Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Distorsi dan Inkonsistensi Hutan Produksi Konversi (HPK)

30 Maret 2020   18:44 Diperbarui: 30 Maret 2020   18:45 3537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Alih fungsi kawasan hutan, tepatnya pelepasan kawasan hutan untuk  dan atas nama pembangunan sejak tahun 1985 sampai tahun 2017 seluas 6.738.311 ha. Menurut KLHK rincian pelepasan kawasan tersebut pada era Soeharto, 3.448.053 ha, era Habibie, 678.373 ha, era Gus Dur, 163.566 ha, era Megawati  0 ha, era SBY  2.212.335 ha dan era Jokowi 305.984 ha. Pelepasan kawasan hutan ini akan mungkin dapat bertambah karena pemerintah masih mempunyai stok produksi yang dapat dikonversi seluas 12,9 juta ha.

Satu lagi aturan yang memperbolehkan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dengan alasan  untuk kegiatan yang mempunyai tujuan strategis yang tidak dapat dielakkan. Peraturan menteri LHK no. P. 27/2018 tentang pedoman pinjam pakai kawasan hutan mengatur tentang penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan kehutanan di kawasan hutan produksi dan atau dikawasan hutan lindung tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.

Kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan  meliputi:  1) religi, meliputi tempat ibadah, tempat pemakaman non komersial dan wisata rohani;  2) pertambangan meliputi pertambangan mineral, batubara, minyak dan gas bumi termasuk sarana, prasarana, dan smelter; 3) ketenagalistrikan meliputi instalasi pembangkit, transmisi, distribusi listrik dan gardu induk serta teknologi energi baru dan terbarukan; d. panas bumi; 4) telekomunikasi meliputi jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi serta stasiun bumi pengamatan keantariksaan; 5) jalan umum, jalan tol, dan jalur kereta api;  6) sarana transportasi yang tidak dikategorikan sebagai sarana transportasi umum untuk keperluan pengangkutan hasil produksi; 7) waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan air dan sanitasi, dan bangunan pengairan lainnya; 8) fasilitas umum; 9) industri selain industri primer hasil hutan; 10) pertahanan dan keamanan, antara lain sarana dan prasarana latihan tempur, stasiun radar, dan menara pengintai, pos lintas batas negara (PLBN), jalan inspeksi; 11) prasarana penunjang keselamatan umum antara lain keselamatan lalu lintas laut, lalu lintas udara, lalu lintas darat, karantina dan sarana meteorologi, klimatologi dan geofisika;  12) jalur evakuasi bencana alam, penampungan korban bencana alam dan lahan usahanya yang bersifat sementara; 13) pertanian tertentu dalam rangka ketahanan pangan; 14) pertanian tertentu dalam rangka ketahanan energi; 15) pembangunan bandar udara dan pelabuhan; atau 16) tempat pembuangan akhir (TPA) sampah.

Sarana transportasi antara lain pembangunan jalan, kanal, pelabuhan atau sejenisnya untuk keperluan pengangkutan hasil produksi perkebunan, pertanian, perikanan atau lainnya. Bandar udara dan pelabuhan, hanya pada provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi dan merupakan Proyek Strategis Nasional.  

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan dilakukan berdasarkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). IPPKH yang telah diterbitkan dari tahun 1979 hingga 2018 seluas 563.463,48 ha.

Pada era Kabinet Pembangunan tahun 1979 sampai 1997, izin IPPKH untuk kepentingan publik seluas 14.045,63 hektare, untuk kepentingan korporasi seluas 25.961,33 hektare. Pada era Kabinet Reformasi Pembangunan antara 1998 sampai 1999, izin IPPKH untuk kepentingan publik seluas 166,21 hektare, untuk kepentingan korporasi seluas 40.230,40 hektare. 

Untuk Kabinet Persatuan Nasional tahun 2000 sampai 2001, izin IPPKH untuk kepentingan publik seluas 1.328,07 hektare dan untuk kepentingan korporasi seluas 31.894,85 hektare. Pada era Kabinet Gotong Royong tahun 2002 sampai 2004, izin IPPKH untuk kepentingan publik seluas 43,81 hektare dan untuk korporasi seluas 1.120,08 hektare. 

Pada era Kabinet Indonesia Bersatu tahun 2005 sampai 2014, izin IPPKH untuk kepentingan publik seluas 20.104,26 hektare dan untuk korporasi seluas 287.744,15 hektare. Pada era Kabinet Kerja tahun 2015 sampai 2018, izin IPPKH untuk kepentingan publik seluas 10.036,57 hektare dan untuk korporasi seluas 130.789,12 hektare.

Yang dimaksud 'untuk kepentingan publik' meliputi untuk jalan umum, sumber daya alam/bendungan, telekomunikasi, pertahanan dan keamanan, antariksa, religi, fasilitas umum, dan bencana alam. Yang dimaksud 'untuk korporasi' meliputi untuk jalan non umum, industri, ketenagalistrikan, panas bumi, migas, batubara, logam mulia dan logam lainnya, serta galian C.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun