"Kusut aku Wi, Si Abang cengengnya poll, bangun tidur nangis, mainan direbut adiknya nangis, disuruh mandi nangis, apalagi kalau permintaannya ditolak, nangisnya sudah ngalahin pemain drama, mau jadi apa anak laki cengeng?" keluh teman ku.
Anak menangis adalah hal yang wajar. Bahkan ketika bayi baru lahir tidak menangis, dokter akan berjuang seribu satu cara agar si bayi segera menangis.Â
Tangisan bayi juga merupakan satu-satunya cara yang dapat ia lakukan kala merasa tidak nyaman. Tidak heran seorang ibu akan segera bereaksi memberikan susu, atau memeriksa popok, atau bahkan meneliti sekitar tempat tidur, jangan-jangan ada nyamuk nakal yang mengganggu kenyamanannya.
Tapi akan beda ceritanya ketika anak balita, yang sudah dapat berbicara, memilih tangisan sebagai satu-satunya cara mengungkapan keinginan atau perasaannya.Â
Mengapa anak memilih tangisan sebagai satu-satunya cara dalam mengungkapkan keinginan atau perasaanya?
- Anak belum mampu mengungkapkan apa yang ia ingin atau rasakan
Menangis, adalah cara pertama yang dikuasai anak untuk mengirim tanda bahwa ia merasa tidak nyaman atau membutuhkan sesuatu saat bayi.Â
Seiring bertambahnya usia, anak mulai dapat berbicara menyampaikan apa yang ia butuhkan, namun mengungkapkan apa yang dirasa, terlebih mengungkapkan emosi lewat kata-kata ternyata bukanlah hal yang mudah bagi anak.
Terlebih jika anak tidak terlatih dalam mengenali perasaannya sehingga yang ia tahu hanya rasa tidak nyaman yang bergejolak dan siap untuk meledak dalam tangisan.Â
Rasa tidak nyaman apa saja yang membuat anak menangis? Rasa lelah, lapar dan haus, kepanasan atau kedinginan, takut, sakit, stimulasi berlebihan (seperti suara terlalu keras) dan sebagainya adalah contoh situasi yang membuat anak menangis.
- Pola asuh yang keliruÂ
Situasi menjadi semakin buruk ketika orang tua atau pengasuh yang melihatnya menangis memberikan respon negatif seperti bentakan atau menjulukinya dengan cengeng, sehingga anak semakin kesal dan tambah sulit menyampaikan apa yang dia ingin atau rasakan.Â
Atau sebaliknya, orang tua atau pengasuh malah mengabaikan dan membiarkannya menangis berkepanjangan, dan akhirnya anak menemukan "kenyamanan" menuangkan gejolak lewat tangisan.
- Anak mendapati bahwa menangis adalah senjata ampuh
Ketika permintaan atau keinginannya ditolak, tentunya anak merasa tidak senang bahkan marah. Menangis merupakan salah satu cara meluapkan emosi tersebut. Saat anak menangis, ada orang tua yang menjadi luluh dan memberikan apa yang tadi diminta.Â
Ketika kejadian ini berulang dengan respon yang sama dari orang tua, anak akan sampai pada kesimpulan bahwa tangisan dapat memberikan apa yang diinginkannya.Â
Apa yang harus dilakukan agar anak tidak menggunakan tangisan sebagai satu-satunya cara mengungkapkan keinginan atau perasaannya?
- Latih anak mengenali dan menyampaikan apa yang dirasa
Hal ini bisa kita lakukan dengan banyak cara, seperti membacakan cerita. Lalu ajukan pertanyaan terkait kejadian dalam cerita, kira-kira apa yang dirasakan oleh tokoh cerita tadi. Mengapa demikian? Dan sebagainya.
Atau bisa juga lewat permainan emoji, ajak anak memahami makna ekspresi tiap emoji. Bacakan sebuah situasi misal "Lala kehilangan boneka" lalu ajak anak memilih emoji yang sesuai untuk Lala.Â
- Berempati terhadap situasi yang anak hadapi
Pernahkah mengalami situasi yang buruk? Â Lalu semua orang disekitar acuh tak acuh, apa yang dirasa? Kalau tidak malu mungkin kita sudah menangis atau setidaknya berteriak meluapkan kesal. Status sebagai manusia dewasa saja yang pada akhirnya membuat kita mengendalikan diri.Â
Namun balita tentunya berbeda. Mereka tidak punya beban sebagai manusia dewasa yang harus menahan emosi, sehingga ketika situasi buruk terjadi dan tidak ada yang peduli, mereka akan dengan mudah meluap, menangis dan berteriak.Â
Ketika ada sebuah situasi yang tidak menyenangkan, misal anda tengah mengajak anak berbelanja di cuaca yang sangat panas dan melihat keringat anak bercucuran, berilah respon seperti "Adek kepanasan ya? Sini mama lap keringatnya.. Sebentar ya Nak, mama percepat pilih buahnya. Setelah ini kita pulang dan tidak kepanasan lagi..."
Sentuhan fisik, pelukan, suara lembut, adalah alternatif cara yang dapat membantu anak mengendalikan gejolak emosinya.
- Bersikap tegas ketika anak menggunakan tangisan sebagai senjata
Anak adalah pengamat ulung. Mereka dengan cepat mencatat respon orang tua terhadap sebuah situasi. Jadi jika kita segera menyerah ketika anak menangis dalam memaksakan kehendak, anak akan segera mencatat dan mengulanginya lagi ketika situasi yang sama muncul.
Kita perlu dengan tegas menyampaikan kepada anak tentang apa yang boleh dan tidak, lengkap beserta alasannya. Misal ketika anak memaksa dibelikan es krim padahal sedang flu, kita dapat sampaikan "Adek mau es krim ya? Mama juga suka es krim, tapi adek sedang flu. Kalau minum es nanti hidungnya makin tersumbat. Kalau sudah sembuh kita kesini lagi beli es krim..." Hari ini roti saja mau? Atau susu?Â
Kalau anak tetap memaksa dan menangis, kita tetap pada penawaran semula. Roti, atau susu, atau tidak sama sekali.
Cara di atas hanya sebagian dari banyak cara yang dapat kita terapkan dalam menghadapi ledakan emosi anak. Semoga beberapa tips di atas dapat membantu orang tua mengatasi situasi sulit tanpa ikut terbawa emosi. Perlu diingat, masa kecil mereka sangatlah singkat, kenangan akan berbagai situasi di masa kecil inilah yang akan menentukan kualitas hubungan anak dan orang tua kelak di kemudian hari.
https://sigap.tanotofoundation.org/yuk-kenali-alasan-anak-gampang-menangis-atau-cengeng/
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI