Mohon tunggu...
Praditya Mer Hananto
Praditya Mer Hananto Mohon Tunggu... Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti Kriminogenik Urban dengan latar belakang Arsitek Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kriminologi Universitas Indonesia dan Damai Resolusi Konflik Universitas Pertahanan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Drakor The Devil Judge, No Viral No Justice: Saat Negara Abai dengan Hak dan Kewajiban Rakyat

17 Mei 2025   21:30 Diperbarui: 17 Mei 2025   21:30 291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Drakor The Devil JudgeI (Sumber: https://www.kompas.com)

Bayangkan jika setiap persidangan disiarkan langsung ke seluruh negeri, dan nasib terdakwa ditentukan oleh voting publik, bukan hakim. Inilah realitas fiksi yang ditawarkan oleh drama Korea The Devil Judge (2021). Berlatar di Korea Selatan versi distopia, drama ini menampilkan sosok Kang Yo-han, hakim yang karismatik sekaligus kontroversial, yang memimpin sidang layaknya acara realitas televisi. Para penjahat kelas kakap---koruptor, konglomerat, politisi busuk---dijatuhi hukuman bukan hanya melalui pembuktian hukum, tetapi juga lewat tekanan dari penonton yang menuntut keadilan instan. Di balik megahnya panggung persidangan rakyat itu, drama ini mempertanyakan: apakah keadilan yang viral benar-benar adil, atau justru bentuk manipulasi emosional publik?

Fenomena ini tak ubahnya cermin dari kondisi Indonesia saat ini, di mana kita semakin sering menyaksikan bahwa hukum hanya berjalan setelah sebuah kasus menjadi viral. Mulai dari kasus kekerasan di rest area, penganiayaan oleh aparat, hingga pelecehan seksual terhadap anak---semuanya mendapat perhatian dan tindakan serius setelah publik bersuara. Fenomena "No Viral, No Justice" menunjukkan gejala absennya negara dalam menjamin hak dan perlindungan hukum warganya. Seperti dalam The Devil Judge, keadilan di dunia nyata pun kerap tampil sebagai pertunjukan, bukan sistem yang berjalan mandiri. Pertanyaannya sekarang: apakah keadilan masih milik semua orang, atau hanya mereka yang mampu membuat suara mereka viral?

Fenomena "No Viral, No Justice" di Indonesia membuat kita merenung lebih dalam tentang bagaimana keadilan bekerja di era digital ini.

Mari kita ingat beberapa kasus yang mencuat. Pada Januari 2025, publik dikejutkan oleh penembakan terhadap Ilyas Abdurrahman, seorang pemilik rental mobil, yang tewas di rest area Tol Tangerang-Merak (Yanuar, 2025). Ia sempat meminta pendampingan polisi untuk mencari mobilnya yang dicuri, namun diabaikan. Baru setelah videonya tersebar, aparat mulai menindaklanjuti. Kita pun terhenyak melihat bagaimana respons datang bukan karena laporan resmi, tapi karena kegaduhan digital.

Kasus lain yang menyentuh nurani kita terjadi di Langkat, Sumatera Utara, awal 2024 (Yanuar, 2025) . Seorang anak perempuan berusia 7 tahun menjadi korban pencabulan oleh dua pria dewasa. Meski keluarga korban telah melapor sejak 11 Januari, penanganan polisi baru terlihat setelah kasus ini viral. Lagi-lagi, kita melihat bahwa suara masyarakat baru terdengar jika dibantu gema media sosial.

Saat kita menyaksikan bagaimana korban seperti Ilyas Abdurrahman, yang tewas ditembak di rest area karena polisi tidak merespons permintaan bantuannya, atau seorang anak kecil korban pencabulan di Langkat yang kasusnya diabaikan berbulan-bulan hingga akhirnya viral, kita sadar bahwa hukum seolah-olah hanya berjalan ketika masyarakat bersuara keras melalui media sosial. Dalam kondisi ini, ada beberapa teori sosial yang bisa membantu kita memahami akar masalahnya.

Pertama, kita bisa melihat kasus-kasus ini dari kacamata Teori Respons Sosial (Social Reaction Theory) yang dikenalkan oleh Howard Becker (Becker, 2022). Ia menyatakan bahwa penyimpangan dan respons sosial bukan semata hasil dari tindakan pelaku, tetapi dari cara masyarakat dan institusi meresponsnya. Ketika polisi atau jaksa baru bergerak setelah publik ramai memperbincangkan kasus di media sosial, kita melihat bahwa keadilan tidak digerakkan oleh prinsip hukum itu sendiri, melainkan oleh tekanan sosial. Jadi, viralitas bukan hanya media, tapi menjadi alat pemberi label atas mana yang layak diperhatikan. Kasus yang tidak viral dianggap "biasa" dan akhirnya terpinggirkan.

Selanjutnya, kita juga bisa mengaitkannya dengan Teori Agenda Setting, yang menyatakan bahwa media memiliki kekuatan untuk menentukan isu mana yang penting untuk diperhatikan publik (McCombs & Shaw, 1972). Dalam situasi kita, media sosial justru mengambil alih peran media konvensional dan memaksa aparat penegak hukum untuk menyusun "prioritas kerja" berdasarkan seberapa viral sebuah kasus. Kasus penganiayaan yang terjadi di Jakarta Timur oleh anak pemilik toko roti ternama, misalnya, baru ditindaklanjuti setelah netizen menggulirkan tekanan digital secara masif. Kita jadi bertanya, siapa sebenarnya yang menyusun agenda hukum: polisi, jaksa, atau para pengguna media sosial?

Yang tidak kalah penting adalah Teori Kepercayaan Institusional (Institutional Trust Theory), yang menjelaskan bahwa legitimasi institusi sangat bergantung pada kepercayaan publik (Luhmann, 2018). Di titik ini, kita harus mengakui bahwa kepercayaan terhadap sistem penegakan hukum sedang dalam krisis. Lembaga Survei Indonesia menunjukkan bahwa 86% masyarakat merasa perlu jalan lain untuk mencari keadilan ketika laporan resmi diabaikan (Putra, 2025). Artinya, kita tidak lagi sepenuhnya percaya bahwa hukum akan bekerja jika kita hanya diam dan mengikuti prosedur. Kita butuh suara ramai agar keadilan datang. Dan itu berbahaya, karena sistem hukum yang bergantung pada keramaian bisa menjadi diskriminatif terhadap korban yang tidak punya akses terhadap ruang digital.

Terakhir, kita juga bisa melihat fenomena ini dari kacamata Teori Konstruksi Sosial atas Realitas (Berger & Luckmann, 1967). Menurut mereka, realitas sosial dibentuk melalui komunikasi dan interaksi. Dalam kasus "No Viral, No Justice", media sosial membentuk persepsi kita akan mana yang darurat, mana yang penting, dan mana yang pantas diperjuangkan. Kita bersama-sama menciptakan realitas hukum versi media sosial, dan sering kali realitas itu lebih kuat dibanding dokumen laporan polisi atau proses hukum formal. Inilah yang membuat kasus Brandoville---perusahaan animasi yang diduga menyiksa pegawainya (Noviansah, 2024)---baru mendapat perhatian serius setelah narasi viral membentuk opini publik bahwa korban perlu dibela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun