Mohon tunggu...
Pratiwi S Tamrin
Pratiwi S Tamrin Mohon Tunggu... Dosen - Bolang

Tiwi is an English lecturer in UTS. She says : Writing is the best way to be immortal.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Benarkah Perempuan Telat Menikah karena Pendidikan yang Tinggi?

20 Agustus 2019   15:26 Diperbarui: 20 Agustus 2019   15:50 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Benarkah Perempuan Telat Menikah Karena Pendidikannya yang Tinggi?

Come on, kita tidak hidup di zaman Batu. Bahkan zaman generasi ketiga setelah Muhammad S.A.W. di utus alias zaman tabi'in kita mengenal perempuan-perempuan penghafal hadits dan kitab-kitab  menikah dengan laki-laki yang terlihat biasa saja. perempuan-perempuan hebat tersebut diantaranya adalah pendiri universitas pertama di dunia yang terletak di Afrika Utara, Maroko. Apakah karena dia berhasil mendirikan Universitas pertama dan tertua di dunia, statusnya berubah menjadi kepala keluarga? Tidak!. Tetap suaminya menjadi kepala keluarga.

Di Arab Saudi adalah hal yang lumrah bagi perempuan untuk memiliki gelar pendidikan S2 hingga S3 dan mereka bekerja di sector domestic (ibu rumah tangga) atau sector public. Again, apakah mereka ditakuti karena pendidikannya?. Tidak! Mungkin kata yang lebih tepat adalah disegani. Atau tergantung orang yang mempersepsikan perempuan berpendidikan tinggi tersebut. Dan dengan pendidikan mereka setinggi itu. apa mereka ditakuti dan telat menikah? perempuan dan wali perempuan, melihat kesungguhan laki-laki. itu normal. siapa yang berani memperjuangkan silahkan maju. jika tidak mungkin belajarhlah dan cari yang lebih cocok dengan hati anda.

Perempuan perlu berpendidikan bukan untuk menyaingi suaminya kelak. Tetapi untuk mendidik anak-anaknya.  Dibutuhkan bukan hanya sekedar kesabaran dan ketelatenan untuk mendidik generasi melenial, yakni ilmu yang matang serta pribadi ibu yang dewasa. Untuk mendapatkan sosok ibu yang matang, tentu bukan proses yang mudah. Perempuan itu telah melalui beberapa kerikil dalam hidupnya, yang paling minimal adalah bullyng di sekitar lingkungan hidupnya, lingkungan pertemanan misalnya.

Kata salah seorang ulama, "anak itu dididik dua puluh tahun sebelum dilahirkan" artinya menurut para sebagian penafsir "ibunya dulu yang perlu dididik. Watak ibunya yang perlu diperbaiki dan diluruskan" setelah perempuan tersebut menikah tentu tanggungjawab pendidikan istri ada di tangan suaminya. Pun mengikut tanggung jawab pendidikan anak-anak ada di tangan suami. Istri mengikut suami, tentunya.

Perempuan berpendidikan bukan pula untuk menyaingi penghasilan atau gaji suaminya. Menurut saya naif sekali jika mengatakan perempuan berpendidikan tinggi untuk menyaingi penghasilan suami apalagi menghidupi anak-anaknya . Lah, apa gunanya perempuan menikah?!

Tetap saja perempuan berpendidikan tinggi, sebenarnya mengisi waktu dalam masa penantian. Rerata perempuan yang pernah saya tanya tidak mahu rugi dua kali. Maksudnya, jika belum dilamar dia tak akan mau mengabiskan waktu untuk ber-marshmellow dengan kesendirian dan rutinitas kerja yang itu-itu saja, ya jawabannya adalah studi lanjut lagi. Karena hanya belajar yang bisa melepas dahaga perempuan-perempuan terdidik. 

Again, jangan pernah salah sangka ketika perempuan berpendidikan tinggi maka otomatis kita akan berpenampilan mentereng dan dapat gaji wah serta penghasilan wah. Berpendidikan tinggi hanya untuk memenuhi hobbi. Adapun rezeki Allah yang ngatur. Pun, tidak semua orang yang berpendidikan tinggi bergaji wah. Dosen misalnya, jarang yang tahu dosen itu pengabdian. Kalau mau kaya dan tidak bisa tahan banting dengan tuntutan ngajar, penelitian, dan pengabdian masyarakat, ndak usah jadi dosen. Gajinya cuman se-iprit. Apalagi gaji dosen yang berada di pelosok. 

Beberapa dosen lulusan universitas kenamaan seperti sekelas UI, UGM, ITB, IPT, sekelas LUND di Swedia, Stanford di USA, UKM Malaysia, Kyoto di jepang, dan universitas kenamaan Korea memilih mengabdi di pelosok. Apa yang mentrigger atau memicu mereka memilih karir di pelosok negeri? Tidak ada yang kita bawa setelah mati kecuali amal jariyah membuat generasi bangsa terdidik merata dari sabang sampai merauke. 

Apakah mereka berasal di daerah yang dekat dengan lokasi universitas tempat mereka mengajar? Tidak mereka berasal dari kota-kota metropolitan, datang ke pelosok negeri untuk mewujudkan pemerataan pendidikan bukan dengan mulut. Tetapi dengan tangan dan kaki yang bekerja dan pikiran yang jernih untuk mencerdaskan kehidupan anak-anak pelosok negeri.

Mari kita lihat kenyataan, anda tahu Anies Baswedan?. Pernahkah anda sedikit kepo siapa ayah dan ibu Anies Baswedan? Ibunya seorang Professor. Secara kepangkatan akademik ibunya lebih tinggi dari ayahnya. Namun tetap ibu ya ibu, ayah ya ayah. Di gelar ibu dan ayah ada hak dan tanggungjawab. Ada proses take and give. Anies dilahirkan dari ibu yang hebat sehingga bisa menjadi pemimpin yang hebat seperti sekarang ini, ayahnya pastilah seorang pendidik yang ulung karena bisa melahirkan pemimpin yang mendunia. Pemimpin yang menurut salah satu majalah Jepang, dalam dua puluh tahun ke depan Anies diprediksi menjadi salah satu orang yang paling berpengaruh di dunia.

Pertanyaan saya sekarang, apakah karena pendidikannya yang tinggi perempuuan telat menikah? Atau karena kesibukannya perempuan telat menikah? Pertanyaan ini sebenarnya harusnya ditujukan ke laki-laki apa rela mendidik istri yang kelihatannya secara sosial lebih tinggi statusnya tetapi hakikatnya dia hanya perempuan? Perempuan yang ditakdirkan untuk dipilih. Perempuan yang ditakdirkan untuk menjadi partner laki-laki. Apa siap dengan segala konseskuensinya? Karena pada dasarnya tanpa kriteria sholehah pun perempuan yang berakal pasti paham secara naluriah laki-lakilah yang menjadi pemimpin, tentu saya meng-exclude pejuang feminisim.

Dalam pembicaraan kali ini, justru saya ingin bertanya balik. Apa laki-laki milenial sekarang ketakutan mengambil komitmen?. Terlalu menunda-nunda mengambil peran menjadi suami dan ayah serta beralasan dengan ketidaksiapan mental? Hanya laki-laki yang tahu jawabannya.

Tentu terlapas dari pilihan laki-laki yang bisa memilih perempuan muda, kaya dan lebih menarik. Itu naluriah. Itu normal. Munafik jika laki-laki tidak memilih perempuan muda dan lebih kaya. Setiap orang memiliki prinsip, kriteria dan standar masing-masing dalam memilih pasangan hidup. Di tahap awal, masing-masing dari kita tidak ada yang benar-benar yakin seratus persen. Pasti ada keraguan yang menghinggapi namun keyakinan biasanya mengalahkan keraguan tersebut.

Akhirnya, kita sadar seutuhnya bahwa semua memiliki konsekuensi dan resiko masing-masing yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan pencipta semesta nantinya. Last but not least, setelah manusia mengambil bagian dengan cara berusaha dan berdoa, takdir Allah selalu penentu setiap masalah. Lima puluh ribu tahun sebelum alam semesta diciptakan. Yang bertakdir tak akan lewat dan yang tidak ditakdirkan pasti lewat. Kamu sudah siap? Mulailah dengan bismillah dan keyakinan yang masih dibayangi keraguan, namun kalahkan dengan usaha dan doa. Yakin Allah tak akan menelantarkan hamnya yang menuju ke Dia dengan cara berjalan apalagi berlari. Semangat.         

 

Sumber: id.wikipedia.org/wiki/Aliyah_Rasyid

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun