Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Rumitnya Mengurus Izin Pelepasan Kawasan HPK

25 November 2020   13:18 Diperbarui: 25 November 2020   13:21 1147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kedua, rentang waktu rekomendasi persetujuan dan penolakan sangat panjang setelah lolos administrasi dari Lembaga OSS. Dari Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (KLHK mengakses dan mengunduh permohonan dan persyaratan dari sistem elektronik yang terintegrasi sampai dengan keluarnya keputusan menteri LHK dibutuhkan waktu 44 hari kerja. Sedangkan rentang waktu lembaga OSS menerbitkan surat penolakan permohonan dibutuhkan waktu paling cepat 27 hari kerja. Proses pungurusan izin dari memngakses dan mengunduh permohonan dan persyaratan dari sistem elektronik yang terintegrasi, pengawasan terhadap persyaratan permohonan, verifikasi lapangan, pelaporan kepada menteri, telaahan teknis dari persetujuan lembaga OSS kepada Sekjen, penelahan hukum dan penerbitan dan penyampaian konsep keputusan menteri kepada menteri, juga berpotensi sebagai sumber kolusi dan korupsi.

Ketiga, bagi izin pelepasan kawasan HPK yang melalui lembaga OSS, salah satu persyaratan teknis yakni laporan dan rekomendasi hasil penelitian Tim Terpadu juga diperlukan.  Apabila ya, maka pemohon izin melalui OSS, sebelum dokumennya diproses oleh lembaga OSS, harus mengajukan permohonan kepada Dirjen PKTL KLHK untuk membentuk Tim Terpadu yang biayanya dibebankan kepada pemohon. Waktu yang dibutuhkan melaksanakan penelitian dan menyampaikan laporan hasil penelitian dan rekomendasi paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak ditetapkannya surat perintah tugas dari Direktur Jenderal atas nama Menteri.

Proses seperti ini sudah tentu membuka celah dan tidak steril dari proses negoisasi dan kolusi yang pada muaranya juga berujung pada korupsi.

Peran UU Cipta Kerja dalam Pelepasan Kawasan HPK

Salah satu tujuan dibentuknya UU Cipta Kerja adalah memberi kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan perlindungan dan kesejahteraan pekerja. Paragraf 3 tentang persetujuan lingkungan pasal 32 ayat (1) menyatakan bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah membantu pengrusunan Amdal bagi usaha dan/atau kegiatan Usaha Mikro dan Kecil yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup. Ayat berbunyi (2) bantuan penyusunan Amdal berupa fasilitasi, biaya, dan/atau penyusunan Amdal. Kemudian pasal 34 ayat (1) menegaskan bahwa setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap Lingkungan Hidup wajib memenuhi standar UKL-UPL. Ayat

(2) pemenuhan standar UKL-UPL dinyatakan dalam Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Melihat kemudahan dalam penyusunan Amdal dan UKL-UPL bagi Usaha Kecil dan Mikro, terkait dengan peraturan menteri LHK P.96/2018 pasal ayat (1a) tentang pernyataan komitmen penyelesaian  Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL) atau Upaya Kelola Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL); perlu ditinjau kembali batasan  luas pelepasan kawasan HPK untuk perkebunan bagi Usaha Kecil dan Mikro tersebut.

Ditengah pemerintah sedang berupaya mendorong peningkatan ekosistem investasi dan iklim kemudahan perizinan berusaha (menarik investasi sebesar-besarnya), keterbukaan informasi tentang sumberdaya alam seperti kawasan HPK harus dibuka seluas luasnya bagi dunia usaha dan masyarakat umum. Informasi dan transparansi tentang peta dan luas kawasan HPK tiap provinsi/kabupaten yang masih belum dibebani hak harus dapat diakses dengan mudah. Kalau perlu, pemerintah melakukan jemput bola dengan menawarkan kawasan HPK yang belum dibebani hak tersebut kepada asosasi pengusaha seperti Kadin, APHI, asosiasi pengusaha kebun tebu dan sebagainya sehingga iklim berusaha dengan memanfaatkan kawasan HPK semakin bergairah.

Mekanisme perizinan yang tidak dapat dilakukan dengan sistem OSS dan masih memerlukan sistem konvensional yang membuka celah adanya "kolusi" seharusnya dicegah dengan sistem pengawasan melekat dua jenjang yang sangat ketat sehingga penyimpangan dapat ditekan sekecil mungkin. Demikian halnya dengan rentang waktu perizinan sebisa mungkin dapat dipersingkat dari aturan yang sekarang berlaku, sehingga iklim berusaha benar-benar dirasakan baik dari segi kemudahan prosedur, lama waktu dan kepastian berusaha.

PRAMONO DWI SUSETYO

Kompasiana, 25 November 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun