Ketika para negosiator Eropa masih duduk di meja perundingan di Geneva untuk menghindari konfrontasi nuklir baru, Presiden Amerika Serikat Donald Trump memutuskan menyerang tiga situs nuklir Iran. Tindakan ini dilakukan hanya dua hari setelah tenggat dua minggu yang ia tetapkan sendiri, dan mengejutkan banyak pihak termasuk para sekutu Amerika Serikat di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Serangan ini tak hanya membuka babak baru dalam konflik Iran-Israel, tapi juga mengguncang legitimasi diplomasi global yang tengah dijalankan.
Langkah AS: Dari Diplomasi ke Intervensi Militer
Presiden Trump menyatakan bahwa serangan terhadap tiga fasilitas nuklir utama Iran dilakukan demi "menghilangkan ancaman langsung terhadap keamanan Israel dan sekutu Amerika Serikat". Target serangan termasuk kompleks bawah tanah Fordow, fasilitas pengayaan uranium Natanz, dan pusat teknologi nuklir di Isfahan. Padahal, hingga malam sebelum serangan, para diplomat Jerman, Perancis, dan Inggris masih melangsungkan negosiasi teknis dengan utusan Iran, dan berharap dapat menurunkan suhu konflik yang meningkat akibat ketegangan Israel-Iran.
Amerika Serikat berdalih bahwa serangan tersebut merupakan bentuk dari hak bela diri kolektif sesuai Pasal 51 Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), karena Iran dianggap secara tidak langsung menyerang Israel melalui kelompok proksi seperti Hezbollah dan milisi Houthi. Namun banyak analis hukum internasional menyangsikan legitimasi klaim ini, karena tidak ada mandat Dewan Keamanan PBB atau keputusan kolektif dari NATO yang menyertai serangan tersebut.
Respons Iran dan Israel
Iran mengecam keras tindakan Amerika Serikat, menyebutnya sebagai "agresi terang-terangan terhadap kedaulatan" dan menyatakan bahwa serangan tersebut merupakan deklarasi perang. Dalam pernyataannya, Ayatollah Ali Khamenei menuduh Amerika Serikat dan Israel mencoba menghancurkan Iran secara sistematis. Iran merespons dengan meluncurkan drone dan rudal ke instalasi militer Amerika Serikat di Irak dan menutup akses Selat Hormuz.
Israel, di sisi lain, menyambut serangan tersebut sebagai keberhasilan diplomasi militer. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu menyatakan bahwa "dunia telah menunjukkan bahwa Iran tidak akan diizinkan mengembangkan senjata nuklir." Para pengamat menyebut bahwa Israel mendorong Amerika Serikat agar segera bertindak karena kekuatan udara Israel sendiri dianggap tidak memadai untuk menghancurkan bunker Fordow yang terletak jauh di bawah permukaan tanah.
Sikap Eropa: Kekecewaan dan Ketegangan Internal NATO
Uni Eropa, khususnya Jerman dan Perancis, menyatakan kekecewaan mendalam atas tindakan sepihak Amerika Serikat. Menteri Luar Negeri Jerman menyatakan bahwa "serangan tersebut memperlemah posisi negosiator dan mencederai proses damai yang sedang dijalankan." Meski tidak mengeluarkan sanksi terhadap Amerika Serikat, para pemimpin Eropa menyerukan agar semua pihak menahan diri dan kembali ke meja perundingan.