Sebagai contoh adalah pengamanan dan penjagaan pengelolaan taman nasional di Indonesia yang sangat lemah. Â Pertama adalah luasnya TN yang dijaga dan diawasi tidak sebanding dengan jumlah petugas TN yang ada. Rata-rata luas TN diatas 100.000 ha bahkan terdapat TN yang mempunyai luas diatas 1000.000 ha. Sementara itu, petugas jagawana hanya berkisar 100 -125 orang setiap TN. Idealnya satu orang petugas jagawana secara efektif menjaga dan mengawasi 200 -- 250 ha.Â
Oleh karena itu, TN dengan luas 100.000 ha, membutuhkan petugas jagawana minimnal 500 orang. Â Data statistik Ditjen KSDAE 2018, masing masing TN memiliki jagawana, yaitu TN Kerinci Sebelat, 82 orang, TN Tanjung Puting, 22 orang, TN Bogani Nani Wartabone, 33 orang. Jelas jumlah jagawana yang dimiliki 3 (tiga) TN tersebut jauh dari memadai. Jumlah jagawana yang dimiliki UPT Ditjen KSDAE diseluruh Indonesia hanya 2.162 orang yang sangat tidak sebanding dengan luas kawasan hutan yang dijaga dan diawasi yaitu 27,3 juta ha (Rasio 1 : 12.627).
Kedua, batasan antara zona inti, zona pemanfaatan  dan zona lainnya di lapangan belum jelas. Demikian juga pembagian blok perlindungan, blok pemanfaatan dan blok lainnya pada kawasan pelestarian alam (KPA) dan kawasan suaka alam (KSA)  selain TN. Pembuatan tata batas antar zona maupun blok membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang cukup besar.
Jadi kesimpulannya, legalitas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri LHK tidak ada gunanya apabila tidak didukung oleh SDM pengawasan yang berkualitas dan berkuantitas yang memadai. Masalah perambahan hutan, illegal logging, illegal mining dan konflik tenurial akan selalu terjadi dan berulang. Celakanya kalau kerawanan keamanan hutan tersebut dibiarkan terus maka dikhawatirkan skalanya akan bertambah masih luas, masif dan meningkat.