Mohon tunggu...
Praditya Mer Hananto
Praditya Mer Hananto Mohon Tunggu... Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Peneliti Kriminogenik Urban dengan latar belakang Arsitek Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Kriminologi Universitas Indonesia dan Damai Resolusi Konflik Universitas Pertahanan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengangkat Beban Stereotype, Kim Bok Joo sang Kartini Perkasa

12 Mei 2025   21:57 Diperbarui: 12 Mei 2025   22:06 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Drakor Weightlifting Fairy Kim Bok Joo (sumber: https://www.viu.com/ott/id/articles/sinopsis-weightlifting-fairy-kim-bok-joo-episode-7/)

Dalam drama Korea Weightlifting Fairy Kim Bok Joo, kita disuguhkan dengan kisah penuh emosi tentang seorang perempuan muda yang berani menantang stigma dan ekspektasi sosial demi mengejar impiannya di dunia angkat besi—sebuah cabang olahraga yang sering kali dianggap terlalu maskulin bagi perempuan. Kim Bok Joo tidak hanya harus membuktikan kemampuannya sebagai atlet, tetapi juga menghadapi pertanyaan menyakitkan tentang jati diri dan femininitas yang sering dilabelkan oleh masyarakat. Di balik perjuangan fisiknya, terdapat perlawanan sunyi terhadap konstruksi gender yang membatasi, sebuah narasi yang sejalan dengan semangat emansipasi R.A. Kartini: bahwa perempuan berhak menentukan jalan hidupnya sendiri tanpa takut dicemooh atau dibatasi. Kisah Bok Joo menjadi cerminan nyata bahwa nilai-nilai yang diperjuangkan Kartini tidak hanya relevan sebagai bagian dari sejarah, tetapi juga hidup dalam setiap langkah perempuan yang menolak tunduk pada ketidakadilan, termasuk dalam konteks Indonesia masa kini, yang masih terus berjuang menuju kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan.  Bahwa perempuan berhak menentukan arah hidupnya sendiri, tanpa harus tunduk pada ekspektasi sosial yang diskriminatif. Jika kita kaitkan dengan situasi Indonesia hari ini, pemikiran Kartini masih sangat relevan sebagai pijakan perjuangan menuju kesetaraan gender di berbagai bidang kehidupan, mulai dari pendidikan, politik, ekonomi, hingga budaya populer.

Kalau kita tengok kembali gagasan Raden Ajeng Kartini sebagai pelopor emansipasi perempuan, kita bisa lihat bahwa ia menempatkan pendidikan sebagai kunci utama dalam perjuangan kesetaraan. Bagi Kartini, pendidikan bukan cuma soal menambah pengetahuan, tapi juga sebagai alat pembebasan perempuan dari belenggu tradisi yang membatasi peran mereka di masyarakat. Ia percaya bahwa pendidikan bisa mengangkat martabat perempuan, memberikan peluang yang setara dengan laki-laki, dan memperkuat posisi mereka dalam kehidupan sosial serta kebangsaan. Kartini juga dengan tegas menolak praktik poligami, yang ia anggap sebagai bentuk ketidakadilan gender yang menghambat kemajuan perempuan. Di sinilah letak pemikiran progresif Kartini---ia mencoba menyeimbangkan nilai-nilai tradisional Jawa dengan semangat modernitas Barat demi menciptakan masyarakat yang adil dan setara (Arifah & Novita, 2023). Pemikiran ini jelas masih relevan, karena meskipun perempuan kini punya akses pendidikan yang lebih luas, kita masih menyaksikan banyak tantangan seperti stereotip peran, kekerasan berbasis gender, dan ketimpangan dalam kepemimpinan.

Untuk memperjelas situasinya, mari kita lihat dua contoh nyata. Pertama, pada tahun 2024, pemerintahan Prabowo-Gibran memang mencantumkan penguatan kesetaraan gender sebagai program prioritas. Tapi sayangnya, kita belum melihat dampak signifikan. Bahkan, ada indikasi memburuknya kondisi kesetaraan gender. Ini terlihat dari ketimpangan anggaran yang cukup mencolok: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak hanya mendapatkan Rp300,65 miliar, sementara Kementerian Pertahanan menerima Rp165,16 triliun (Hidayahtulloh, 2024). Belum lagi isu seksisme dari pejabat publik yang makin sering muncul, dengan pernyataan yang merendahkan perempuan dalam konteks kampanye politik.

Kedua, di tahun 2025, walau berbagai upaya telah dilakukan, perempuan Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam mengejar kesetaraan gender dan kesejahteraan. Menurut data, Indeks Pembangunan Gender (Gender Development Index/GDI) Indonesia masih berada di angka 0,94 dari skala 0--1, yang menunjukkan adanya kesenjangan serius (timexkupang, 2025). Lalu, data dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024 menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan berusia 15--64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Di luar itu, ada juga tantangan soal gizi, penyakit tidak menular, kesehatan reproduksi, kematian ibu, serta kekerasan terhadap perempuan dan anak yang perlu kita atasi bersama.

Dalam esainya The Subjection of Women, John Stuart Mill (2007) berargumen bahwa "subordinasi hukum dari satu jenis kelamin terhadap yang lain adalah salah dengan sendirinya, dan merupakan salah satu hambatan utama bagi peningkatan manusia." Jadi, kalau kita pikirkan lebih dalam, ketidaksetaraan gender bukanlah hal yang alami, melainkan hasil dari struktur sosial yang memang menindas perempuan. Berangkat dari gagasan ini, kita sebagai generasi muda punya peran strategis dalam mendorong kebijakan publik yang lebih adil secara struktural. Ketimpangan anggaran antara Kementerian Pertahanan dan Kementerian PPPA menjadi salah satu indikator bahwa prioritas negara masih belum memihak perempuan. Kita bisa mulai dari hal-hal sederhana tapi berdampak: membuat petisi, membangun kampanye digital, dan aktif dalam dialog publik agar anggaran lebih berpihak pada pendidikan perempuan, perlindungan dari kekerasan, dan peningkatan peran perempuan dalam pembangunan.

Sementara itu, teori patriarki yang dikemukakan oleh Sylvia Walby (1990) juga membantu kita memahami bahwa ketimpangan gender tidak hanya terjadi dalam kebijakan, tapi juga tertanam dalam enam struktur sosial: rumah tangga, pekerjaan, negara, kekerasan, seksualitas, dan budaya. Artinya, kita perlu menyadari bahwa ketidaksetaraan bisa muncul di ruang paling privat seperti rumah, hingga ruang publik seperti kantor atau institusi negara. Karena itu, perlawanan terhadap patriarki bisa kita lakukan dengan mendorong lebih banyak perempuan masuk ke jabatan strategis, menantang narasi seksis yang kerap muncul dari tokoh publik, dan membangun budaya yang menjunjung kesetaraan di lingkungan kita---baik itu komunitas, sekolah, kampus, maupun tempat kerja. Kesetaraan bukan sekadar memberi ruang, tapi soal keberanian membongkar norma lama yang membenarkan subordinasi perempuan.

Lebih jauh lagi, teori interseksionalitas dari Kimberl Crenshaw (2023) mengajak kita melihat perjuangan kesetaraan gender secara lebih holistik. Ia menjelaskan bagaimana diskriminasi berdasarkan ras, kelas, gender, dan faktor sosial lainnya saling berkelindan dan menciptakan pengalaman ketidakadilan yang unik bagi setiap individu. Dalam konteks Indonesia, data SPHPN 2024 yang menunjukkan bahwa 1 dari 4 perempuan mengalami kekerasan seharusnya membuka mata kita untuk membangun solidaritas yang lebih luas. Kita tak bisa hanya memperjuangkan hak perempuan kelas menengah yang punya akses, tapi juga harus menyuarakan mereka yang berada di daerah terpencil, berasal dari kelompok minoritas, atau hidup dalam kondisi ekonomi sulit. Upaya ini bisa kita lakukan lewat edukasi publik berbasis komunitas, platform aduan yang inklusif, serta penggunaan media sosial untuk mengangkat suara-suara yang selama ini tak terdengar.

Dengan ketiga perspektif ini---Kartini, Mill, Walby, dan Crenshaw---kita bisa melanjutkan perjuangan emansipasi ke dalam bentuk yang lebih kontekstual dan menyentuh akar masalah. Bukan cuma tentang keinginan untuk belajar dan mandiri, tapi juga tentang keberanian untuk mengubah sistem sosial yang selama ini jadi penghambat utama kesetaraan. Di tengah pesatnya arus digital dan meningkatnya kesadaran kritis, kita sebagai generasi muda punya potensi luar biasa untuk mewujudkan cita-cita Kartini---yakni membangun kehidupan sosial, politik, dan budaya Indonesia yang lebih setara dan inklusif.

References

Arifah, N. K., & Novita, A. (2023). Pendidikan dan Nasionalisme Analisis Pemikiran Raden Ajeng Kartini Sebagai Pahlawan Emansipasi Perempuan. Kariman, 11(2), 314-323.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun