Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

HAM, Menyuarakan Lagi Ingatan

13 Desember 2015   21:22 Diperbarui: 13 Desember 2015   21:22 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Berbicara mengenai penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di negara kita tercinta ini memang sama dengan membicarakan mahasiswa dan tugas-tugas kuliahnya. Menumpuk. Banyak yang harus deselesaikan. Tentu saja sebelum deadline.[caption caption="Pemenang Kehidupan, Karya Adrian Mulya "][/caption]

Sorotan yang paling terang tentu soal kasus-kasus HAM masa lalu. Di mana kronologinya sebenarnya mirip-mirip. Yaitu, ketika ada orang atau sekelompok orang yang berjuang menegakkan hak-hak yang dirampas atau tidak diberikan (beragama, kemanusiaan, persatuan, bermasyarakat, dan keadilan sosial), malah hak asasi utama mereka dirampas. Hak hidup. Dibunuh, disiksa, dan dihilangkan.

Pertanyaan siapa yang bertanggung jawab dan bagaimana menyelesaikannya, hingga sekarang masih tertutup pagar-pagar betis oligarki pemilik kepentingan. Hanya diekstrak berupa janji-janji. Kan memang benar ungkapannya, kalau gak janji gak menang. Bukan, kalau gak menepati janji, gak lanjut dua periode. Ibarat cinta, cinta mereka hanya mampir di pinggir jalan, mimbar-mimbar, dan ruang debat televisi.

50 tahun telewati. Geger 1965 masih saja menyisakan kepedihan bagi mereka yang memiliki hubungan. Tetapi, alih-alih sesegera mungkin diselesaikan, perbincangan mengenai hal itu selalu menimbulkan polemik. Dianggap membuka luka lama yang sebenarnya jika semakin lama ditutupi akan semakin busuk dan harus diamputasi.

Bagai sampah-sampah di TPU, pelanggaran HAM malah semakin bertambah dan menumpuk. Semakin banyak, menyebabkan semakin enggan menyelesaikannya. Kasus lain seperti Tanjung Priok, Talangsari, Penembak Misterius, Penghilangan Paksa 1997-1998, Kerusuhan Mei 1998, Marsinah, Munir, hingga yang terbaru aktivis tambang pasir di Lumajang, Salim Kancil, terus bermunculan dan tak juga jelas ujung perkaranya.

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah saat masyarakat mulai melupakan bahwa hal-hal itu pernah ada. Tidak peduli dan sibuk dengan dirinya masing-masing. Sekedar belajar dan mencoba untuk tahu pun enggan. Saat itulah, generasi-generasi mendatang hanya akan tahu sejarah Indonesia saat masa kolonial. Setelah merdeka? Indonesia dianggap tenang-tenang saja.

Rekoleksi Memori

Untuk mencegah hal itu, Komnas HAM dan para pendukung lainnya menggelar serangkaian acara untuk sekedar memungut kembali ingatan dan kenangan akan pelanggaran HAM masa lalu bangsa ini. Sebuah museum temporer bertajuk “Museum Temporer Rekoleksi Memori” dibangun di halaman Gedung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki selama tanggal 7-12 Desember 2015.

Sebuah museum kecil dan sementara berdinding anyaman plastik dan bertiang scaffolding, menjadi bilik sejarah yang berisikan foto-foto, buku, seni instalasi, dan audio video. Pada malam hari, cahaya-cahaya temaram terpancar muram dari dalam museum tersebut. Muram bagaikan kenyataan yang coba dihadirkan para seniman yang terlibat di dalam museum itu.

[caption caption="Museum Temporer Rekoleksi Memori, Sederhana"]

[/caption]

Salah satu yang dipajang di sana adalah deretan serial foto karya Adrian Mulya berjudul “Pemenang Kehidupan”. Kesepuluh foto tersebut adalah foto para perempuan dalam kisah dan kesaksiannya pasca geger 1965. Cerita kecil yang membuat miris pembaca disisipkan di bagian bawah wajah sendu perempuan-perempuan yang beberapa diantaranya menghabiskan masa hidupnya di dalam penjara dan pembuangan. Baik karena bergabung dengan Gerwani –oranisasi kewanitaan yang berafiliasi dengan PKI– maupun ikut terseret karena sang suami atau kerabatnya adalah anggota PKI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun