"Saking banyaknya istilah Jepang yang digunakan dalam Karate, artinya perlu paham betul terkait makna dan bagaimana penggunaannya dengan tepat."
Jika disebut satu nama aktor kelas dunia, Jean Claude Van Damme, tentu akan membawa kita ke sebuah momen masa silam ketika menonton film laga yang dibintanginya, seperti Bloodsport dan Street Fighter. Ketrampilan beladiri yang memukau dan aksi keren di setiap film yang dibintanginya, membuat kita menerka-nerka beladiri apa yang ditekuni olehnya. Jean Claude Van Damme adalah seorang karateka, tepatnya ia menekuni karate dengan aliran shotokan.
Van Damme menjadi salah satu aktor laga idola saya. Banyak hal yang dilakukan olehnya sehingga menginspirasi saya untuk juga menekuni beladiri karate, beladiri asal Jepang ini. Melalui karate, saya belajar banyak hal, bukan hanya tentang ketrampilan beladiri itu sendiri, namun juga tentang filosofi hidup, dan bahkan tentang budaya Jepang. Sudah hampir delapan belas tahun saya menekuni beladiri ini. Banyak hal menarik saya temui, mulai dari bagaimana menjalin silaturahmi dengan karateka-karateka antar perguruan, silaturahmi melalui pertandingan, hingga fenomena-fenomena lucu yang saya temui. Belajar karate yang notabene berasal dari Jepang dengan segala istilah Jepang, memang perlu pemahaman yang tepat, jangan sampai tidak tahu arti sehingga kurang tepat dalam penggunaannya.
Fenomena Sebutan untuk Pelatih
 "Ada beberapa sebutan untuk pelatih dalam karate. Sebutan itu disesuaikan dengan tingkatan sabuk hitam (DAN)."
Dalam karate sebutan pelatih ada beberapa macam. Sebutan itu berdasarkan tingkatan sabuk hitam (DAN) yang disandang. Ada sebutan Senpai, Sensei, hingga Sihan. Kali ini yang menjadi sorotan untuk dibahas adalah sebuah fenomena lucu yang sering terjadi ketika memanggil pelatih saat berinteraksi dalam latihan dengan sebutan-sebutan itu. Saya seringkali tertawa kecil jika ada yang memanggil dengan tidak lengkap. Misalnya panggilan senpai, hanya ujungnya saja, "Pai". Sepertinya akulturasi budaya juga memengaruhi hal ini, sehingga ada hal yang juga tak kalah lucu, sebutan Senpai berubah menjadi lebih sederhana, hanya ujungnya saja, "Pe", "Mpe"(Dari Simpe, bukan Senpai). Saya berfikir, "Apa karena di Jawa ya, jadi sukanya menambahkan huruf M di depannya, seperti Bandung menjadi Mbandung, Banjar menjadi Mbanjar". Kalau panggilan Sensei, jadi "Sei".
Sebutan antara murid kepada pelatih dan juga antar pelatih dengan pelatih lainnya yang hanya ujungnya saja selalu berhasil menghadirkan gelak tawa. Ada yang memanggil, "Pe" lalu ada yang merespon, "Memangnya saya ikan pe, hahahaha!" ada lagi yang melalui whastapp mengirim pesan, "Terimakasi Mpe, Ossu!" responya, "Memangnya saya cempe (istilah anak kambing dalam Bahasa Jawa." Â Tidak ada yang sakit hati, hanya saja semua akan memperbaiki diri dalam melakukan penyebutan ini.
Dalam kesempatan lain, saya mencoba menanyakan kepada salah seorang sahabat yang merupakan Dosen Pendidikan Bahasa Jepang di Universitas Negeri Semarang, Dany Buyung Yudha Prasetya, saya biasa memanggilnya Mas Buyung. Mas Buyung memberikan tanggapan bahwa hal ini terjadi karena adanya upaya penyederhanaan, terlebih jika dilihat dari kebiasaan Orang Jawa. Satu hal yang penting dalam penyebutan ini haruslah lengkap karena jika tidak maknanya menjadi berbeda. Lalu, dalam penyebutannya yang benar adalah nama orangnya terlebih dahulu baru diikuti sebutan pelatih dalam istilah Jepangnya.
Nah, dari sini saya mendapatkan pencerahan, bahwasannya ketika saya memanggil pelatih dengan sebutan Bahasa Jepang di dalam olahraga beladiri karate, harus lengkap dan tepat agar tidak bermakna lain. (prp)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI