Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Terlalu Berani Kasih Buku Prolanis BPJS Kesehatan Memperbanyak Pasien Cuci Darah?

22 September 2019   17:32 Diperbarui: 22 September 2019   18:53 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Senam relaksasi saat rapat BPJSK (dok.pri.)

"Kalau pasien diabetes melitus dan hipertensi terlalu berani kita kasih buku Prolanis (singkatan: program pengelolaan penyakit kronis) dan di Puskesmas tidak dikontrol dengan baik, jangan-jangan beberapa tahun lagi semuanya menjadi harus dicuci darah..." Begitu kira-kira pendapat salah seorang internist (dokter spesialis penyakit dalam, disingkat SpPD) yang berbisik disamping saya saat rapat konsultasi antara BPJS Kesehatan dengan Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB) propinsi Sumatera Selatan.

Beberapa bulan ini memang SpPD menjadi perhatian karena penyakit kronis terbesar di Indonesia adalah hipertensi dengan penderita sekitar 60 jutaan orang dan diabetes melitus di kisaran 10 jutaan orang sementara penyakit gagal ginjal kronis (GGK) mencapai 10 jutaan orang juga, sebagian besar GGK ini suatu saat akan menjalani cuci darah karena fungsi ginjalnya kurang 10% dari orang normal.

Semua penyakit diatas saling berhubungan dan memerlukan obat seumur hidup kalau gagal diperbaiki pola diet dan gaya hidupnya. Sebenarnya kalau pasien yang tekanan darahnya mulai naik 140 mmHg atau gula darah sewaktunya mulai mendekati 200 mg% dan mulai menjalani diet yang rendah kalori, rendah garam, rendah kolesterol serta berolahraga ritmik (joging,berenang atau bersepeda) 5 hari seminggu minimal 30 menit maka ada lebih separuhnya tidak memerlukan obat. Disini peran Puskesmas atau dokter keluarga menjaring yang berpotensi kedua penyakit kronis tersebut dan menyuluhnya.

Jangan beralasan jarak atau waktu untuk menggapai pasien-pasien tersebut karena sekarang tehnolgi sosial media dan grup-grup "WA" sudah dengan mudahnya dibuat untuk memantau atau menyuluh warga binaan secara personal maupun massal.

Jika pasien hipertensi dan diabetes melitus ini dapat dicegah sampai makan obat, cukup hanya perbaikan pola hidup dan pola makan, maka biaya yang dikeluarkan sebenarnya tidak banyak karena sudah termasuk paket kapitasi BPJS Kesehatan, bahkan untuk Puskesmas mungkin juga ada dana subsidi dari pemda setempat.

Ibarat anak sekolah, anggaplah pasien yang diatas adalah yang berpenyakit setingkat "anak TK", tetapi kalau gagal diperbaiki maka terpaksa mereka makan obat yang harus dimakan setiap hari seumur hidup, ibaratnya si penyakit lulus TK dan lanjut ke "anak SD" maka Puskesmas/dokter keluarga (FKTP, Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer) harus mengirim si pasien ke rumah sakit untuk mendapatkan obat sebulan sekali. Jika terkontrol selama 2-3 bulan dan pasien stabil tanpa komplikasi, si pasien ini dikembalikan ke FKTP dengan buku Prolanis, nanti obatnya diresepkan dokter di FKTP dan "ditebus" di apotik yang ditunjuk BPJS sebulan sekali. Secara periodik mungkin 3,6 atau setahun sekali si pasien akan dirujuk lagi ke rumah sakit untuk bertemu SpPD dan kalau stabil, dibalikkan lagi ke FKTP. 

Bedanya kalau pakai buku prolanis, peresepan obat tidak memerlukan dana tambahan karena termasuk kapitasi FKTP namun kalau pasien diperiksa dan diresepkan di rumah sakit, perkunjungan harus dibayar rata-rata 150 ribu rupiah, bayangkan kalau pasien yang perlu diobati 10 juta saja maka uang yang harus dibayar BPJS Kesehatan adalah 1,5 trilyun rupiah sebulan dikali 12 =18 trilyun setahun.

Titik kritis permasalahan ada disini, apakah kalau pasien hanya rutin makan obat tokh, dengan resep di buku tanpa pemeriksaan laboratorium: protein urin, pemeriksaan HBA1C (gula darah yang meracuni sel darah merah selama 3 bulan), kolesterol, rekam jantung dan creatinin (racun yang harus dibuang oleh ginjal) yang biasanya FKTP tidak memiliki fasilitasnya akan baik-baik saja, stabil-stabil saja bertahun-tahun atau akan "naik kelas" penyakitnya ke "anak SMP" yaitu penyakit berkomplikasi ke jantung, ginjal, otak, mata dan pendengaran?

Sebagian besar SpPD yang ragu mengembalikan pasien ke FKTP dengan alasan:

1. Di FKTP ada yang hanya meresepkan tanpa memeriksa, bahkan diduga yang meresepkan bukan yang seharusnya meresepkan.

2. Ada laporan bahwa obat yang diberikan tidak cukup jumlah ataupun jenisnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun