Di dunia yang penuh dengan intrik dan ketegangan, drama Korea Vincenzo di 2021 memberikan gambaran yang sangat jelas tentang bagaimana kekuatan yang tidak sah dapat memengaruhi dunia bisnis. Dalam cerita ini, Vincenzo, seorang pengacara sekaligus anggota mafia, kembali ke Korea untuk membalaskan dendam dan menghadapi kelompok-kelompok yang menggunakan kekuasaan mereka untuk memeras dan memanipulasi. Taktik intimidasi dan pemaksaan yang diterapkan oleh ormas-ormas kuat di dunia bisnis menggambarkan betapa rapuhnya iklim investasi ketika pengusaha terpaksa tunduk pada tuntutan yang tidak sah. Konflik yang terjadi dalam Vincenzo sejalan dengan apa yang terjadi di dunia nyata, di mana tekanan dari ormas dapat mengganggu stabilitas ekonomi, merusak kepercayaan investor, dan pada akhirnya menciptakan ketidakpastian yang dapat menghambat pertumbuhan sektor bisnis. Sebagaimana dalam Vincenzo, di dunia nyata pun, keberadaan kelompok yang memiliki kekuasaan besar dalam masyarakat sering kali menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi perkembangan investasi dan perekonomian.
Fenomena permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) secara paksa oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) kembali menjadi sorotan tajam di Indonesia pada tahun 2025. Salah satu kasus yang menonjol terjadi di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, ketika beberapa oknum ormas diketahui mendatangi pelaku usaha setempat untuk meminta THR dengan tekanan terselubung (CNBC Indonesia, 2025). Polres Pelabuhan Tanjung Priok, melalui Kapolres AKBP Martuasah H. Tobing, menyatakan bahwa praktik tersebut bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan telah masuk ke ranah pidana berupa pemerasan (Nasution, 2025). Pihak kepolisian menegaskan komitmennya untuk menindak tegas para pelaku, sesuai dengan arahan Presiden dan Kapolri yang meminta agar segala bentuk pemaksaan oleh ormas terhadap dunia usaha diberantas untuk menjaga iklim usaha yang sehat . Sementara itu di kawasan industri Jawa Barat, banyak pengusaha yang melaporkan dampak negatif dari tekanan ormas terhadap iklim investasi (Karina, 2025). Beberapa ormas diketahui melakukan aksi penyegelan dan demonstrasi, serta meminta bagian dari proyek-proyek industri yang sedang berjalan. Tindakan semacam ini, yang sering kali berupa pemaksaan atau permintaan uang "jatah," membuat investor merasa tidak aman dan enggan untuk melanjutkan atau memulai investasi mereka di kawasan tersebut. Akibatnya, kawasan industri tersebut mengalami kerugian yang signifikan, dengan nilai investasi yang dibatalkan atau dipindahkan ke daerah lain mencapai ratusan triliun rupiah. Hal ini jelas mengganggu kestabilan ekonomi lokal dan memperburuk reputasi kawasan industri di mata investor, yang mengharapkan iklim usaha yang lebih transparan dan bebas dari praktik pemaksaan.
Jika kita telisik lebih dalam, masalah ini bukan semata-mata soal kriminalitas biasa, melainkan bagian dari konflik nilai budaya yang berkembang menjadi masalah sosial. Di satu sisi, budaya patronase dan gotong-royong yang kuat dalam masyarakat Indonesia membuat sebagian orang menganggap permintaan semacam itu sebagai wajar, bahkan sebagai bentuk solidaritas komunitas. Di sisi lain, dalam kerangka hukum modern, praktik tersebut melanggar asas kebebasan berusaha dan dapat mengarah pada pemerasan.
Menggunakan pendekatan analisis SWOT, faktor-faktor internal seperti kehadiran organisasi kemasyarakatan (ormas) yang memiliki jaringan luas di masyarakat sebenarnya bisa menjadi kekuatan (Strength) besar dalam menjaga ketertiban dan keamanan lokal. Dengan budaya gotong royong dan solidaritas sosial yang kuat, kita bisa melihat bagaimana ormas berpotensi menjadi ujung tombak dalam menjaga keharmonisan di komunitas. Namun, kita juga harus menyadari bahwa di balik kekuatan ini, terdapat kelemahan (Weakness) yang cukup signifikan, yaitu kurangnya pemahaman hukum di kalangan anggota ormas mengenai batasan antara kontribusi sukarela dan pemaksaan. Ketergantungan sebagian ormas pada dana nonformal yang diperoleh melalui praktik pemaksaan juga menambah dimensi negatif, yang memperburuk citra mereka di mata masyarakat dan pihak berwajib.
Namun, kita masih memiliki peluang (Opportunities) besar untuk memperbaiki situasi ini. Salah satunya adalah melalui peningkatan kesadaran hukum yang lebih luas. Sosialisasi dan pendidikan kepada ormas serta masyarakat bisa menjadi langkah awal untuk memperjelas perbedaan antara kontribusi yang sah dan pemaksaan. Dengan adanya kerjasama antara pemerintah, aparat penegak hukum, dan ormas itu sendiri, kita memiliki peluang untuk membangun mekanisme kontribusi yang transparan dan legal. Meskipun begitu, kita juga harus waspada terhadap ancaman (Threat) yang mungkin muncul, seperti menurunnya kepercayaan investor dan pelaku usaha terhadap iklim bisnis di daerah yang rawan dengan praktik pemaksaan. Selain itu, jika penanganan terhadap ormas hanya dilakukan dengan pendekatan represif tanpa adanya dialog, kita berisiko menghadapi potensi konflik sosial yang lebih luas, yang pada akhirnya bisa memperburuk keadaan.
Untuk memahami dampak jangka pendek dan jangka panjang dari fenomena permintaan THR maupun "jatah" lain secara paksa oleh ormas terhadap individu, kelompok, dan masyarakat secara keseluruhan, kita dapat menggunakan Teori Disorganisasi Sosial yang dikembangkan oleh Clifford Shaw dan Henry D. McKay (Bruinsma & Weisburd, 2014). Teori ini menjelaskan bahwa ketidakstabilan sosial, lemahnya kontrol sosial informal, dan kurangnya kohesi komunitas dapat menyebabkan meningkatnya perilaku menyimpang dalam masyarakat. Menurut Shaw dan McKay, ketika struktur komunitas melemah---misalnya karena tekanan ekonomi, migrasi, atau ketimpangan sosial---maka norma dan aturan kolektif menjadi kabur, sehingga perilaku kriminal atau devian lebih mudah muncul dan bertahan.
Dalam konteks kasus ormas yang meminta secara paksa, dampak jangka pendek terhadap individu adalah timbulnya rasa ketakutan dan ketidaknyamanan dalam menjalankan aktivitas ekonomi. Bagi kelompok pelaku usaha kecil dan calon investor, tindakan semacam ini menimbulkan ketidakpastian dan menghambat pertumbuhan usaha lokal. Secara lebih luas, pada tingkat masyarakat, kejadian ini dapat merusak kepercayaan terhadap tatanan sosial dan hukum yang seharusnya melindungi semua warga negara secara adil. Sementara itu, dampak jangka panjang yang lebih serius adalah munculnya budaya permisif terhadap kekerasan simbolik dan intimidasi, di mana praktik-praktik tidak sah menjadi normal dan bahkan ditoleransi seperti yang dinyatakan oleh Wamenag Muhammad Syafii bahwa "permintaan Tunjangan Hari Raya (THR) oleh organisasi masyarakat (ormas) kepada pengusaha sudah jadi kebiasaan saat Lebaran di Indonesia" (Novrian, 2025). Ini memperparah disorganisasi sosial, memperluas jurang ketidakpercayaan antara kita, warga, kelompok, dan aparat negara, serta melemahkan fondasi ekonomi lokal karena investor enggan berinvestasi di daerah yang dinilai tidak aman secara sosial dan hukum. Jika tidak segera diatasi, siklus ini bisa memperbesar angka pengangguran, meningkatkan kriminalitas, dan menghambat pembangunan sosial-ekonomi di tingkat komunitas maupun nasional.
Berdasarkan analisis yang telah kita lakukan, solusi konkret untuk mengatasi masalah permintaan THR paksa oleh ormas bisa dengan membangun Program Pemberdayaan dan Edukasi Hukum Ormas secara terstruktur. Langkah-langkah implementasinya meliputi: (1) melakukan sosialisasi intensif tentang batasan hukum kontribusi sukarela dan larangan pemerasan, (2) melibatkan ormas ke dalam program tanggung jawab sosial perusahaan / Corporate Social Responsibility  (CSR) resmi sehingga kontribusi mereka menjadi legal dan transparan, (3) membentuk forum komunikasi rutin antara pemerintah daerah, pelaku usaha, dan perwakilan ormas untuk membangun saluran dialog yang sah, dan (4) memperkuat kapasitas aparat penegak hukum untuk menangani pelanggaran dengan pendekatan humanis tetapi tegas. Pihak-pihak yang perlu terlibat adalah Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian, Dinas Koperasi dan UMKM, asosiasi pengusaha, serta organisasi masyarakat sipil. Sumber daya yang dibutuhkan mencakup anggaran pendidikan dan pelatihan, sumber daya manusia untuk fasilitator hukum dan mediasi, serta platform digital untuk transparansi kontribusi dan pelaporan tindakan ormas.
Setelah penerapan solusi tersebut, kita berharap akan terjadi perubahan signifikan dalam interaksi antara ormas, pelaku usaha, dan masyarakat. Pemberdayaan ormas melalui edukasi hukum akan mengurangi praktik pemaksaan yang selama ini merugikan pelaku usaha, sekaligus meningkatkan pemahaman mereka tentang kontribusi sosial yang sah dan legal. Dengan adanya saluran komunikasi yang terbuka antara pemerintah, pengusaha, dan ormas, kita berharap tercipta iklim usaha yang lebih aman dan kondusif, yang dapat menarik lebih banyak investasi ke daerah. Di sisi lain, masyarakat akan semakin menghargai pentingnya hukum dan transparansi, serta memahami bahwa solidaritas sosial harus didasarkan pada prinsip keadilan dan bukan pemaksaan. Dalam jangka panjang, penerapan solusi ini akan mengurangi ketegangan sosial, memperkuat kohesi komunitas, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi lokal, karena ormas akan berperan positif dalam mendukung pembangunan dan bukan menghambatnya.
Referensi