Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Tidak Semua Guru Bahasa Bisa Buat Novel, Dok

21 Mei 2017   04:52 Diperbarui: 21 Mei 2017   04:56 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokumentasi pribadi"][/caption]

"Oh, saya pikir semua guru bahasa Indonesia itu pasti bisa buat tulisan kayak puisi, novel, opini begitu...."Saya bilang sambil manggut-manggut, mengerti. 

"Kalau menulis untuk menyelesaikan tugas kuliah harus. Tetapi saat sudah menjadi guru, masih menulis ya tergantung pribadi masing-masing..."Dan ibu master pendidikan ini ternyata sudah beberapa kali menerbitkan tulisannya.

Pertanyaan seperti judul diatas saya lontarkan saat di ICD (Indonesian Community Day) 2017 di Yogyakarta 13 Mei lalu saat dengan antusias membeli buku pemilik akun kompasiana Erni Berkata yang baru bergabung 4 bulan sudah membuat buku novelnya dalam bendera 'Penerbit Peniti Media'. Sebuah keberanian luar biasa untuk membukukan sebuah buku dan mencatatkan itu dalam ISBN 978-602-6592-04-0. Dan sepertinya agak maklum ketika si ibu ternyata adalah guru bahasa di SMK Kabupaten Cianjur, berarti urusan tulis menulis sudah bak pembalap formula 1, tetapi baru 4 bulan mencoba sirkuitnya Kompasiana. Saat mempublikasikan novel, artinya dia sudah naik podium.

[caption caption="Dokumentasi pribadi"]

[/caption]

Novelnya sendiri 'Teka-teki di Bibury Village' berlatar belakang di Inggris (ini ibu apa pernah kesana, saya belum nanya, saya sendiri kepingin kesana, tetapi visanya kabarnya susah dapat), ceritanya gaya-gaya detektif dengan melibatkan konflik emosional antar tokoh yang menarik. Saya tidak mau ceritakan habis disini karena anda harus membeli sendiri bukunya kalau serius mau menghargai karya sastra kompasianer cantik ini. Yang pasti 'happy ending', bagi yang jiwanya dominan sedih entar tidak mau beli bukunya kalau kisahnya 'sad ending', kan?

Saya pernah bahas dengan beberapa kompasianer tentang fenomena membukukan 'isi otak' kita dalam bentuk buku fisik, apakah masih perlu? Mengingat penerbit saat ini pun sudah berputar otak dari berbagai sudut mencari cara bagaimana buku yang ditangan itu tetap mau dibeli, walau materinya sudah berseliweran secara utuh maupun terpisah-pisah di 'versi online'. Ternyata, beberapa berpendapat peran komunitas-komunitas di Kompasiana yang sering membukukan tulisan adalah salah satu cara menggalakkan kembali semangat membuat buku fisik sebagai semacam 'podium' bagi semua penulis 'online' yang biasa balapan liar di jalanan tanpa pernah masuk sirkuit resmi.

Mencatatkan nama di ISBN adalah sebuah kebanggaan tersendiri, sebuah pencapaian yang sulit dinilai dengan uang, walau kalau uangnya dapat ya disyukurin juga. Makanya, kalau ada buku baru dari Kompasianer yang saya kagumi, hormati, pasti saya beli, kalau novelnya enggak untuk 17 tahun keatas, anak saya pun saya suruh baca biar mereka suka novel juga seperti saya.

Akhir kata, selamat buat bu guru dari Cianjur, ditunggu karya-karya selanjutnya, karena podium-podium di sirkuit Kompasiana selalu menanti orang-orang seperti anda.

[caption caption="Dari fb kompal"]

[/caption]

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun