Mohon tunggu...
Ricky Pramaswara
Ricky Pramaswara Mohon Tunggu... Guru - Guru dan Aktivis

Sebaik-baiknya perlawanan adalah menahan diri melawan diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Peran Literasi dalam Menangkal Hoaks

31 Oktober 2017   16:21 Diperbarui: 31 Oktober 2017   16:30 1042
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masih ingat berita tentang adanya garam dapur yang mengandung pecahan kaca? Atau adanya informasi bahwa kantong teh celup ternyata beracun? Pastinya para pembaca kaget dan bertanya-tanya, apakah benar informasi tersebut? Tentu, tak sedikit pula pastinya yang akan mencari kebenaran informasi tersebut. Namun, berapa pula jumlah orang yang abai terhadap informasi tersebut?

Kedua berita tersebut sempat menghidupkan suasana ketegangan di masyarakat kita. Tak sedikit pula timbulnya rasa saling curiga sebagai imbas dari gesekan yang terjadi di masyarakat. Beberapa produsen kedua jenis produk sempat mengalami kemadekan produksi karena berkembangnya ketidakpercayaan masyarakat.

Padahal, setelah ditelusuri, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa tidak ada kandungan kaca dalam garam dan tak beracun pula kantong teh celup. Kedua berita tersebut adalah hoaks. Lantas, sebenarnya apa itu hoaks?

Hoaks adalah usaha untuk menipu atau mengakali pembaca/pendengarnya untuk mempercayai sesuatu, padahal sang pencipta berita palsu tersebut tahu bahwa berita tersebut adalah palsu. Salah satu contoh pemberitaan palsu yang paling umum adalah mengklaim sesuatu barang atau kejadian dengan suatu sebutan yang berbeda dengan barang/kejadian sejatinya. Suatu pemberitaan palsu berbeda dengan misalnya pertunjukan sulap; dalam pemberitaan palsu, pendengar/penonton tidak sadar sedang dibohongi, sedangkan pada suatu pertunjukan sulap, penonton justru mengharapkan supaya ditipu (Abner, dkk., 2017).

Pada kasus hoaks, berita yang disampaikan seolah-olah benar terjadi. Pembaca akan dengan mudah percaya setelah membaca judul yang membuatnya penasaran. "Terlalu, Garam pun Diolpos Kaca", judul berita tersebut sempat menghiasi salah satu surat kabar di Lamongan, Jawa Timur, Agustus lalu. Isi berita yang seolah menunjukkan fakta, diawali dengan situasi krisis garam yang terjadi. Imbasnya, berita itu pun tersebar, dan masyarakat mulai resah.

Selain di surat kabar, wadah yang paling subur bagi berkembangnya hoaks adalah media sosial. Kecepatan informasi hari ini berbanding terbalik dengan kecermatan dalam menelusuri informasi yang didapat. Rasa ingin tampil dan menjadi yang paling menonjol semakin memperparah situasi. Tidak perlu tepat, yang penting cepat. Itulah pola pikir yang sepertinya mulai menyergapi masyarakat kita.

Semakin tidak cermatnya seseorang dalam menerima informasi, semakin cepatlah kerugian yang akan ditimbulkan. Jika awalnya hanya timbul ketidakpercayaan dalam masyarakat, maka situasi terparah dalam penyebaran hoaks adalah adanya kebencian dalam diri masyarakat. Kebencian yang sedikit demi sedikit akan menimbulkan perpecahan.

Faktanya, kini masyarakat kita sedang dalam kondisi terparah akibat hoaks. Ketegangan dan kebencian yang disulut oleh isu-isu sensitif seperti SARA, nyatanya menjadikan masyarakat kita berjarak satu sama lain. Tidak semua memang, namun karena nila setitik rusak susu sebelanga, hanya karena kesalahan dari sebagian kecil masyarakat kita, akan membuat seluruh tatanan kehidupan masyarakat kita yang sudah baik menjadi rusak.

Kerusakan yang terjadi akan semakin parah, jika kerusakan tersebut terjadi sejak dari generasi penerus bangsa, yaitu pelajar kita. Sebagai generasi yang dijadikan sasaran untuk mewujudkan misi generasi emas 2045, pelajar memiliki peran sentral dalam menyikapi dan mencegah timbulnya kerugian dari hoaks.

Salah satu kendala yang dimiliki oleh pelajar kita adalah gagap literasi. Jika dulu ada ungkapan gagap teknologi, maka kini setelah teknologi menjadikan apa yang sering kita lakukan menjadi serba cepat, kita lupa akan budaya yang melekat sejak lama; literasi.

Sering pelajar kita ingin mengambil langkah cepat dalam menyikapi apa yang dihadapinya. Tak terkecuali dalam proses belajarnya. Tidak sedikit ketika mengerjakan tugas, pelajar kita mengandalkan mesin penelusur googleatau lainnya untuk mendapat informasi. Namun, tingkat pemahaman atas apa yang mereka dapatkan masih diragukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun