Mohon tunggu...
Pradhany Widityan
Pradhany Widityan Mohon Tunggu... Buruh - Full Time IT Worker

Full Time IT Worker

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Wayang Orang Bharata, Pentas Klasik yang Perlu Diberi Ruang

11 Desember 2016   10:43 Diperbarui: 11 Desember 2016   20:49 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Adegan pembuka. Tarian kayon dan kestaria yang berusaha memikat hati sang putri. (Dok. Pribadi)

Namanya Aoi. Gadis asal Jepang yang duduk di samping saya bertanya dengan Bahasa Indonesia berlogat Jepang. “Ini semua pakai Bahasa Indonesia?” “Bukan, ini pakai Bahasa Jawa” jawab saya. “Wah saya tidak mengerti.” Dari percakapan itu, akhirnya saya menjadi penerjemah pentas Wayang Orang Bharata (WO Bharata) yang berlangsung di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki (TIM) ini. Dia sedikit bisa Bahasa Indonesia, tapi seringnya minta menggunakan Bahasa Inggris.

Bagi saya orang Indonesia, sebuah penghargaan bisa membantu orang asing mengenal budaya Indonesia. Walaupun hanya sebagai penerjemah pentas. Memang sudah umum orang asing tertarik pada budaya Indonesia. Timbul pikiran saya, apakah jika kita berada di negara lain, kita juga akan dengan antusias menonton pertunjukan budaya di sana, namun jika di negara sendiri malah abai? Ataukah Aoi pun merasa budaya Indonesia menarik karena asing, dibanding budayanya sendiri? Entah lah, saya hanya bertanya.

Yang jelas, malam itu, Minggu 4 Desember 2016, di malam Jakarta yang sendu karena gerimis tak berhenti sejak sore hari, saya ada di barisan penonton lanjutan rangkaian Festival Teater Jakarta 2016 (FTJ 2016) yang menampilkan WO Bharata sebagai pengisi Sayap Klasik.

Sayap Klasik dalam FTJ 2016 diisi oleh kelompok-kelompok teater yang sudah matang dan “senior”. Ada empat penampil yang menampilkan karya-karya teater bernuansa kedaerahan dengan gayanya yang klasik. Ada kelompok lenong Puja Betawi, Sahibul Hikayat yang menampilkan sastra lisan dan pantun, dan Sandiwara Sunda Miss Tjitjih yang sudah berdiri sejak 1928 yang membawakan cerita-cerita dari Si Manis Jembatan Ancol hingga Beranak Dalam Kubur.

WO Bharata adalah kelompok wayang orang yang tentu saja menampilkan cerita pewayangan. Telah lahir sejak tahun 1972, WO Bharata masih bertahan dan rutin menyelenggarakan pentas di Gedung WO Bharata di daerah Senen, Jakarta Pusat.

Malam itu, mereka mementaskan sebuah lakon carangan (lakon yang keluar dari pakem pewayangan) yang lucu namun berisi filosofi dalam adegan-adegan yang dimainkan. Judulnya Punakawan Sungging. WO Bharata dengan konsistensinya, mengulik cerita wayang yang sarat pesan moral. Kemudian mengemasnya selembut Bahasa Jawa kromo di sepanjang pentas.

Disutradarai oleh Teguh Ampiranto yang telah berkiprah di WO Bharata sejak pertengahan 1980-an, Punakawan Sungging bercerita tentang gadis cantik bernama Endang Nirasmoro yang memikat dua lelaki yakni putra mahkota Kerajaan Astina, Raden Lesmana Mandrakumara dan anak tiri Ki Lurah Semar, Joko Panandang.

Kedua pihak pelamar. Baladewa (merah) dan Punakawan (3 orang) dan sang putri Endang Nirasmoro. (Dok. Pribadi)
Kedua pihak pelamar. Baladewa (merah) dan Punakawan (3 orang) dan sang putri Endang Nirasmoro. (Dok. Pribadi)
Terjadilah persaingan antara pihak Lesmana yang didukung Astina dan Amarta, dengan Joko dan saudara-saudaranya yakni Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dan Bilung. Punakawan. Tawa berkali-kali pecah melihat tingkah punakawan yang dalam wayang biasanya muncul dalam adegan goro-goro.

Bermakna

Menonton wayang orang tak hanya soal peran. Seni tari juga dieksplorasi. Begitu juga kata-kata lembut dan makna cerita yang menyadarkan. Tari pembuka bertempo lincah. Enam gunungan atau kayon besar diliuk-likkan oleh enam orang. Tempo melambat saat para penari wanita dan seorang putri masuk. Kayon yang tadinya bergambar hutan, dibalik menjadi bergambar langit. Seorang pangeran tampan mencoba mendapat hati sang putri dalam gerak tari mereka. Berusaha mendapat cinta yang menjadi pengantar cerita.

Lesmana akan mewarisi Astina. Dia berasal dari pihak kurawa. Rengekannya ingin menikahi wanita dalam mimpinya yaitu Endang Nirasmoro mengharuskan sang ayah meminta bantuan pada Prabu Baladewa.

Prabu Baladewa dengan gagah perkasa bertamu ke kediaman Endang Nirasmoro di area pertapaan. Ayah Endang Nirasmoro menyambut baik permintaan lamaran Baladewa untuk Lesmana. Tapi tak lama, ketiga punakawan dengan muka cemang-cemong dan badan tak berbentuk datang. Tawa mulai pecah menyaksikan mereka berdialog dan mencela-cela ayah Endang Nirasmoro.

Punakawan dalam pewayangan adalah sosok rakyat jelata yang ceplas-ceplos. Merekalah rakyat yang dihadirkan oleh seniman wayang Jawa kuno untuk menyentuh hati nurani petinggi-petinggi kerajaan. Pejabat yang sibuk dengan urusan politik, ekonomi, dan ketahanan negara, namun sering lupa berdialog dengan hati nurani mempertanyakan mengapa mereka harus memimpin.

Wisanggeni (merah) berdiskusi dengan Ki Lurah Semar (berdiri di tengah) soal ide Punakawan di-Sungging. (Dok. Pribadi)
Wisanggeni (merah) berdiskusi dengan Ki Lurah Semar (berdiri di tengah) soal ide Punakawan di-Sungging. (Dok. Pribadi)
Endang Nirasmoro memberi syarat lamaran. Dia meminta diperlihatkan lima senjata sakti milik Baladewa, Kresna, Puntadewa, Bima dan Arjuna. Kedekatan kubu Baladewa pada kelima pemilik senjata mempermudah dan mempercepat proses peminjaman. Di Amarta, negeri para Pandawa, Baladewa sudah deal soal peminjaman saat ketiga punakawan tiba. Para punakawan pun kembali ke desa kecil mereka dan melaporkan kegagalan pada ayah mereka, Ki Lurah Semar.

Datanglah Wisanggeni yang diperintah oleh dewa untuk memenangkan pihak Punakawan menikahkan adik mereka Joko Pramandang. Ide gila yang sepanjang adegan membawa tawa pun dijalankan. Inilah bagian Punakawan Sungging. Sungging berarti dandan. Kelima punakawan yaitu Petruk, Gareng, Bagong, Togog dan mBilung pun didandani menyerupai Baladewa, Kresna, Puntadewa, Bima, Arjuna lengkap dengan senjata mereka. KW super tentunya.

Singkat cerita akhirnya kubu Punakawan berhasil menikahkan Joko Panandang dengan mengelabui ayah Endang Nirasmoro. Tak lama setelah pernikahan, barulah kubu Baladewa tiba melamar. Mereka terlambat dan kebingungan mengapa ada yang memiliki senjata dan rupa mirip mereka.

Tawa tak pecah lagi saat adegan puncak, bahkan antar pemain pun tak bisa menahan geli, saat ksatria asli bertemu muka dengan Punakawan yang di-sungging. Saling mengaku siapa yang benar. Saling melontarkan ejekan. Para ksatria tak habis pikir kenapa rupa mereka jadi tak jelas seperti itu. Pertarungan kecil yang terjadi kemudian dilerai oleh Dewa dan Wisanggeni. Ternyata, bantuan dewa sudah digariskan karena Joko Panandang sebenarnya adalah Raden Abimanyu dan Endang Nirasmoro adalah Siti Sundari. Pernikahan mereka sudah ditakdirkan semesta.

Tatap muka kestria palsu (kubu kiri) dan kesatria asli (kubu kanan). (Dok. Pribadi)
Tatap muka kestria palsu (kubu kiri) dan kesatria asli (kubu kanan). (Dok. Pribadi)
Pentas berakhir dengan tepuk tangan meriah dan rasa puas penonton malam itu. Sebuah pertunjukan klasik yang membawa kita memaknai kehidupan dengan tawa. Tak semua perlu ketegangan. Lebih penting ketenangan dan keriangan. Keriangan para Punakawan, rakyat jelata yang selalu berusaha mencapai apa yang diinginkan dijawab dewa lewat ide Wisanggeni.

Dalam sebuah adegan ada semacam protes dan pertanyaan soal keseriusan pemerintah menghidupkan kesenian klasik yang adiluhung seperti wayang. Bahkan, celetukan Punakawan yang jelata dan pragmatis menjadi warningdan perlu diintrospeksi. “Mending kita jual saja (kesenian wayang orang) pada Malaysia atau Singapura. Di sana pasti diuurusi.” Entah apa beban yang mereka panggul sebagai penjaga warisan budaya di tengah budaya populer dewasa ini, yang jelas pernyataan yang tentu saja bercanda itu perlu ditanggapi oleh pihak-pihak yang dituju.

Namun, malam itu, membawa WO Bharata dan deretan penampil di Sayap Klasik atas kecermatan Dewan Kesenian Jakarta dan Bekraf ke ajang FTJ 2016 di TIM perlu diapresiasi. Membawa ruang yang lebih luas bagi mereka yang bukan tidak mungkin terancam tenggelam.

Keterbukaan informasi dan media semoga bisa membuka serta warisan-warisan kesenian Indonesia yang kaya namun masih tersembunyi. Lebih pas jika targetnya adalah anak-anak bangsa sendiri dibandingkan penonton-penonton asing seperti Aoi. Semoga dengan saya menonton dan membayar tiket, ditambah sedikit menulis, saya ikut pula menjadi bagian penjaga kebudayaan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun