Mohon tunggu...
Pramudita Satria Palar
Pramudita Satria Palar Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa doktoral di bidang Aeronautika dan Astronautika, Universitas Tokyo. Mencintai buku, matematika, teknologi, musik, dan sastra.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Belajar di Jepang dan Belajar dari Jepang

3 November 2014   02:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:51 834
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Jepang bisa dibilang merupakan salah satu negara Asia yang cukup populer di mata orang Indonesia.  Bagaimana tidak, mari kita mulai dari produk otomotif dan elektronik dari negara Jepang, saya yakin kita semua sudah sangat fasih menyebutkan merek-merek produk Jepang ada yang di sekeliling kita. Kita pun sudah lama mengenal sejarah pahit masa-masa penjajahan Jepang d Indonesia yang utamanya kita pelajari dari  buku teks sejarah di sekolah. Atau jika saya sebutkan Doraemon, saya yakin anda semua sudah sangat mengenal tokoh robot kucing yang satu ini. Dari segi politik dan ekonomi sekalipun, hubungan antara Indonesia dan Jepang sudah terjalin baik walaupun tentunya juga diiringi dengan pasang surut selama berpuluh-puluh tahun. Ini menggambarkan sudah betapa familiar dan dekatnya kita dengan negara Jepang, suka atau tidak suka, ketahui atau tidak kita ketahui. Bahkan dewasa ini, belajar di Jepang dan menuntut pendidikan formal di Jepang juga merupakan cita-cita cukup banyak orang Indonesia.

Kita akan coba melihat statistik-nya, statistik tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah pelajar Indonesia yang belajar di Jepang adalah sekitar 2410 orang (sumber : http://www.jasso.go.jp/statistics/intl_student/data13_e.html), atau 1.8% dari total pelajar asing yang belajar di Jepang. Angka ini cukup bervariasi dan jumlah aktualnya tentunya lebih banyak karena belum memasukkan pelajar Indonesia yang belum mendaftar secara resmi ke Kedutaan Republik Indonesia di Jepang. Walaupun demikian, angka ini masih terbilang sangat sedikit jika dibandingkan dengan China (81.884), Korea Selatan (15304), dan Vietnam (6290), dimana Indonesia berada dalam level yang sama dengan mahasiswa Amerika Serikat (2083) di Jepang. Jika melihat dari segi bidang yang ditekuni oleh mahasiswa Indonesia di Jepang, proporsi besar ada pada bidang Sains dan Teknologi. Dari koresponsi dan diskusi informal dengan Atase Pendidikan KBRI Tokyo persentase mahasiswa di bidang sains dan teknologi ini berada di atas 70% dari total keseluruhan mahasiswa Indonesia yang berada di Jepang. Kapabilitas dan citra negara Jepang dalam bidang sains dan teknologi merupakan salah satu faktor pendorong presentase yang tinggi tersebut. Belum lagi Jepang memberikan kesempatan beasiswa yang cukup banyak dari segi jumlah yang dapat dimanfaatkan orang Indonesia untuk melanjutkan studi-nya di Jepang. Dengan belajar di Jepang, para pelajar tersebut tentunya akan dibekali dengan keilmuan dan ketrampilan spesifik di bidangnya masing-masing. Belajar di Jepang, ataupun mengunjungi Jepang, merupakan mimpi sebagian orang Indonesia. Tetapi perlu kita ingat bahwa keterbatasan akan membatasi mimpi orang-orang ini. Tidak semua orang akan dapat berangkat untuk belajar di Jepang, walaupun suatu saat nanti jumlah pelajar Indonesia di Jepang akan lebih banyak dari sekarang, akan tetap ada orang-orang yang tidak berhasil mendapatkan kesempatan tersebut. Singkatnya, tidak semua orang bisa belajar di Jepang.

Tetapi satu hal penting yang perlu kita ketahui adalah: belajar di Jepang dan belajar dari Jepang adalah dua hal yang berbeda. Memang irisan dari dua hal tersebut tidak bisa dipungkiri karena pasti ada tapi penting bagi kita untuk bisa mengetahui perbedaan antara dua hal tersebut. Belajar di Jepang artinya adalah kita menuntut ilmu di Universitas Tokyo, Kyoto, Hokkaido, maupun universitas-universitas ataupun institusi pendidikan formal lainnya di Jepang. Keluaran dari belajar di Jepang adalah gelar akademik, ijazah, dan bukti-bukti otentik lainnya bahwa kita pernah mengambil dan lulus dari pendidikan formal dari universitas di Jepang. Tentunya kesempatan untuk belajar di Jepang adalah terbatas jika kita melihat dari segi kuota universitas /beasiswa maupun biaya pendidikan dan hidup yang juga cukup tinggi di Jepang. Tetapi apakah ini berarti bahwa tidak semua orang bisa belajar dari Jepang? Tidak. Tidak bisa dengan semudah itu kita hitam-putihkan. Belajar dari Jepang adalah hal yang mungkin untuk semua orang, amat sangat mungkin sekali. Lalu bagaimana caranya?

Belajar dari Jepang artinya adalah mempelajari hal-hal baik yang bisa kita dapatkan dari bangsa Jepang. Mempelajari nilai-nilai positif dari perilaku dan kebudayaan bangsa Jepang adalah hal yang bisa dipelajari oleh siapa saja, tidak terbatas untuk orang Indonesia yang sedang berada di Jepang. Jepang bukanlah bangsa yang hanya bisa diindentikkan dengan teknologi maju, tetapi justru hal-hal kecil dan nilai-nilai positif yang tertanam di diri setiap individu Jepang itulah yang harus kita pelajari. Tidak hanya dari per individu, bagaimana bangsa Jepang hidup dalam komunitas kecil (keluarga / lingkungan tempat tinggal) maupun komunitas besar (sebagai suatu negara) dan bagaimana mereka bekerja dan berperilaku secara kelompok juga merupakan hal baik lain yang bisa kita pelajari dari Jepang. Kita sudah cukup mengetahui perilaku-perilaku kecil dan terpuji bangsa Jepang seperti mengantri, membuang sampah pada tempatnya, ketepatan waktu, dan budaya “ke-kita-an” bukan “ke-aku-an”. Sekilas memang terlihat seperti tindakan dan hal kecil, tetapi bukankah hal yang besar selalu dimulai dari hal kecil ataupun merupakan bagian dari hal-hal kecil tersebut? Ingat bagaimana perilaku penonton Jepang di salah satu pertandingan di Piala Dunia 2014 yang membersihkan tempat duduk mereka di stadium setelah negara mereka kalah bertanding? Hal ini memang sudah menjadi kebiasaan dari bangsa Jepang, tetapi mereka juga berpikir apa efek buruk yang dapat terjadi jika mereka tidak melakukan hal yang baik, kurang lebih contohnya adalah “Jika saya tidak mengantri dengan benar, akan ada beberapa orang yang saya rugikan?" Seringkali kita justru berpikir hal-hal seperti ini : “Hanya saja saya kok yang buang sampah sembarangan, jalanan tidak akan menjadi kotor”. Tetapi coba kita bayangkan jika semua penduduk di satu kota di Indonesia membuang sampah sembarangan di jalan? Jelas kota tersebut akan menjadi kota yang sangat tidak nyaman dan juga tidak sehat. Perilaku komunitas merupakan suatu kesatuan dari perilaku individunya, oleh karena itu penting bagi kita untuk berpikir apa pengaruh tindakan kita terhadap lingkungan dan komunitas di sekeliling kita. Kita dapat belajar dari bangsa Jepang dari bagaimana mereka membina komunitasnya. Hal-hal seperti mengantri dan membuang sampah pada tempatnya adalah hal yang sebenarnya universal, tetapi kadang sulit sekali bagi kita untuk melakukannya. Dalam hal ini Jepang bisa menjadi contoh bagi kita untuk mulai membuka pikiran dan melakukan tindakan-tindakan nyata.

Ketepatan waktu pun adalah hal bersifat universal tetapi hal seperti ini dapat dilihat dengan sangat jelas di bangsa Jepang. Dengan merasakan sistem transportasi di Jepang kita dapat merasakan betapa sangat berharganya waktu. Ketepatan waktu transportasi umum di Jepang merupakan contoh paling terlihat dari kacamata seorang turis. Jika bus umum terlambat datang sekitar satu atau dua menit, maka orang Jepang sudah akan mulai celingak-celinguk mencari dimana bus yang dinantikan, tetapi hal ini pun sangatlah jarang sekali. Shinkansen (kereta cepat Jepang) mencatat data keterlambatan secara rata-rata selama 0.6 detik pada tahun 2010. Detik. Bahkan dibawah satu detik dan bukan dalam kisaran menit. Wajar jika transportasi umum merupakan pilihan yang paling nyaman untuk berpindah-pindah tempat di Jepang, ditambah dengan kondisi infrastruktur transportasi yang sangat aman, bersih, dan nyaman. Ketepatan waktu transportasi umum adalah hal yang paling mudah dilihat jika kita ingin melihat budaya tepat waktu di Jepang. Tapi tentunya budaya tepat waktu ini merupakan hal yang juga sudah merupakan bagian dari kultur bangsa Jepang dan masing-masing individu Jepang, tepat waktunya transportasi umum hanya merupakan contoh cerminan dari budaya kolektif tepat waktu setiap orang Jepang.

Satu hal lain yang dapat dipelajari dari Jepang adalah bagaimana setiap individu Jepang sangat bangga dengan pekerjaan / profesi yang ia miliki. Seorang polisi akan sangat bangga dengan pekerjaannya, karena ia tahu tanpa orang-orang seperti dirinya maka keamanan lingkungan akan sulit terjaga. Tampil di depan publik bukan hal yang diperlukan, bagaimana cara menjalani pekerjaan yang diamanahkan orang lain dengan sebaik-baiknya merupakan hal yang lebih penting.  Oleh karena itulah jarang sekali kita melihat seorang Jepang yang begitu gila tampil di depan publik. Kultur “ke-kita-an” dan bukan “ke-aku-an” sudah menjadi budaya yang mendarah daging dalam bangsa Jepang. Segala macam keberhasilan dan prestasi dipublikasikan sebagai hasil kerjasama suatu kelompok, karena memang begitulah adanya. Kadang mungkin kita sendiri benar-benar ingin tampil di depan publik untuk menunjukkan hal apa yang kita lakukan, agar dunia tahu apa yang sudah kita perbuat, sudah kita lakukan. Tetapi ketahuilah sekali lagi apa yang kita jalankan itu lebih penting daripada munculnya wajah kita di depan publik karena masyarakat jauh lebih membutuhkan hasil kerja kita. Singkatnya, inilah salah satu hal dari Jepang yang mengagumkan, jika kita semua sadar akan peran masing-masing dan berbuat yang terbaik, akan sangat mungkin kita dapat mencapai dan membentuk komunitas yang sehat dan saling menghargai satu sama lain.

Melihat dalam skala yang lebih luas, kemajuan ekonomi (walaupun sekarang sedang mengalami stagnansi, atau tidak terlalu bergerak) dan industrial negara Jepang juga merupakan buah dari pendidikan moral, kultur, dan hal-hal positif kecil yang dilakukan masing-masing orang Jepang. Ketelitian dan ketekunan bangsa Jepang juga berperan besar terhadap berbagai macam inovasi yang dimiliki bangsa Jepang. Keteraturan dan ketepatan waktu telah membantu untuk meningkatan efisiensi berbagai macam sektor di Jepang karena tidak ada atau sedikit sekali waktu yang terbuang sia-sia.  Budaya mengantri bangsa Jepang telah membantu negara Jepang menjadi negara yang tertib dan teratur. Hal ini tentunya tidak terlepas dari pendidikan moral dan sikap yang sudah ditanamkan sejak kecil. Tidak mengantri dengan benar, membuang sampah sembarangan, merusak barang publik, menyeberang jalan sembarangan, adalah hal-hal yang buruk dan merugikan banyak orang, dan hal-hal ini sudah ditanamkan dari tingkat pendidikan sedini mungkin. Pada tingkat pendidikan dasar, pendidikan moral acapkali lebih penting daripada pendidikan ketrampilan. Hasilnya dapat kita lihat jika kita berjalan di lingkungan kota Jepang yang bersih, aman, transportasi yang tepat waktu, dan penuh keteraturan.

Ironisnya, belum tentu orang-orang yang belajar di Jepang dapat sepenuhnya belajar dari Jepang. Hal ini murni karena belajar dari Jepang hanya bisa dilakukan oleh orang yang mau membuka pikirannya, dan tentunya membuka pikiran tidak hanya sekedar membanding-bandingkan kemudian mengomentari (contoh : Jepang maju ya, Indonesia kapan maju ya). Komentar-komentar seperti barusan bukanlah hal yang konstruktif karena seringkali orang yang memberikan komentar tersebut juga sebenarnya tidak terlalu peduli, yang lebih penting baginya adalah lebih seru memberikan komentar daripada melakukan tindakan nyata. Banyak yang lupa bahwa hal yang paling penting adalah bagaimana kita dapat menerapkan apa yang sudah kita ketahui dan pahami tersebut. Kemajuan kabupaten Bantaeng adalah salah satu contoh bagus dari bagaimana hal-hal baik dari Jepang dapat diterapkan di Indonesia mengingat bupati Bantaeng di saat artikel ini ditulis merupakan alumni dari Universitas Jepang. Beliau memberikan contoh yang sangat baik mengenai hal-hal baik apa yang bisa kita pelajari dari Jepang: amati, pahami, kemudian terapkan. Tidak semua orang bisa belajar di Jepang, tapi semua orang bisa belajar dari Jepang. Belajar dari Jepang bisa dilakukan dengan berbagai macam media: membaca buku, membaca artikel di internet, memperhatikan tingkah laku orang Jepang, berdiskusi dengan orang lain, bahkan menonton film atau dokumenter  seputar Jepang. Hal-hal yang saya ceritakan di tulisan singkat ini hanyalah potongan kecil dari apa yang dapat kita pelajari dari Jepang, saya menulis tulisan ini untuk mencoba membuka pikiran saya sendiri dan orang-orang yang membaca tulisan ini bahwa belajar dari Jepang (ataupun bangsa lainnya) bisa dilakukan oleh semua orang.

Di luar itu, penting juga untuk tidak sepenuhnya kagum dan membangga-banggakan orang Jepang secara berlebihan. Seringkali kita berpikir seperti ini : “Negara seperti Jepang sudah berpikir bagaimana mencapai luar angkasa, kita masih saja berpikir bagaimana mendamaikan konflik di negara sendiri”. Jangan salah, negara Jepang juga memiliki masalah-masalahnya sendiri. Pemerintah Jepang juga berpikir keras untuk menyelesaikan berbagai permasalahan tersebut. Mulai dari piramida penduduk yang terbalik, jumlah penduduk yang menurun,  masalah ekonomi (jangan salah, statistik menunjukkan satu dari tiga wanita single Jepang berada di bawah garis kemiskinan), dan masalah-masalah lainnya. Sebagai individu pun orang Jepang juga dikenal sebagai orang yang pemalu, tertutup, mudah stress, dan senang membicarakan orang lain dari belakang. Saat kita mempelajari sesuatu bukan hanya hal-hal positifnya yang perlu kita pelajari, tetapi juga penting untuk mengetahui yang buruk agar kita tidak melakukan hal-hal buruk tersebut. Tetapi di luar berbagai permasalahan tersebut, kembali ke topik utama, belajar dari Jepang bukanlah suatu hal langka, siapa saja dapat melakukannya dan dapat memanfaatkannya untuk kebaikan diri sendiri dan orang-orang di sekitar. Penting juga kita mengingat budaya-budaya baik bangsa sendiri yang sudah mulai terkikis dari waktu ke waktu agar kita tidak hanya menjadi bangsa yang maju jika dilihat dari angka-angka ekonomi maupun kemajuan teknologi, tapi juga dari segi moralitas dan kebudayaan. Masih jalan yang panjang untuk menuju itu, tetapi akan jauh lebih panjang lagi jika kita tidak memperbaiki diri sendiri dan mengabaikan hal-hal kecil yang justru sangat penting.

Pramudita Satria Palar

Tokyo, 11 Februari 2014

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun