Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Jika Mengagumi Minke, Kompasianer Harus Berjuang Melalui Tulisannya

3 September 2019   02:42 Diperbarui: 3 September 2019   03:32 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Saya harus melawan dengan pena, walau sampai berdarah-darah..."Demikianlah ungkapan Minke  (diperankan Iqbaal Ramadhan), lulusan HBS Surabaya terbaik di akhir abad 19, ketika istrinya Annelis Mellema (Mawar Eva de Jongh) yang masih dibawah umur dan anak dari seorang Belanda bernama Herman Mellema (diperankan Peter Sterk) dengan gundiknya Nyai Ontosoroh (diperankan Sha Ine Febriyanti) akan dibawa ke Belanda dibawah pengawasan perwalian karena si ayah meninggal dibunuh sementara itu si ibu dianggap bukan istri syah berlanjut sang suamipun dianggap menikahinya tidak secara hukum Belanda.

Minke yang ternyata anak bupati ternyata memiliki nama pena Max Tolenaar yang sering mengisi opini dalam surat kabar di Surabaya maupun Jawa umumnya yang sering memancing kontroversi.

Kalau sekilas kisahnya semua pasti tahu, bahwa film ini adaptasi pertama novel "Bumi Manusia" karya Pramoedya Ananta Toer yang dibesut sutradara Hanung Bramantyo serta penulis skenario adaptasi Salman Aristo. Minke yang diajak seorang teman indonya ke sebuah peternakan kaya yang dikelola "Nyai", jatuh cinta pada Annelis yang ayahnya pemabuk dan kakak laki-lakinya bejad. Si ayah diceritakan punya istri sah di belanda dengan anak satu dan sudah minta cerai, anak istrinya di Belanda itu pernah datang menuntut pertanggungjawaban dan terakhir menuntut semua harta si bapak.

Memperjuangkan ketidakadilan hukum antara pribumi-Belanda dan status ilegal "nyai" dan anak-anaknya yang setengah ras Eropa dilakukan oleh Minke dengan cara terhormat melalui tulisan yang cukup memberikan pencerahan dan perubahan di masa itu.

Eyang Pramoedya membuat buku saat dibuang di Pulau Buru ini ternyata terinspirasi oleh tokoh pers nasional Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (Blora, 1880--1918) yang membuat surat kabar :Soenda Berita (1903-1905), Medan Prijaji (1907) dan Putri Hindia (1908). Dia yang pertama kali berani membuat propaganda melalui tulisan terhadap kebijakan pemerintah Hindia Belanda saat itu sampai akhirnya ditangkap dan dibuang ke Pulau Bacan, Maluku Utara.

sumber: wikipedia.org
sumber: wikipedia.org
Sebagai Kompasianer yang hanyalah "citizen Journalism" dan bukan wartawan resmi yang berhak memiliki kartu pers, apakah kita dapat berjuang senekad Minke dalam memperjuangkan ketidakadilan? Seharusnya bisa karena media jaman dahulu hanyalah koran dan majalah serta yang mampu menulis dan berpendapatpun hanyalah yang tamatan sekolah menengah belanda HBS, tetapi jaman sekarang kita dapat menggunakan media apa saja, dengan status apa saja dan dapat dibayar siapapun kalau konten yang kita buat banyak diminati.

Yang penting berjuang itu harus ada pengorbanan, tidak dijamin sukses terus, seperti pak Tirto yang menjadi inspirasi novel ini saat meninggal usianya masih 38 tahun dan tidak dalam keadaan kaya raya namun dikenang sebagai pahlawan nasional di tahun 2006.

sumber: dokumentasi Kompal
sumber: dokumentasi Kompal

Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun