Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Rutinitas Bencana Hidrometeorologi

5 Desember 2020   15:27 Diperbarui: 5 Desember 2020   15:34 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

RUTINITAS BENCANA HIDROMETEOROLOGI

Belum lama ini, kita disuguhkan berita dimedia televisi adanya bencana banjir yang melanda beberapa kecamatan di kota Medan. Korban harta benda dan juga jiwa yang tidak sedikit sudah terlanjur terjadi. Memasuki musim hujan pada bulan awal Desember 2020 ini dan puncaknya pada awal Januari 2021 nanti, sudah seharusnya daerah-daerah yang menjadi langganan bencana banjir, tanah longsor yang sekarang lebih dikenal dengan bencana hidrometerologi menjadi rutinitas setiap tahun. Masalahnya adalah apakah skala dan luasan bencana makin membesar dan meningkat.

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika menghimbau seluruh mitra Kementerian /Lembaga, pemerintah daerah dan stakeholder, serta masyarakat untuk tetap meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bencana hidrometeorologi menyongsong periode Natal 2020 dan Tahun Baru 2021. Kepala BMKG menambahkan, puncak La Nina akan bersamaan dengan puncak musim hujan di bulan Desember 2020 dan Januari 2021. Fenomena La Nina dengan intensitas lemah hingga moderat berpotensi meningkatkan jumlah curah hujan antara 20-40% dari normalnya.

Untuk itu BMKG melalui Balai Besar MKG dan UPT di daerah melakukan sosialisasi secara gencar dan masif untuk mengantisipasi dampak La Nina tahun 2020/2021. Prakiraan curah hujan khusus NATARU (Natal dan Tahun Baru)  ini, bulan Desember 2020 sampai Januari 2021 curah hujan akan mencapai lebih dari 300mm/bulan, bahkan sampai bulan Maret masih akan ada di musim hujan. Jadi kesimpulannya adalah periode NATARU 2020/2021 ini akan ada di musim hujan dengan intensitas yang tinggi.

Melihat peringatan BMKG tersebut, sudah seharusnya, daerah yang menjadi langganan bencana melakukan mitigasi bencana sejak dari awal sehingga korban jiwa dan harta bend dapat ditekan dan minimalisir skala dan luasnya. Sayangnya, mitigasi bencana yang diartikan sebagai serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana, nampaknya belum membuahkan hasil yang nyata, karena mitigasi bencana sifatnya temporer dan jangka pendek.

Solusi penanganan bencana hidrometeorologi yang sifatnya permanen dan jangka panjang adalah penanganan pada daerah hulu dan daerah tangkapan air didaerah aliran sungainya (DAS) dengan penanaman vegetasi kayu-kayuan yang mempunyai perakaran dalam. Pemulihan dan rehabilitasi daerah hulu dan tangkapan air DAS selama ini menjadi masalah kruisal, karena telah dilakukan bertahun tahun, namun hasilnya belum nampak nyata. Menyadari hal ini, presiden mengintruksikan menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk mengintensifkan dan memperluas penanaman pohon pada hulu DAS yang menjadi biang keladi terjadinya bencana hidrometereologi.

Sebagai langkah awal KLHK akan membangun persemaian berskala besar untuk green economy pada tahun 2021. Rencana KLHK membangun sejumlah persemaian berskala besar untuk untuk memproduksi bibit pohon yang berdampak secara ekologi dan ekonomi, patut disambut gembira dan mendapat apresiasi. Betapa tidak, satu lokasi persemaian di Rumpin, kabupaten Bogor yang seluas 128 ha mampu memproduksi bibit sebanyak kurang lebih 16 juta bibit setiap tahun, telah disiapkan mulai sekarang dan diharapkan tahun 2021 sudah selesai dan mulai berproduksi.

Persemaian Rumpin dibangun dengan luas 128 hektare (ha). Selain di Rumpin, persemaian juga akan dibangun di Kalimantan Timur (120 ha) untuk mendukung Ibu Kota Negara yang baru, serta di sekitar kawasan pariwisata Danau Toba, Sumatera Utara (37,25 ha), Labuan Bajo, NTT (30 ha), Mandalika, NTB (32,25 ha), dan Likupang, Sulawesi Utara (30,33 ha).

Satu hal yang lebih penting lagi adalah tidak hanya sekedar membangun persemaian secara besar-besaran, KLHK harus mampu memperbaiki tata kelola pengangkutan dan distribusi bibit; tata kelola penanaman dan pemeliharaannya. Karena proses bibit menjadi pohon membutuhkan waktu minimal 15 -- 20 tahun maka untuk menjamin keberhasilan penanaman tersebut harus ada tata kelola pengawasan dan pengawalan keberhasilan tanaman dengan baik. Kalau tidak dilakukan tahapan ini  dan hanya  ditanam ala kadarnya  dan setelah itu diserahkan kepada alam, jangan harap rehabilitasi daerah hulu dan tangkapan air DAS dapat berhasil.

PRAMONO DWI SUSETYO

Kompasiana, 5 Desember 2020

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun