moral/sosial untuk memahami fakta empiris yang menjadi kebutuhan dan keresahan masyarakat yang dipimpinnya  seperti sabda aristoteles. Imajinasi itu seharusnya dapat menyentuh hingga persoalan terdasar atas keterwakilan santri dibawah organisir ORTOM (organisasi otonom).

Maka yang perlu kita pertanyakan pada setiap mudir (pimpinan) yang menjabat, sejauh apa relasi dalam caranya memandang atas setiap tuntutan dan keluhan santri? Sejauh apa pula ide dan gagasannya mengakomodir setiap masukan dan pandangan santri yang akan dipimpinnya? Setidaknya caranya berkomunikasi dengan organisasi yang lahirnya secara independensi menyuarakan aspirasi baik (IPM, HW, ataupun TS), apakah benar dengan cara ketidakhadiran nya dalam setiap acara organisasi adalah bentuk dari caranya memahami perkembangan santri? Atau bahkan hanya pelantikan yang diadakan setahun sekali pun menjadi keharaman untuk dirinya menapakkan kaki dan menyaksikan sumpah serta komitmen yang di ikrarkan oleh sebagian santri yang mendedikasikan dirinya untuk mengawal kepemimpinan nya. 

Harus dengan argumentasi se-bijak apa untuk dapat menafsir maksud pola tindakan yang dilakukannya, kalau bukan narasi mudir (pimpinan) yang terlalu banyak berhalusinasi memperjuangkan harapan santri, padahal saat yang bersamaan, santri tidak pernah merasa sedikit pun keterwakilan aspirasinya di perjuangkan! Siapa sebenarnya yang sedang tertidur dan siapa yang sebenarnya sedang ngelantur!

Kebebasan dan kekuasaan selalu berjalan secara berdampingan, tentu kebebasan dimengerti sebagai apa yang disebut "external impediment" atau hambatan eksternal yang senada dimaknai atas lenyapnya oposisi eksternal, dan realitas kita bicara soal rutinitas ketidakjelasan keputusan pondok yang berkaitan dengan ORTOM (organisasi otonom), selalu mengambang tanpa kepastian. Terutama pembaca yang pernah ataupun sedang menjabat, pasti pernah mengalami.

Alasan demi alasan yang selalu diberikan, dan perbedaan keterangan yang selalu ditampilkan oleh tiap-tiap orang yang bersangkutan, justru semakin memperkuat asumsi kita bahwa "tindakan dan sikap politis ini seakan nyata dalam lembaga ini". Berbarengan dengan kerasnya keraguan kita, bahwa saat ini kita sedang berhadapan dengan kharismatik nya seorang kyai atau justru tingkah polanya seorang politikus pendidikan? Seakan kehadiran Ortom sama dengan tuntutan kebebasan yang menghambat kekuasaan!

Tampak Lucu bukan?

Ruang-ruang organisasi yang bergerak untuk menambal kebolongan keberpihakan justru dikerdilkan, padahal kehadiran lembaga dalam mendengar kan tuntutan-tuntutan keberpihakan pada santri sudah dapat dipastikan mengecewakan. Membantu dikerdilkan, menuntut bantuan tak di dengarkan! padahal organisasi hanya menuntut kebebasannya dalam mengatur penuh program dan prinsip geraknya. Dan semua itupun diperjuangkan untuk mengisi apa yang seharusnya dilakukan oleh pihak (pondok) yang justru mengkerdilkannya. Istilah yang konon katanya otonom pun berasa sebaliknya.

Kapan terdengar kabar santri diikutsertakan dalam perumusan kebijakan? Duduk lama berdiskusi persoalan saja harus menempuh jalur birokrasi yang gemuk sebelum dapat secara langsung berdiskusi dengan pimpinan. So, jangan heran ketika pertanyaan "kapan santri bisa disiplin dengan kebijakan yang diterapkan" dan jawabannya "itu hanya angan-angan". Dengan alasan kuat apa santri harus melaksanakan kebijakan yang bukan ditujukan untuk dirinya, toh tidak hadir dari keresahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun