Mohon tunggu...
Posma Siahaan
Posma Siahaan Mohon Tunggu... Dokter - Science and art

Bapaknya Matius Siahaan, Markus Siahaan dan Lukas Siahaan. Novel onlineku ada di https://posmasiahaan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Kampanye Eksklusif dan Bergeraknya "Swing Voter" ke Lawan Politik

7 April 2019   22:59 Diperbarui: 7 April 2019   23:24 347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Katak dibawah tempurung (dok.pri)

Waktu saya SD (sekolah dasar) kelas 4, sekitaran  tahun 1982 saya dikirim oleh sekolah mengikuti kejuaraan lukis tingkat kotamadya Palembang karena di sekolah saya, saya memenangkan lomba lukis satu sekolahan. Saat mengikuti lomba lukis itulah saya terperangah, ternyata di SD-SD lain di kota Palembang saat itu sudah ada guru lukis yang bagus, malah sudah ada yang punya ekstrakurikuler melukis dengan tehnik gradasi warna dan penataan gambar yang sangat detil. Hasilnya, saya tidak menang, tetapi minimal saya jadi belajar dari beberapa peserta yang menang bagaimana caranya mereka membuat gambar bagus.

Tahun 1982 itu kursus melukis hampir tidak ada, apalagi kursus komputer dan "youtube" untuk belajar menggambarpun baru muncul tahun 2005, makanya, ikut lomba keluar sekolah menjadi penting karena saya tidak lagi menjadi katak dibawah tempurung, merasa hebat dan menang karena yang saya tahu dan yang saya kalahkan ya sebatas di tempurung kepala saya saja.

Sebagai gambaran lainnya adalah pasien-pasien yang berbadan gemuk dengan makan protein dan lemak lebih dari cukup, minum susu dan keju dan buah yang cukup banyak, terkadang sayurpun masih dimakan, lalu meminta vitamin karena merasa pegal-pegal. Padahal, setelah minum vitaminpun terkadang malah membuat nafsu makan bertambah dan pegalnya tidak berkurang, karena masalahnya ternyata adalah mengurangi makanan tertentu dan menurunkan berat badan, bukan makan vitamin sebanyak-banyaknya.

Mungkin kisah diatas adalah gambaran saya terhadap kampanye eksklusif yang pesertanya itu-itu saja, pembicaranya itu-itu saja dan efek dominonya tidak terasa ke "swing voter" malah terkadang menakut-nakuti kelompok peragu ini yang kebetulan tidak suka masuk kedalam tempurung.

Pertanyaan yang terpenting adalah, kampanye eksklusif ini memang direncanakan eksklusif dari awal atau sebenarnya pihak yang akan berkampanye inginnya inklusif dan lebih berbhineka namun oleh panitia diarahkan menjadi eksklusif? Atau memang kampanye tersebut semacam konsolidasi saja dan bukan untuk mempengaruhi "swing voter"?

Yang harus dikoreksi sebenarnya adalah konsep pengerahan massa untuk kampanye pilpres yang berbeda jauh dengan kampanye caleg. Di negeri ini, untuk memenangkan pilpres itu butuh suara di kisaran 70 juta, baru aman. Sementara kalau mau kampanye caleg, targetnya hanya di kisaran 100-400 ribuan suara. Makanya, kalau mau kampanye pilpres yang massanya nakut-nakuti lawan itu minimal dihadiri 7 juta orang (10% dari 70 juta orang), kalau hanya dihadiri 1 juta orang sih itu hanya untuk memenangkan 3-10 kursi caleg di DPR.

Di sisa 9 hari ke depan, memang sebaiknya tim sukses masing-masing capres berkonsentrasi untuk 70 juta suara sah di TPS dan bukan 1-11 juta teriakan pita suara di kampanye, menggaet yang masih diluar tempurung itu penting bagi yang elektabilitasnya tertinggal, tetapi kalau toh masih mau rame-rame berkumpul di dalam tempurung yang sama juga tidak apa-apa, karena kursi di DPR juga tetap penting, soal capres mungkin dapat memakai strategi lain yang bukan kampanye terbuka.

sumber: dokumentasi KOMPAL
sumber: dokumentasi KOMPAL

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun