Mohon tunggu...
Prabowo Subianto
Prabowo Subianto Mohon Tunggu... -

Saya, Prabowo Subianto, bakal calon presiden Republik Indonesia dari Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Saya mengundang saudara sekalian untuk bergabung dalam Facebook Page saya di http://tinyurl.com/fbprabowo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keluar Dari Vonis Miskin Seumur-umur

12 Maret 2009   23:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   20:17 1590
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

 

Hari ini, 12 Maret 2008,  Institut Garuda Nusantara (IGN) mengadakan simposium nasional. Hadir para guru besar, rektor, lektor dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Acara yang berlangsung di Hotel Dharmawangsa, Jakarta Selatan itu, dimulai pukul 10.00 hingga pukul 13.00

 

Saya kebagian menyampaikan key-note speech peluncuran Buku bejudul  Membangun Kembali Indonesia Raya,  sub judul Haluan Baru Menuju Kemakmuran, saya tulis dan diterbitkan IGN.  Buku ini   berisi pokok pikiran yang coba saya tuangkan, plus sumbangan pemikiran berbagai pihak, masukan masyarakat umum yang tak dapat  saya sebutkan satu persatu.

 

Indonesia adalah negara agraris tropis  terbesar kedua setelah Brazil. Dari 27%  luas zona tropis dunia Indonesia memiliki 11 % wilayah tropis yang dapat ditanami dan dibudidayakan setiap tahun. Total lahan yang bisa ditanami 119 juta hektar (BPS, 2008).Artinya jika ditanami dua kali saja setahun, potensi budidaya lahan 238 juta hektar. Ini antara lain yang saya angkat di buku ini, sebagai landasan untuk Indonesia seharusnya bangkit, seharusnya sejahtera rakyatnya.

 

Sejak jaman penajajahan dulu, mulai damar, pinang, hingga jelutung adalah komoditi ekspor. Angka-angkanya masih tercatat hingga kini. Hingga hari ini komoditi hasil alam, termasuk mineral masih belum diolah bernilai tambah, yang bisa membuka lapagan kerja besar dan mensejahterakan. Selama ini  sekadar menggolontor ke pasar, belum diolah.

 

Buku ini tidak ingin menyalahkan pemerintahan sekarang ataupun masa lalu.

 

Buku ini  ingin menggugah kesadaran, bahwa  sejarah tanpa kita sadari telah membuat kita sebagai bangsa divonis untuk melarat-rakyat,   menjual segenap hasil alam, bahan mentah mengalir  murah ke belahan  dunia. Kenyataan itu diciptakan seakan takdir.

 

Akibatnya terjadilah apa yang disebut net out flow of natural wealth, bocornya kekayan nasional, menguap ke luar negeri, mensejahterakan orang lain.

 

Fakta itu, sekadar mengambil contoh, bisa dilihat dari neraca ekspor dan impor  sejak 1997 hingga 2008 lalu. Di dalam neraca kita mendapatkan surplus rata-rata US $ 25 miliar  setahun. Itu artinya jika ditotal, sudah ada akumulasi  US $ 300 miliar. Tetapi nyatanya di cadangan devisa kita hari ini di kisaran US $ 50 miliar saja. Itu artinya sebesar  Rp 2.500 triliun menguap, telah terjadi yang namanya bocor kekayaan nasional Indonesia. Atau   nett  out flow of natural wealth kita,  ludes Rp 2.500 triliun.

 

Kita telah  mensejahterakan bangsa lain dari hasil alam Indonesia. Lebih celaka lagi 230 juta penduduk, sebagai aset,  juga kita biarkan sebagai konsumen  pasar barang dari negeri lain. Kita seakan dijebak ke dalam vonis:  miskin seumur-umur.

 

Indikasi itu, tanpa kita sadari kian nyata adanya. Fakta, pertumbuhan ekonomi yang disosialisasikan sudah bagus  di hanya 7% setahun. Padahal jika logika ini kita pertahankan, pada ulang tahun  kemerdekaan Indonesia yang ke 100 di 2045, pendapatan perkapita selama 35 tahun  hanya sebesar US $ 26.656, atau setara dengan pendapatan perkapita  Korea Selatan hari ini. Bayangkan  pula  Korea Selatan dalam 35 tahun mendatang!

 

Hanya dengan pertumbuhan ekonomi dua digitlah,  10 %saja, kontinyu 35 tahun maka kita akan mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi perkapita US $ 60.000-an, sebuah angka pendapatan perkapita tertinggi di dunia tahun 2008.

 

Bayangkan kalau kita tumbuh 7%, apalagi di bawahnya? Bisa jadi nanti keadaan kita di ulang tahun ke-100 kemerdekaan, hanya setara dengan Rwanda.

 

Karena itulah, kita harus ke luar dari vonis seakan  takdir sebagai bangsa miskin. Kita harus menumbuhkan ekonomi dua digit. Alam dan sumber mineral yang siap diolah, menjadi modal  utama  tersedia melimpah.

 

Di hadapan pada profesor, lektor, rektor dan para ahli di forum IGN hari ini, saya menggugah, jika memang ekonomi kita selama ini dijalankan di rel yang salah, katakanlah salah.  

 

Saya heran, belakangan di Universitas Indonesia, kini jurusan Ekonomi Pembangunan yang pernah diajarkan ayah saya  sudah tak ada lagi, diganti dengan ekonomi analisa bursa saham.  Sebuah mata kuliah ekonomi balon, judi.

 

Di mata saya tingkat keilmuan tertinggi adalah level Profesor Doktor. Ia sebuah gelar akedemik tertinggi, tempat nurani dan integritas tertinggi bisa bicara: jika kita mau ke Bandung, lalu jalannya lewat Anyer, adalah jalan yang keliru.  Lebih celaka setelah sampai di Anyer, masih ada yang ngotot mengatakan kita sudah sampai di Bandung. Sudah saatnya orang-orang yang beriontegritas berani mengatakan, bahwa jalan  itu keblinger.

 

Jika sebuah jalan yang kita tempuh selama ini memang salah, kepada para ilmuwan, profesor dan doktor yang banyak hadir dalam forum IGN hari ini, saya menggugah untuk kembali meluruskan jalan, menumbuhkan ekonomi kerakyatan ke depan.

 

Karenanya, saya mengajak semua pihak untuk membaca buku Membangun Indonesia Raya,  memberikan masukan, mengkritisi, sehingga ke depan buku itu dapat menjadi suatu kerangka pikir, premis  guna memajukan Indonesia.

 

Di dalamnya saya jabarkan 8 pokok program:  membangun kedaulatan pangan nasional,  membangun  kembali kedaulatan energi nasional, mengembangkan industri nasional unggul dan bernilai tambah,  BUMN sebagai  agen dan motor penggerak pembangunan, ekonomi kerakyatan berdasarkan nasionalisme berbasis sumber daya sosial bangsa, akselerasi pembangunan pedesaan, percepatan pembangunan infrastruktur dan membangun  kembali kedaulatan pengelolaan sumber daya alam nasional.

 

Berdasarkan program itu, sudah sepantasnya, ibarat analogi bertolak menuju ke Bandung tadi   jalan yang dilalui adalah tol Padalarang,  bukan lagi lewat Anyer, Banten. Dan tidak pula terjadi lagi analogi tiba di Anyer, Banten,  masih ngotot bilang sudah sampai di Bandung.

 

Sehingga bocornya kekayaan nasional, tidak terjadi lagi.  Kita hapuskan kata net out flow of natural wealth, dari kitab  uzur yang dipantekkan ke benak segenap bangsa sejak jaman penajajahan silam. Keluar dari vonis miskin seumur-umur melalui haluan baru pemimpin baru terobosan baru.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun