Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Hitam Putih Hidup di Film “Siti”

1 Februari 2016   23:51 Diperbarui: 2 Februari 2016   13:28 695
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Adegan Bagas (kanan) mengajak Siti (kiri) menemaninya bermain layang-layang | Sumber : http://www.nyoozee.com/"][/caption]Hidup adalah pilihan. Kalimat yang sering sekali kita dengar. Kita sendiri yang menentukan nasib kita. Kita yang harus memilih untuk menjadi orang sukses, biasa saja, atau terpuruk. Kita menentukan, kita berusaha demi pilihan hidup dan cita-cita yang bagi banyak orang kota sebenarnya tingginya hanya sebatas gedung-gedung perkatoran. Berjuta opsi tersebar di seluruh penjuru dunia. Kita tinggal pilih, jalani dengan sungguh-sungguh dan mempersiapkan diri menjadi orang sukses.

Mudah memang mengatakan itu bagi kita dan mereka yang pondasinya memang sudah dirancang untuk tinggal mendekorasi hidupnya saja. Dengan cat yang indah, furniture yang mahal, bahkan kusen pintu rumah yang penuh ukiran. Kita tinggal memilih dari opsi yang sudah tersedia. Bukan mencari. Seperti soal pilihan ganda, bukan soal esai yang mengharuskan kita mengurai pemahaman.

Namun, bukan hal-hal itu yang diangkat oleh sang sutradara sekaligus penulis naskah Eddie Cahyono dalam film Indonesia berjudul “Siti”. Tak semua orang memiliki pilihan hidup sebanyak universitas-universitas dengan ratusan jurusannya yang ada di kota besar seperti Jakarta. Bukan motivasi yang banyak tertulis di buku biografi tokoh besar yang sering sekali menyebutkan bahwa dulu tokoh itu adalah tukang becak, penjual gorengan, supir atau apapun. Ia menampilkan realita kehidupan warga desa di pinggiran Kota Jogjakarta yang tak kunjung membaik karena pilihan hidup yang memang tidak banyak. Dibatasi oleh satu hal yang paling klise, kemiskinan. Hidup mereka adalah hari ini. Bukan masa depan yang terencana.

Kontradiksi

“Aku ki SMA yo rak lulus, piye meh dadi PNS. Dadi TKI yo jare angel. Ono pelatihanne barang.”[1] Ujar Siti dengan getir saat ibu mertuanya menyebut nama warga kampung yang sudah sukses dalam bekerja.

Dialog yang menunjukkan bahwa Siti hidup dalam kehidupan yang hitam putih seperti filmnya yang memang dibuat dengan layar hitam putih. Siti adalah tokoh utama film ini. Seorang wanita muda pinggiran. Hidup miskin di pinggiran Pantai Parangtritis. Tinggal bersama mertuanya, anaknya yang masih kelas satu SD, dan suaminya yang lumpuh. Kelumpuhan yang merenggut semua daya hidupnya dan Siti pun ikut menanggung beban.

Kisah pilu itu tidak hanya soal kelumpuhan suaminya yang hanya bisa terbaring di tempat tidur. Tapi juga hutang yang ditinggal suaminya. Kapal hasil berhutang yang digunakan suaminya melaut, hilang bersama kehidupannya. Kapal hilang namun hutang tetap ada. Siti hanya punya dua pilihan. Melunasi dalam 3 hari atau dilaporkan ke polisi. Dari situlah alur kehidupan film Siti mengalir. Penuh batu karang.

Siti digambarkan sebagai tokoh yang tegar. Dengan sabar ia merawat anaknya yang nakal, mengajarinya matematika, bermain layangan di pantai, dan bercanda soal hantu di sekolah. Dan yang paling menggetarkan perasaan adalah dengan sabar ia merawat suaminya, bercerita kehidupan sehari-hari, dan berusaha mengajak suaminya berbicara. Bagus, suami Siti tidak lagi bicara padanya sejak ia memilih pekerjaan sebagai seorang pemandu karaoke di sekitaran Parangtritis. Kehidupan malam wanita muda yang berusaha menyambung hidup dan membayar hutang. Klise. Memang, hanya itu pilihan Siti. Untuk menyambung hidup dengan menjual peyek jingkring dan undur-undur tentu bukan pilihan tepat.

Sampai pada saat seorang polisi ganteng bernama Gatot jatuh hati pada Siti. Tak banyak adegan percintaan mereka. Karena memang Siti hanya bermain dengan kebimbangan hatinya. Bimbang antara kehidupan menyenangkan jika hidup bersama polisi ganteng yang masih sehat, dan cinta yang tak nampak namun sangat besar pada suaminya yang lumpuh. Hingga pada akhir cerita Siti akhirnya harus memilih.

Tentu semua pilihan ada hasilnya. Dan dalam alur seperti itu tidak ada istilah putri yang bahagia. Cerita Siti dimulai dengan kepiluan dan berakhir kembali dengan kepiluan Siti di hadapan ombak Parangtritis. Kontras dengan warna-warni Parangtritis di akun-akun Instagram.

Film dengan dialog boso jowo ini bagi saya pribadi begitu membekas. Bukan soal teknik dan efek teknologi yang canggih, namun soal cerita yang dibawakan. Ceritanya mengalir tanpa putus seperti adegan yang memang banyak dibuat panjang tanpa putus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun